Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI sutradara Luhur Kayungga, Dor adalah keberisik-an. Naskah teater Putu Wijaya dari 1986 yang ia terjemahkan dalam panggung teater Gedung Kesenian Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Kamis malam dua pekan lalu, itu didominasi suara gedombreng kaleng-kaleng bekas yang diseret dan dipukul-pukul. Bahkan sampai akhir cerita pun Luhur menghadirkan suasana emosional dari para pemainnya yang menghantam “dinding” seng dengan lemparan kaleng bekas bertubi-tubi. Kaleng-kaleng berserakan hingga jatuh ke luar panggung.
Meski bising, ada kesunyian terselip di sela-selanya. Misalnya ketika sang hakim dalam cerita itu ditembak orang tua terdakwa. Juga saat hadir suasana mencekam dalam adegan pencuri di supermarket ketahuan membawa lari bahan makanan dan dihajar ramai-ramai hingga tewas. Mayat pencuri itu dibuang massa dengan penuh amarah. Tanpa kata-kata, penonton mafhum bahwa orang yang dihabisi massa itu pencuri di supermarket. Sutradara menggambarkannya dengan troli belanja yang didorong sembari mengendap-endap. Penonton pun paham bahwa orang yang tewas oleh pengadilan jalanan itu orang miskin yang mencuri untuk keluarganya yang kelaparan di rumah. Ia juga mengambil beberapa kaleng susu untuk anaknya yang masih kecil. Dan Teater Api Indonesia, yang berdiri sejak 1993 di Surabaya, membawakan alur cerita tersebut dengan sangat baik.
Luhur menyatakan tak ingin terkungkung oleh konflik batin hakim dalam memutus perkara pembunuhan yang dilakukan anak seorang gubernur seperti dalam naskah asli Putu Wijaya. Luhur juga tak secara spesifik memperlihatkan proses pengadilan anak gubernur tersebut hingga yang bersangkutan dieksekusi mati. Namun Luhur menampilkan visualisasi saat gubernur marah dan menghabisi hakim dengan nyalak pistol.
Luhur berujar, dalam pertunjukkan Teater Api itu, prioritasnya ialah membongkar naskah Putu. Naskah Putu, sebagaimana naskah pada umumnya, menggunakan dialog-dialog yang hanya ia ambil substansinya. Substansi itu yang menjadi pedoman dasar menggagas visual pertunjukan. Dan, bagi Luhur, bunyi-bunyian kaleng menjadi tafsir yang tepat mengenai hiruk-pikuk serta berisiknya dunia peradilan.
Anggota Teater Api Indonesia, Galuh Tulus Utama, setuju bahwa Putu Wijaya tidak perlu dikultuskan secara berlebihan. Karena itu, ia dan kawan-kawan punya tafsir bebas atas karya Putu tersebut. Pilihan benda kaleng bekas, kata dia, menjadi sesuatu yang dekat. Misalnya kaleng-kaleng yang diseret dan dipanggul menggambarkan beratnya beban kehidupan. “Untuk pementasan ini, kami baca ulang naskah Putu, juga pikiran-pikiran Putu,” ucapnya.
Galur menuturkan, karena tafsir bebas itulah ia bersama Luhur Kayungga mementaskan Dor tiga kali dengan warna berbeda. Pada 2018, Teater Api dua kali mementaskan Dor, yakni di Universitas Islam Malang dan di Tasikmalaya bersamaan dengan Festival Putu Wijaya. “Di tiga pementasan itu, kami beda warna dan beda pemain. Misalnya, di Tasikmalaya ada pemain perempuan, yang di Surabaya tidak,” ujarnya.
KUKUH S. WIBOWO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo