Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hak Jawab
MELALUI surat pembaca ini, saya mengajukan keberatan atas tulisan hasil wawancara wartawati Tempo, Istiqomatul Hayati, dengan saya yang dimuat dengan judul “Hikayat BRI” di majalah Tempo edisi 22-28 Oktober 2018. Gaya bahasa dalam tulisan tersebut cenderung negatif dan judgmental sehingga mengesankan saya sebagai pihak yang tidak setuju dengan investasi Cina melalui Belt and Road Initiative (BRI). Padahal tidak demikian kondisi sebenarnya. Sebab, saya mengatakan dalam wawancara tersebut bahwa Indonesia memang membutuhkan investasi dan Cina telah menawarkan bantuannya. Investasi dari Cina disambut baik di tiga provinsi yang menjadi tujuan utama investasi melalui BRI, yakni Sumatera Utara, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Utara.
Saya juga mengatakan observasi CSIS terhadap BRI terjadi pada tahap awal implementasi program ini. Memang, awalnya aturan belum jelas dan masih banyak fleksibilitas yang diberikan karena bentuk kerja sama ini masih mencari formatnya. Karena tidak ada kejelasan aturan, tidak dapat dihindari banyak spekulasi berkembang, termasuk soal mengapa proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung dimasukkan juga sebagai bagian dari BRI. Tapi dalam tulisan tersebut dikesankan sampai saat ini format BRI tidak jelas. Kini sudah banyak kemajuan dalam implementasi BRI.
Saat ini wacana tentang BRI kembali menghangat dan banyak negara mempertanyakan kembali keuntungan apa yang bisa dipetik melalui program tersebut. Ini suatu kewajaran dalam dunia investasi. Sri Lanka saya pakai hanya sebagai satu kasus bahwa bisa terjadi change of arrangement dalam konteks BRI yang kadang-kadang tidak menguntungkan host country.
Selain itu, banyak bukti yang menunjukkan overcapacity di Cina dalam bentuk modal dan tenaga kerja. Tapi bukan berarti BRI memang ditujukan untuk menampung kelebihan tersebut, terutama tenaga kerja. Transfer of skills dari Cina memang diperlukan pada awal program ini dijalankan dan aturan ketenagakerjaan antara Cina dan Indonesia memang mutlak diperlukan.
Demikian klarifikasi yang saya buat. Terima kasih.
Vidhyandika D. Perkasa
Centre for Strategic and International Studies Jakarta
Hoaks Makin Merajalela
PADA 2000, penyebaran hoaks belum terlalu memiliki tujuan. Zaman itu, penyebaran hoaks hanya berupa pesan pendek, seperti “sebarkan pesan ini ke semua kontak Anda atau tidak keluarga Anda meninggal”. Seiring dengan perkembangan zaman, hoaks punya struktur sehingga masyarakat mudah terhasut.
Edukasi masyarakat menjadi penting, terutama mengenai konten yang menyebar lewat pelbagai media. Tak gampang percaya dengan melihat kapabilitas media penyebarnya menjadi penting. Hukum juga kini makin tegas menindak para penyebar hoaks. Namun, anehnya, meski makin banyak berita orang ditangkap polisi karena menyebar hoaks, tetap saja orang menyebar berita yang belum tentu benar.
Edukasi dan Internet sehat kian menjadi penting di tengah menjamurnya hoaks saat ini. Caranya, tidak usah jauh-jauh, cukup kita mulai dari keluarga dan diri kita sendiri.
Muhammad A. Syarifudin
Jombang, Jawa Timur
Aturan Ganjil-Genap Jakarta
SETELAH aturan ganjil-genap pelat nomor kendaraan dihapus seusai Asian Games dan Para Games, lalu lintas di beberapa ruas jalan Jakarta kembali “normal”, dalam arti kembali macet dan ruwet. Padahal, jika diteruskan, kebijakan ini bisa pelan-pelan menurunkan tingkat kemacetan dan masyarakat kian akrab dengan transportasi umum.
Sebuah kebijakan memang akan disikapi dengan resistansi atau penolakan dari masyarakat. Ini sesuatu yang wajar. Namun sebuah kebijakan yang dipertahankan karena berdampak baik pada masyarakat akan diikuti oleh masyarakat juga. Masyarakat akan terbiasa dan mencari jalan sendiri untuk menyesuaikan diri dengan aturan.
Buktinya, jika orang Indonesia ke luar negeri, mereka akan menuruti aturan di sana. Di Jepang, orang Indonesia bisa antre, juga merokok dan membuang sampah pada tempatnya. Ada sistem dan aturan yang memaksa orang hidup tertib. Resistansi adalah ongkos penegakan sebuah aturan.
Jadi aturan ganjil-genap sebaiknya diterapkan terus karena tujuannya baik, yakni mengurangi kemacetan. Di Jakarta, kemacetan merembet pada banyak hal: kebiasaan, kultur, bahkan produktivitas. Jangan biarkan macet mempengaruhi budaya dan mengubah sikap kita dalam banyak hal.
Wawan H.
Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo