Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

olahraga

Bintang Papua di Sepak Bola ala Amerika

Pelajar Papua menjadi salah satu pemain terbaik American football tingkat pelajar di Amerika Serikat. Sekton Wandikbo mempelajari olahraga favorit di Amerika Serikat itu hanya dalam 16 bulan.

8 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahir dan dibesarkan di Papua, Sekton Wandikbo tak pernah mengenal olahraga American football alias sepak bola ala Amerika Serikat. Sejak kecil dia lebih menggemari sepak bola dan basket, yang populer di kalangan anak muda Papua. Tapi nama pemuda 18 tahun itu justru melejit berkat American football, olahraga yang baru ia geluti setelah menginjakkan kaki di Amerika Serikat pada 2016 untuk bersekolah.

Sekton mendapat penghargaan sebagai linebacker—salah satu posisi pemain belakang dalam American football—terbaik tingkat pelajar pada musim kompetisi 2018. Dia membantu tim sekolahnya, Foxcroft Academy di Dover-Foxcroft, Maine, mempertahankan gelar juara Class D North Championship setelah membukukan sepuluh kemenangan dan cuma sekali kalah. Sekton menjadi orang Asia pertama yang meraih penghargaan itu.

Sekton mengungkapkan, teman-teman kampus membawa pengaruh besar baginya untuk menggeluti football. Mereka banyak bercerita dan mengajak Sekton bermain. “Awalnya memang berat, tapi kawan-kawan bilang mainnya santai saja,” kata Sekton lewat sambungan telepon kepada Tabloid Jubi, akhir bulan lalu.

Dalam tempo 16 bulan, Sekton berubah dari pemuda yang tak tahu apa-apa tentang football menjadi bintang lapangan. Sekton bahkan mengungguli para pesaingnya di Foxcroft yang sudah mengenal dan berlatih olahraga adu fisik itu sejak kecil. “Harus bisa meyakinkan pelatih bahwa saya mampu bermain olahraga keras ini,” ucap Sekton, yang mengenakan kostum bernomor 27 ketika bertanding.

Kemampuannya di gridiron—sebutan untuk lapangan American football—membuat Sekton terpilih masuk daftar tim All-Little Ten Conference. Bergabung di tim bertahan, Sekton membukukan 42 jegalan, 30 di antaranya dilakukan solo. Dia juga mencetak tiga touchdown—membawa bola hingga melewati garis pertahanan terakhir lawan.

Pelatih Foxcroft, Danny White, merasa puas lantaran para pelatih tim lain di liga mengakui kemampuan Sekton sebagai -linebacker terbaik meski dia baru sebentar mengenal olahraga adu fisik itu. “Dia bermain sangat bagus, jadi rasanya itu keputusan yang layak,” ujarnya seperti ditulis situs berita Maine, Piscataquis Observer.

Sekton Wandikbo (kanan) dalam sebuah latihan selama masa istirahat musim gugur, di Maine, Amerika Serikat, Agustus 2018./ The Foxcroft Academy Footbal

Perkenalan dengan American football membuat Sekton tertarik bergabung dengan tim sekolah. Namun dia tak punya pengalaman. Asisten White yang juga guru di Foxcroft Academy, Ryan Dankert, adalah yang mengajukan nama Sekton untuk dites masuk tim football. Sempat kaget, White akhirnya setuju.

Menurut White, Sekton ternyata mampu mempelajari football dengan cepat meski sebelumnya cuma tahu olahraga itu lewat tayangan televisi. Pelatih yang sudah sepuluh tahun menangani tim football pelajar itu mengatakan Sekton atlet yang bagus dan mau belajar lebih keras untuk mengatasi ketertinggalan. ”Kemampuan fisiknya membuat dia bisa belajar lebih cepat daripada anak-anak lain,” tutur White seperti ditulis South China Morning Post. “Dia salah satu yang terbaik yang pernah kami miliki.”

Sekton menghabiskan sebagian masa kecilnya di kampung Ilugwa, Kabupaten Mamberamo Tengah. Sejak menempuh sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, Sekton tinggal di Asrama Inisiasi milik Gereja Injili di Indonesia di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Asrama Inisiasi adalah tempat khusus untuk anak-anak dari Mamberamo Tengah. Guru-gurunya dulu didatangkan dengan bantuan ahli fisika Yohanes Surya. “Kami memang ingin dia mandiri,” kata ayah Sekton, Dorman Wandikbo.

Kemampuan fisik Sekton sudah terasah sejak kecil, saat ia tinggal di Ilugwa yang berhawa dingin lantaran berada di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut. Sekton juga gemar bermain sepak bola dan basket. Terkadang, bersama kawan-kawannya, dia berlomba lari naik-turun bukit di Wamena seperti yang dulu dilakukannya di Ilugwa. Berenang sambil mencari udang di Sungai Baliem turut membuat kekuatan fisik Sekton makin kuat. “Tubuhnya sudah tinggi dan besar sejak kecil,” ucap Dorman.

Sekton menempuh sekolah menengah pertama di Sentani, Jayapura, setelah ayahnya yang juga pendeta itu menjadi Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Kegemaran Sekton bermain futsal dan basket sejak sore hingga malam sempat membuat sang ibu, Marthasilla Wandik, cemas karena hal itu dinilai bakal mempengaruhi kegiatan belajarnya. Sekton berhasil meyakinkan sang ibu bahwa studinya akan baik-baik saja. “Dia mau menjadi atlet sepak bola atau basket,” tutur Marthasilla.

Sekton membuktikan bahwa dia juga cemerlang di sekolah. Ia mendapat beasiswa dari GIDI dan melanjutkan pendidikan di sekolah menengah atas di Palau, negara di kawasan Pasifik. Dengan beasiswa dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pemerintah Provinsi Papua, pada akhir 2015 Sekton bisa melanjutkan studinya ke Amerika Serikat. Pada November 2016, dia resmi menyandang status pelajar Foxcroft Academy. “Saya akan lulus tahun ini,” ujarnya.

Marthasilla sempat tidak mengizinkan Sekton ke Amerika karena tidak ada yang menemani. Apalagi waktu itu usianya baru 16 tahun. Tekad bulat Sekton bersekolah di luar negeri meluluhkan hati ibunya. “Sekton berangkat sendirian,” kata Dorman. “Ibunya sampai sulit makan tiga hari karena komunikasi dengan Sekton terputus.”

Kehidupan Sekton di Foxcroft berubah berkat football. Dari kawan-kawannya, Sekton mendapat banyak cerita tentang olahraga favorit di Amerika itu. Sekton, yang sebenarnya tak paham soal olahraga itu, justru dibujuk teman-temannya agar ikut bermain. “Saya bahkan tak tahu peraturannya sebelum bergabung dengan tim di sini,” katanya.

Sekton mampu beradaptasi dengan cepat dalam 16 bulan latihan bersama The -Ponies—julukan tim Foxcroft Academy. Dia pun kerap mengirim foto dan video pertandingan yang dia ikuti kepada orang tuanya. Mereka tak begitu tertarik membahasnya karena olahraga itu tak dikenal di Indonesia.

Saat pulang ke Ilugwa ketika liburan sekolah pada pertengahan tahun lalu, Sekton tak banyak bercerita tentang American football. Meski sudah menunjukkan bola lonjong yang dipakainya bermain kepada keluarganya, ia masih saja kesulitan menjelaskan olahraga tersebut. “Mereka tidak mengerti, mungkin karena belum pernah lihat langsung,” tutur Sekton.

Selama berlibur di kampung halaman, Sekton tetap tekun berlatih. Setiap hari, mulai pukul 4 pagi, pemuda dengan tinggi 179 sentimeter itu berlari sejauh 7 kilometer melintasi lembah dan bukit Ilugwa. Dia pun pantang mengkonsumsi makanan berlemak, yang sebenarnya menjadi santapan sehari-hari warga Ilugwa. “Kami sempat pusing juga karena aturan makannya, tapi dia harus menjaga tubuhnya,” ujar Marthasilla.

Marthasilla mengaku sempat khawatir saat mengetahui anaknya menjadi atlet football. Apalagi ia baru mengenal olahraga itu lewat tautan sejumlah video di Internet yang dikirim anaknya. “Olahraga itu keras sekali,” ucap perempuan asal Pegunungan Tengah tersebut. Toh, akhirnya dia luluh dan menerima pilihan anaknya.

Dorman dan Marthasilla kaget ketika seorang pemateri dalam seminar rohani yang mereka ikuti di kampung Wolo, Wamena, pada 30 Desember tahun lalu, menyebut anaknya sebagai atlet berprestasi di Amerika Serikat. Rupanya, Dorman dan Marthasilla ketinggalan informasi selama hampir sebulan tinggal di Wolo. “Karena tidak ada Internet,” ucap Dorman.

Nama Sekton kembali masuk daftar anggota tim football tahun ini. Dia diplot lagi sebagai linebacker. Kostumnya pun tetap bernomor 27 seperti musim lalu.

Meski menuai sukses di lapangan American football, Sekton masih mengejar cita-citanya kuliah di Amerika dan menjadi pendeta. Dia pernah mempertimbangkan rencana berhenti bermain football agar bisa berfokus belajar. Namun prestasinya di bidang olahraga juga membuka kesempatan mendapat beasiswa pendidikan. “Kalau bisa bermain sambil kuliah, saya akan tetap bermain,” katanya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, YANCE WENDA (TABLOID JUBI, JAYAPURA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus