Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perpisahan Manis Goenawan Mohamad
TULISAN yang berbicara selalu menghiasi setiap halaman majalah yang terbit sepekan sekali ini. Tak terkecuali halaman terakhir yang diasuh oleh Goenawan Mohamad (GM). Tidak hanya berbicara melalui kalimat elegan, setiap katanya mampu memberikan tafsiran tentang bermacam peristiwa di masa silam, sekarang, dan mendatang dengan begitu gamblang. Tak jarang GM mengambil latar peristiwa yang sangat jauh di masa lalu, dan kemudian dengan mudah membangun infrastruktur berpikir yang dapat menemukan makna relevansinya dengan kehidupan sekarang. Hal ini bagiku sangat menakjubkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya bisa dibilang anak kemarin sore yang mengenal GM melalui Catatan Pinggir di majalah Tempo. Tapi perkenalan yang berkesan. Tak banyak tulisan yang mampu mengajak para pembacanya berpikir dan berdialektika secara bebas seperti yang disuguhkan GM dalam rubrik Catatan Pinggir. Kebanyakan tulisan datang dengan bentuk komunikasi searah yang tak memberikan sedikit pun ruang pendapat bagi pembaca. Kering dan kaku. Tak jarang juga membosankan. Namun hal semacam itu tidak berlaku pada esai-esai yang dituliskan GM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GM bukan tipe orang yang memaksakan pendapatnya agar diterima. Bukan juga orang yang suka mengunggulkan ini dari itu, atau membedakan yang ada dari yang tidak ada. Kematian dan kehidupan pun diperlakukan setara. Dalam esai-esainya, tak ada pihak yang dimenangkan, tak ada gagasan yang ditinggikan, tak ada pula tujuan yang paling dibenarkan. Baginya, semua peristiwa adalah kesatuan yang saling memberi dan mengisi. Pendapat tentang salah atau benar menjadi kabur, akhirnya yang muncul adalah kebijaksanaan. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang meluaskan jangkauan berpikirnya, membuka mata, telinga, serta hati secara bersamaan. Dan yang tak kalah penting, mengosongkan diri untuk menerima semesta sebagai hukum fundamental kehidupan.
Dalam majalah Tempo edisi minggu pertama April 2023, Catatan Pinggir secara resmi berhenti di 2.027 esai yang terpublikasi dalam 15 jilid buku. Sebuah capaian yang patut dirayakan baik oleh penulis maupun penikmatnya. Meski ada yang menyesalkan keputusan GM menyudahi rubrik Catatan Pinggir di 1,5 juta kata, di satu sisi itu menjadi jalan pilihan yang harus diambil di tengah berbagai macam variabel yang mengharuskannya berhenti atau melanjutkan umur Catatan Pinggir. Dan GM memilih mencukupkan itu.
Ada beberapa alasan GM menyudahi Catatan Pinggir yang dikemukakan dalam rubrik Marginalia “Setelah 46 Tahun”. Sebagai anak muda, saya meyakini GM berhenti bukan semata karena ia tak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan pembaca yang berubah. Ia berhenti sebagai jalan kebijaksanaan. Sebagaimana pepatah mengatakan “Barang siapa yang mengetahui jauhnya perjalanan, tentu ia akan mempersiapkan perbekalan”. Ia adalah seorang penulis yang mengetahui panjangnya perjalanan yang harus ditempuh dan berapa banyak bekal yang harus dibawa. Dari situ saya banyak belajar dari kebijaksanaannya menempatkan diri dalam banyak hal, khususnya sebagai bapak yang mengajarkan berpikir kepada para pembaca setia Catatan Pinggir. Terima kasih, Goenawan Mohamad.
Diko Ahmad Riza Primadi
Jurnalis
Ganefo atau Connefo
GENERASI muda Indonesia sekarang pasti banyak yang tidak mengetahui fakta Games of the New Emerging Forces—disingkat Ganefo—dan Conference of the New Emerging Forces atau Connefo. Ganefo dan Connefo adalah bentuk perlawanan Presiden Sukarno terhadap negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris, yang secara masif menebar pengaruh kepada negara-negara dunia ketiga dengan berbagai cara yang ekspansif. Selain itu, secara tegas Indonesia menyatakan keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada waktu itu memang berlangsung Perang Dingin, dan negara-negara di dunia terbelah menjadi dua bagian, yaitu Blok Barat dan Blok Timur.
Ganefo adalah sebuah pesta olah raga yang dibuat untuk menyaingi Olimpiade dan diadakan di Gelora Bung Karno, yang dulu lebih dikenal sebagai Gelora Senayan, pada 1963. Ganefo berjalan dengan sukses dan diikuti 52 negara. Pada 1962, Indonesia juga sukses menjadi tuan rumah Asian Games IV. Adapun Connefo adalah lembaga dunia yang dibentuk sebagai pesaing dan menjalankan fungsi seperti PBB. Gedung yang sekarang digunakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Daerah dulu dibangun oleh Bung Karno sebagai markas dan tempat kegiatan Connefo.
Ganefo dan Connefo menghimpun hampir semua negara dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Betapa hebat pengaruh seorang Bung Karno dalam menjalankan politik luar negerinya, walaupun pada eranya Indonesia sedang didera kemiskinan. Namun, yang patut dibanggakan, Indonesia pada era tersebut tidak mempunyai utang luar negeri sama sekali. Betapa harga diri bangsa betul-betul dijaga.
Pemilihan Umum 2024 di ambang pintu, Indonesia sangat berharap mempunyai pemimpin dengan visi serta misi yang benar-benar terarah, terukur, dan membuahkan hasil nyata berupa kesejahteraan yang merata bagi semua lapisan rakyat. Sebentar lagi kita akan memperingati 78 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, usia yang sudah sangat matang, usia ketika Indonesia seharusnya bisa menjadi panutan bangsa lain dari sisi ekonomi dan politik.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo