Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMENG, yang bernama lengkap Alfiansyah Bustami, mendapatkan suara tertinggi untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Barat. Ia meraih 5,3 juta suara. Agaknya ada pesan terselubung dari warga Jawa Barat dengan memilih Komeng. Pertama, mereka memutuskan memilih calon yang dikenal, walaupun sekadar melalui layar televisi. Selain itu, Komeng sudah menanamkan kebaikan dengan memberi hiburan dan kegembiraan. Kedua, masyarakat sudah apatis karena tidak mengenal sebagian besar calon yang ada, apalagi kualitas dan kinerja mereka. Ketiga, barangkali masyarakat menganggap para calon lain tidak lebih sebagai “komedian” yang kualitasnya masih jauh di bawah Komeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumbangnya para politikus senior dalam Pemilihan Umum 2024 seharusnya disikapi dengan serius oleh partai-partai politik. Ada yang keliru dalam cara menjaga dan merawat konstituen sebagai pemegang hak suara. Bukan rahasia lagi bahwa para politikus mendekati konstituen hanya menjelang pemilu. Setelah terpilih, mereka menikmati duduk di menara gading dan melupakan para pemberi suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kaderisasi juga tidak berjalan dengan baik. Partai-partai mengambil jalan pintas dengan merekrut artis atau pesohor sebagai pendulang suara tanpa mempertimbangkan kemampuan dan kualitas mereka. Sampai kapan partai-partai akan menyadari bahwa terlalu berisiko menyerahkan urusan rakyat dan negara kepada wakil mereka yang kualitasnya dipertanyakan?
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
Besar Bukan Berarti Kuat
PARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan menjadi satu-satunya partai politik yang mandiri mengusung calon presiden 2024. Kenyataan membuktikan keunggulan ini tidak menampilkan kekuatan partai tersebut sebagai penentu pertarungan politik di negeri ini. Banteng, lambang PDIP, memang hewan besar dalam ukuran. Tapi ukuran besar tidak otomatis menjadikannya pemangsa, malah dapat menjadi mangsa. Dulu Sutan Sjahrir mengandalkan pembentukan partai kader dengan mengacu pada tujuan mencerdaskan bangsa agar partainya mandiri dan merdeka.
Sayangnya, partainya, Partai Sosialis Indonesia, gagal dalam Pemilihan Umum 1955 dan pemilihan dimenangi oleh mereka yang melakukan agitasi dan propaganda yang jauh dari mencerdaskan. PDIP tidak memanfaatkan momentum keunggulan suara dalam dua kali pemilihan presiden untuk membangun partai profesional. Partai ini terlena dan masih berada dalam aura feodalistik. Mereka keliru dengan melontarkan pernyataan yang dinilai sebagai pelecehan terhadap peran pemimpin sah, yang dikatakan sekadar petugas partai.
Masyarakat harus cukup cerdas melihat watak manusia dalam pusaran elite politik. Nepotisme eksekutif yang dibantu pihak legislatif dilancarkan melalui lembaga yang seyogianya mengawal bidang yudikatif. Lalu lahirlah situasi seperti saat ini. Di sisi eksekutif, cengkeraman hierarki kekuasaan cukup kuat.
The game is already over. Semoga kita belum terlambat berharap demokrasi di negeri ini berkembang lebih kuat, bukan sebaliknya. Karena itu, para cendekiawan dan pelaku politik yang memiliki kredibilitas dan nyali bertugas menggalang upaya menegakkan kebenaran yang hakiki.
Setelah pemilihan presiden selesai, hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat tidak juga terwujud. Ketua DPR dari PDIP yang seharusnya paling berkepentingan malah tidak hadir dalam sidang yang mengawali kemungkinan digulirkannya hak angket ini. Saya teringat ucapan Yap Thiam Hien saat sidang pembelaan G-30-S. Ia mencuplik Injil Yohanes 8:7. Bunyinya, “Ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit lalu berkata kepada mereka: ‘Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu’. Ternyata tidak seorang pun yang maju.”
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo