Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hak Jawab PT Konimex
MENANGGAPI laporan utama Tempo edisi 31 Oktober-6 November 2022, PT Konimex Indonesia memberikan tanggapan berikut ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Kami telah menyerahkan sampel Termorex sirop 60 mililiter dengan nomor batch AUG22A06 kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk diuji. Pada Ahad, 23 Oktober lalu, BPOM dalam konferensi pers menyatakan Termorex sirop 60 ml dengan nomor izin edar DBL7813003537A1 yang kini beredar di pasar aman dikonsumsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
2. Menindaklanjuti pengumuman BPOM pada Kamis, 20 Oktober lalu, tentang Termorex bernomor batch AUG22A06, kami pastikan produk itu tak tersebar di pasar secara online ataupun offline dan tersimpan di gudang pabrik Konimex. Kami juga kembali menguji cemaran etilena glikol dan dietilena glikol pada semua produk Termorex, termasuk yang bernomor batch AUG22A06, sebagai bagian dari komitmen kami untuk memberi kepastian bagi masyarakat.
3. BPOM telah menyatakan produk Termorex sirop 60 mililiter selain nomor batch AUG22A06 aman dikonsumsi dan diperjualbelikan. Semua produk Termorex yang berada di pasar adalah produk dengan kode batch yang telah dinyatakan aman oleh BPOM. Termorex juga tidak masuk daftar 102 obat sirop yang ditemukan di rumah pasien gagal ginjal akut. Surat edaran yang berisi arahan pembatalan penarikan produk Termorex merupakan dokumen internal yang dibuat setelah kami memastikan produk bernomor batch AUG22A06 yang diuji BPOM masih berada di gudang pabrik dan belum didistribusikan. Kami membentuk tim internal untuk mengawasi dan memastikan semua mitra kami mematuhi arahan dan kebijakan yang dikeluarkan BPOM dan Kementerian Kesehatan.
4. Kami meminta tim redaksi Tempo lebih bijak dalam memperlihatkan foto produk, seperti dalam artikel “Tambah Korban karena Lamban”. Foto jurnalistik bergambar produk Termorex secara tidak langsung membentuk opini yang tidak sesuai dengan pernyataan BPOM. Publik dapat menyimpulkan bahwa Termorex sirop kemasan tersebut mengandung senyawa berbahaya.
5. PT Konimex berkomitmen ikut menyehatkan bangsa. Kami senantiasa mematuhi segala kebijakan dan aturan yang ditetapkan pihak berwenang sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik. Langkah ini adalah wujud tanggung jawab kami dalam mengutamakan mutu semua produk PT Konimex, termasuk Termorex Sirup yang mulai diproduksi 34 tahun lalu.
Rachmadi Joesoef
Chief Executive Officer PT Konimex
Pilihan Sulit dalam Demokrasi
DALAM keterangan tertulis yang dimuat Tempo edisi 24-30 Oktober 2022, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menilai demokrasi Indonesia mundur selama periode kedua Presiden Joko Widodo. Kontras menyoroti penyelesaian kasus hak asasi manusia masa lalu dan pembiaran ide perpanjangan masa jabatan. Tentunya penilaian Kontras tidak bisa diabaikan.
Saya berpandangan, dengan hanya menyoroti sosok Jokowi, langkah itu kurang tepat dan tidak menyelesaikan masalah.
Pertama, setelah pemilihan presiden 2019 yang berakhir dengan kebohongan masif dan kekerasan oleh elemen-elemen intoleran dari barisan pendukung Prabowo Subianto, Jokowi dipaksa berkompromi dengan banyak pihak, termasuk pelanggar hak asasi manusia masa lalu. Ini adalah pilihan sulit. Namun tidak ada yang bisa menjamin kondisi akan lebih baik apabila Jokowi tidak berkompromi. Kekerasan akan berkepanjangan, apalagi bila membiarkan demokrasi kembali sepenuhnya dibajak oleh hantu-hantu otoritarianisme Orde Baru yang kini berseranjang dengan elemen-elemen intoleran. Tak hanya akan menyirnakan harapan penyelesaian kasus HAM, hal ini juga bakal makin membuat kita sulit membuka lembaran baru sejarah demokrasi Indonesia.
Kedua, sulit bagi Jokowi tidak merangkul banyak kepentingan, termasuk partai politik, untuk mengimbangi koalisi Prabowo Subianto yang menerima dukungan kaum intoleran dengan tangan terbuka. Sebab, keutuhan bangsa dipertaruhkan. Sangat naif mengharapkan pembentukan koalisi tandingan ini, termasuk drama pengumuman calon wakil presiden hingga detik-detik akhir, sepenuhnya bebas dari politik uang dan feodalisme elite partai politik. Lagi-lagi pilihan berat harus diambil Jokowi. Sebab, meskipun popularitas dan elektabilitas Jokowi tinggi, secara struktural hukum kita menempatkan elite partai politik dan kerabat-kerabatnya pada posisi yang menentukan.
Ketiga, pencopotan hakim konstitusi Aswanto oleh Dewan Perwakilan Rakyat, di mana kepentingan-kepentingan elite partai ini bersekamar, menunjukkan masih banyak titik lemah dalam demokrasi kita yang bersifat struktural. Pandangan Bambang Wuryanto dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Habiburokhman dari Partai Gerindra bahwa hakim konstitusi yang diusulkan DPR adalah kepanjangan tangan dari lembaga legislatif menegaskan pencopotan Aswanto bukan sekadar urusan administrasi. Secara telanjang kedua elite partai itu meyakini DPR berhak mengintervensi Mahkamah Konstitusi. Independensi hakim konstitusi adalah salah satu pilar demokrasi yang saat ini memang masih sangat rapuh.
Hemat saya, hakim konstitusi, yang bertugas menguji konstitusionalitas undang-undang produk DPR, seharusnya dipilih untuk menjabat seumur hidup agar lebih terjamin independensinya. Apabila ia dapat dicopot oleh DPR, Mahkamah Konstitusi tidak ubahnya stempel karet. Anggota Mahkamah Agung Amerika Serikat, sebagai pemegang kekuasaan yudikatif/kehakiman yang berwenang menguji konstitusionalitas produk hukum, diusulkan oleh presiden (eksekutif) lalu disetujui oleh Senat (cabang legislatif) untuk menjabat seumur hidup. Alasannya, agar para hakim berfokus menjalankan amanat konstitusi tanpa khawatir akan karier kehakimannya, apalagi karier politiknya.
Saya sepakat dengan Kontras bahwa perlu napas panjang dalam membangun dan menjaga demokrasi. Dua tahun sisa masa jabatan Jokowi tidak cukup untuk menuntaskan semua agenda Reformasi. Demokrasi Indonesia memang rentan terhadap kemunduran, antara lain karena dikepung otoritarianisme sayap kanan dan sayap kiri, juga oportunisme dari "tengah". Menggarisbawahi kemunduran selama periode kepemimpinan Jokowi tidaklah keliru karena memang ada faktanya. Namun mengesankan periode Jokowi sebagai musabab mundurnya demokrasi terlalu simplistis dan justru menjauh dari solusi nyata.
Koko Dillon
Jakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo