Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cerita penanganan banjir Jakarta sejak 1973.
Sejak dulu, pengerukan sungai bukan solusi menangani banjir.
Menurut Gubernur Ali Sadikin, banjir makin parah karena disiplin masyarakat yang kurang.
AWAL tahun baru kali ini dibuka dengan air bah yang merendam Jakarta. Banjir juga melanda kota-kota di sekitar Ibu Kota, yakni Bekasi, Bogor, Depok, dan Tangerang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sebanyak 43 orang meninggal akibat bencana tersebut hingga Jumat, 3 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Posisi Jakarta, yang berada di dataran rendah sekaligus menjadi muara sejumlah aliran sungai, menyebabkan daerah ini rawan banjir. Kondisi itu makin parah oleh rusaknya hutan di Bogor dan daerah hulu sungai serta buruknya tata kota yang menyebabkan berkurangnya daerah resapan air di Jakarta. Tempo edisi 16 Januari 1982 menerbitkan berita bertajuk “Banjir Terus, Sampai Tua” yang mengulas soal banjir yang selalu merendam Jakarta setiap musim hujan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berupaya menanggulangi bencana banjir di Jakarta. Sejak 1973, Departemen Pekerjaan Umum bekerja sama dengan pemerintah daerah DKI Jaya dan beberapa ahli dari Belanda telah menyelesaikan sebuah rencana induk penanggulangan banjir. Namun anggarannya terlalu besar. “Untuk menanggulangi banjir di Jakarta sampai tuntas mungkin dibutuhkan lebih dari Rp 1 triliun,” ujar Menteri Pekerjaan Umum Poernomosidi Hadjisarosa.
Dana sebesar itu—bandingkan dengan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1982/1983 yang besarnya Rp 15,6 triliun---jelas tidak mudah disediakan. Keterbatasan biaya membuat rencana induk itu diubah di sana-sini. Misalnya, pemerintah berencana membangun dua kanal banjir, yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur, yang akan melingkari Jakarta, di samping beberapa polder di wilayah utara Jakarta. Namun tiadanya biaya membuat pemerintah hanya mampu melakukan pengerukan beberapa sungai dan waduk.
Akibatnya, ketika musim hujan tiba, penduduk Jakarta harus bersiap menghadapi banjir. “Dalam waktu yang singkat, kita tidak bisa apa-apa,” kata Poernomosidi.
Pengerukan sungai jelas tidak bisa mencegah banjir di Jakarta. Apalagi masyarakat ternyata kurang membantu upaya pencegahan banjir itu. Martsanto D.S., 41 tahun, insinyur yang memimpin Proyek Pengendalian Banjir Jakarta, mengeluh karena timbunan sampah menutupi sebagian besar sungai di Ibu Kota. Sampah ini menghambat derasnya laju air yang semestinya bisa 100 meter kubik turun menjadi 60 meter kubik per detik. “Di beberapa sungai, alirannya sama sekali macet sebab tertutup sampah plastik,” kata Martsanto.
Kondisi makin parah dengan banyaknya bangunan liar, rumah permanen, atau gubuk, yang dibangun di sepanjang bantaran sungai. “Disiplin sosial masyarakat DKI sudah hancur,” komentar bekas Gubernur DKI Jaya, Ali Sadikin.
Menurut Ali Sadikin, tindakan penanggulangan banjir selama ini hanya bersifat tambal-sulam karena kekurangan biaya. Ketika menjabat gubernur, ia pernah mengusulkan biaya US$ 500 juta atau sekitar Rp 325 miliar kepada pemerintah pusat untuk proyek penanggulangan banjir. Namun pemerintah pusat tidak sanggup memenuhinya.
Menteri Pekerjaan Umum hanya bisa menjanjikan proyek Cakung Drain bisa selesai pada Juni 1982. Saluran air dengan biaya Rp 5 miliar ini diharapkan bisa mengamankan Jakarta Timur, khususnya Kawasan Industri Pulogadung. Namun Cakung Drain tak akan benar-benar membebaskan wilayah ini dari banjir. Saluran ini hanya akan mampu mempersingkat waktu “parkir” genangan air yang sebelumnya selama 24 jam menjadi hanya 6 jam.
Jakarta Barat harus menunggu lebih lama. Cengkareng Drain dengan lebar 100 meter dan panjang 8 kilometer baru akan selesai 3 tahun lagi. Sama seperti Cakung Drain, sistem salurannya diperkirakan hanya sekadar mampu mengurangi lama genangan menjadi 6 jam.
Poernomosidi mengatakan pemerintah akan lebih memperhatikan kepentingan rakyat berpendapatan rendah dalam upaya penanggulangan banjir. Alasannya, kalau rumah rakyat kecil kebanjiran, harta benda satu-satunya akan musnah. “Kalau rumah orang kaya yang kebanjiran, ya, biarkan saja. Paling mereka akan sengsara hanya untuk beberapa hari,” kata dia. Toh, saat banjir datang, masyarakat kecil tetap yang paling menderita.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 16 Januari 1982. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo