Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BPJS Guru
SAYA seorang guru sekolah menengah atas swasta di Pematang Siantar, Sumatera Utara, yang menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan sejak 2003. Saya memenuhi semua persyaratan untuk menerima bantuan subsidi upah (BSU) seperti: gaji kurang dari Rp 3,5 juta, bukan penerima Program Keluarga Harapan, Bantuan Produktif Usaha Mikro, dan Kartu Prakerja, serta bukan aparatur sipil negara atau personel Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai surat ini ditulis, saya belum menerima BSU tersebut. Saya sudah berusaha menghubungi pegawai BPJS Ketenagakerjaan Pematang Siantar, tapi hanya mendapatkan jawaban standar, “Kami hanya menyerahkan data peserta yang memenuhi syarat.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, saya tidak tahu apakah data yang diserahkan itu lengkap dan tidak ada manipulasi. Lagi pula prosesnya juga tidak transparan. Kesan saya, program BSU dikerjakan asal-asalan. Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak dan merasa sudah membantu pekerja. Masalah ada yang dapat atau tidak, itu tidak penting.
Zainal Abidin
Pematang Siantar, Sumatera Utara
Sulitnya Mencari Tempo
AKU punya keyakinan media cetak, khususnya majalah dan koran, masih banyak pembacanya meskipun media sosial Internet, seperti YouTube, dan podcast berkibar saat ini. Berita-berita yang membutuhkan kedalaman untuk memahami suatu topik masih harus dibaca di koran atau majalah, khususnya Tempo.
Persoalannya, mungkin yang agak berat bagi media massa cetak adalah hijrahnya iklan ke media yang lain seperti YouTube. Tiras media cetak yang makin merosot menjadi beban juga. Menyoroti tiras yang merosot, menurutku, ini tidak hanya karena pembaca media cetak koran dan majalah berpindah ke platform lain. Penyebab lain, konsumen sulit membeli koran dan majalah eceran.
Kurang-lebih 20 tahun yang lalu sepertinya di setiap gang di kota-kota ada pengecer koran dan majalah. Sekarang hampir mustahil kita bisa membeli media cetak di lapak koran. Di daerahku di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, sudah tidak ada penjaja koran dan majalah. Tinggal satu agen koran nasional yang melayani pelanggan. Sebagai contoh betapa sulitnya mendapat media cetak di kotaku, kalau aku kangen sama Tempo, aku mesti membeli dari agen di Surabaya.
Harga Tempo Rp 50 ribu dan ongkos kirimnya Rp 20 ribu. Ini tidak seperti pada 1990-an di Parakan ketika masih ada agen Tempo. Saat itu, setiap Selasa aku bisa melihat mobil truk boks membawa Tempo. Sejatinya aku ingin berlangganan selama satu tahun, tapi saat ini kondisi belum memungkinkan.
Muhisom Setiaki
Temanggung, Jawa Tengah
Pembinaan Olahraga
INDONESIA, negara dengan penduduk kurang-lebih 276 juta atau nomor keempat di dunia, dan sudah menjelang 77 tahun merdeka, ternyata prestasi olahraganya seperti jalan di tempat, atau bahkan cenderung menurun.
Di tingkat Asia Tenggara (SEA Games), Indonesia hanya sepuluh kali menjadi juara umum dari 31 kali kejuaraan yang pernah diadakan. Kita kalah oleh Thailand yang sudah 13 kali menjadi juara umum. Sebagai negara terbesar di Asia Tengara, seharusnya Indonesia bisa mendominasi kejuaraan tersebut. Pada tingkat Asia (Asian Games), posisi terbaik Indonesia adalah sewaktu menjadi tuan rumah Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang, yaitu di peringkat keempat setelah Cina, Jepang, dan Korea Selatan.
Kita bisa mencapai peringkat keempat karena diuntungkan oleh hak istimewa sebagai tuan rumah yang diperbolehkan menambah beberapa cabang olahraga yang sekiranya bisa mendulang perolehan medali. Yang menjadi pertanyaan, apa sebenarnya yang salah dalam pembinaan olahraga, karena sebetulnya negeri kita mempunyai sumber daya manusia yang sangat memadai?
Salah satu langkah sederhana untuk perbaikan dan peningkatan prestasi adalah mengembalikan kepengurusan semua cabang olahraga kepada tangan-tangan yang tepat dan ahli. Orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya dan tidak memikirkan hal lain, serta secara sepenuh hati dan berdedikasi memberikan waktunya untuk olahraga. Mereka tidak berpikir mencari keuntungan materi dari jabatannya sebagai pengurus cabang olahraga.
Berikan keleluasaan kepada pengurus setiap cabang olahraga untuk bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar guna mendapatkan sponsor dana pembinaan dengan skema yang tentunya saling menguntungkan. Apabila perlu, kursi Menteri Pemuda dan Olahraga juga dijauhkan dari sosok politikus.
Kita merindukan sosok seperti Bob Hasan (atletik), Sudirman (bulu tangkis), dan T.D. Pardede (sepak bola), pemilik Pardede Tex Club. Hampir semua pemain sepak bola nasional pada masa itu berkumpul di Pardede Tex Club. Dedikasi mereka dalam mengurus dan membina olahraga tidak perlu dipertanyakan lagi.
Masih belum terlambat untuk melakukan perbaikan, asalkan ada kemauan dan komitmen dari semua pemangku kepentingan. Prestasi olahraga yang baik bisa menjadi hiburan dan penyemangat masyarakat, karena masih mempunyai sesuatu untuk dibanggakan.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo