Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Logika Rocky Gerung

Logika Rocky Gerung dalam berdebat. Ia pandai memindahkan sudut pandang.

1 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Budaya Kekerasan

KERUSUHAN di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, mau tidak mau mengingatkan kita pada peringatan yang dikatakan Buya Ahmad Syafii Maarif: mentereng di luar, remuk di dalam. Buya menyadarkan kita semua bahwa sosoknya yang visioner patut diperhatikan serta dijadikan acuan dalam menetapkan berbagai kebijakan di negeri tercinta ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Opini dalam Tempo edisi 25 September-1 Oktober 2023 menilai Presiden Joko Widodo tidak bisa lepas tangan begitu saja atas masalah di Pulau Rempang. Pendekatan kepada masyarakat dengan kekerasan membuat kita prihatin. Tempo menyebutkan kekerasan di Papua, misalnya, sebagai “laku generik”. Kosakata bernuansa otoritarianisme juga kita dengar dari para pejabat negara: "buldoser" dan "dipiting". 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika semua kekerasan itu dibiarkan, negeri ini akan tumbuh dalam budaya kekerasan. Kekerasan dalam masyarakat setiap hari kita lihat di berita, dari perundungan hingga tindak kriminal berat. Benturan masyarakat didasari hal primordial seperti perbedaan keyakinan. Bahkan hal sepele pun bisa memicu kekerasan.  

Reformasi 1998 membawa korban jiwa yang tidak sedikit. Setelah 25 tahun, demokrasi yang diperjuangkan ternyata diwarnai kekerasan yang jauh dari cita-cita awal. Kecerdasan serta nalar yang disertai welas asih seolah-olah tidak ada dalam kamus pemerintah. Hal ini makin menjauhkan kita dari upaya membangun masyarakat demokratis, bermartabat, serta dewasa yang dilandasi kejujuran dan welas asih. Pemerintah makin jauh dari konstituen utama: rakyat Indonesia yang memberikan amanah kepada mereka untuk mengelola negeri tercinta ini. 

Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta Pusat


Logika Rocky Gerung

DALAM sebuah perdebatan di televisi antara Rocky Gerung dan Ruhut Sitompul, Rocky menyatakan, “Penting bagi anak-anak agar diberi pelajaran logical fallacies sebagaimana diajarkan kepada anak-anak SMP di Prancis sehingga mereka mampu berdebat dengan para senator.” Fallacy artinya sesat pikir, yaitu “kekeliruan dalam penalaran berupa pembuatan kesimpulan dengan langkah-langkah yang tidak sah karena melanggar kaidah-kaidah logika, ataupun berupa perbincangan yang bercorak menyesatkan”. 

Ada 36 jenis fallacy. Yang terkenal adalah fallacy of reductio ad absurdum-nya Zeno tentang balapan lari Achilles melawan kura-kura. Menurut logika ini, pemenangnya adalah kura-kura yang bertahan selama 2.500 tahun. Cara Zeno memenangkan kura-kura adalah mengubah sudut pandang bahwa bilangan nol bisa dibagi dengan hasil tidak terhingga. Paradoks tersebut patah oleh ilmu matematika modern yang menyatakan bilangan nol tidak bisa dibagi atau habis dibagi. Zeno dan pengikutnya disebut kaum Stoa. 

Socrates, Epicurus, dan Zeno dalam satu barisan yang berpendapat bahwa kebenaran bersifat subyektif. Sementara itu, Plato berpendapat kebenaran bersifat obyektif. Pendapat Plato menjadi fondasi peradaban dunia modern sekarang. Sebagian filsuf berpendapat bahwa kaum Stoa tidak bisa disebut filsuf karena mereka berdebat bukan untuk mencari kebenaran, tapi mencari kemenangan. Kalau Rocky Gerung berdebat menggunakan cara berpikir Stoa, artinya Rocky bukan seorang filsuf. Contoh fallacy model Stoa adalah ketika Rocky berdebat dengan Ruhut Sitompul.

Ruhut Sitompul menyatakan bahwa ia adalah pengacara papan atas. Rocky menjawab, apabila dibandingkan dengan Richard Posner, pengacara yang juga hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, Ruhut Sitompul adalah pengacara papan dangkal. Rocky mengganti sudut pandang pengacara Indonesia dengan sudut pandang pengacara Amerika Serikat. Ini mirip dengan penggantian sudut pandang dari kura-kura ke Achilles atau dari sudut pandang Achilles terhadap kura-kura. Permainan sudut pandang ini menjadi bumerang bagi Rocky Gerung seandainya Ruhut Sitompul membalasnya dengan mengatakan Rocky adalah dosen papan dangkal bila dibandingkan dengan John Dewey, dosen filsafat di Amerika Serikat. 

Sesat pikir (fallacy) Rocky Gerung dalam reductio ad absurdum sesungguhnya menyesatkan banyak orang. Rocky hanya mahir menggeser sudut pandang. Argumen permainan sudut pandang ini tidak laku di pengadilan karena metode putusan pengadilan adalah logika deduksi dan induksi. Artinya, Rocky harus bersiap-siap menerima vonis pengadilan sebagaimana dulu Socrates divonis pengadilan karena mendekonstruksi kebenaran obyektif menjadi kebenaran sudut pandang.

Harjito
harjito12388@gmail.com

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus