Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Soal Belajar Tatap Muka di Masa Covid-19

Bisakah belajar tatap muka di masa pandemi Covid-19? Apa risikonya?

10 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soal Belajar Tatap Muka

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana memberlakukan pembelajaran tatap muka terbatas di sekolah mulai Juli 2021. Salah satu pertimbangannya adalah dampak sosial negatif bagi sebagian besar peserta didik selama mengikuti pembelajaran jarak jauh di masa pandemi Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalahnya, pembelajaran tatap muka berpotensi meningkatkan jumlah penderita Covid-19 di tengah lonjakan angka kasus infeksi. Demi memastikan pendidikan yang aman dan inklusif bagi anak, berikut ini ada beberapa rekomendasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah daerah benar-benar memperhatikan lonjakan angka kasus Covid-19 pada usia anak. Keterbukaan dan transparansi sebaran Covid-19 sangat diperlukan sebagai dasar diputuskannya pemberlakuan pembelajaran tatap muka, sekaligus memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak, orang tua, guru, dan masyarakat.

Dinas pendidikan menyiapkan secara matang dan cermat skenario teknis pembelajaran tatap muka dengan merujuk pada surat keputusan bersama empat menteri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran tatap muka terbatas di masa pandemi Covid-19. Perlu ada opsi untuk mengikuti atau menolak program ini.

Sekolah harus memberikan informasi secara terbuka, valid, akurat, dan cepat kepada anak, orang tua, dan masyarakat jika terdapat kasus penularan Covid-19 yang terkonfirmasi selama kegiatan belajar berlangsung. Sekolah harus menghentikan pembelajaran tatap muka jika terindikasi terdapat kasus infeksi.

Pemerintah pusat bersinergi dengan pemerintah daerah mengalokasikan dana (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta dana desa) untuk perbaikan dan penyediaan berbagai sarana prasarana-pendukung pembelajaran jarak jauh (daring), seperti listrik, akses Internet, dan bantuan gawai bagi anak dari keluarga kurang mampu. 

Moudy Alfiana
Jakarta


Keamanan Siber UMKM

Pandemi Covid-19 telah mengubah pola interaksi masyarakat serta cara bisnis beroperasi. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (2020), selama 2020, terdapat sekitar 10,2 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menggunakan teknologi digital dalam kegiatan usahanya. Angka ini meningkat kurang-lebih 13 persen dibanding pada tahun sebelumnya.

Meskipun di satu sisi pemanfaatan teknologi digital memungkinkan pelaku UMKM tetap terhubung dengan konsumen dan dapat menjangkau konsumen baru serta meningkatkan pendapatan, adaptasi digital juga memiliki risiko. Di antaranya risiko siber seperti penipuan online, peretasan, pemalsuan identitas, dan bocornya data konsumen.

Berdasarkan statistik Fundera (2020), pada 2020, 43 persen serangan siber tertuju pada usaha kecil. Kesalahan manusia merupakan salah faktor terbesar yang mempengaruhi keamanan siber sebuah perusahaan. Kurangnya pemahaman akan keamanan siber juga dianggap sebagai penyebab utama masih banyak pelaku usaha, termasuk UMKM, sangat rentan terhadap kejahatan di jagat maya.

Menurut data Cybint (2020), 77 persen perusahaan tidak memiliki rencana mitigasi terhadap serangan siber. Perlu edukasi kepada usaha menengah, kecil, dan mikro akan fenomena ini. Rendahnya literasi menjadi faktor penting rentannya UMKM terhadap serangan siber. 

Maisha D. Ardani
Jakarta


Kesehatan Reproduksi Remaja

Masalah kesehatan remaja mencakup aspek fisik biologis dan mental-sosial. Masa remaja adalah masa-masa yang rawan terhadap penyakit dan masalah kesehatan reproduksi, seperti kehamilan remaja, dengan segala konsekuensinya.

Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi, dan proses reproduksi yang dimiliki remaja. Pengertian sehat tidak semata-mata berarti bebas dari penyakit atau dari kecacatan, tapi juga sehat secara mental dan sosial.

Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan risiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi. Setiap tahun kira-kira 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi, dan hampir 100 juta terinfeksi penyakit menular seksual yang dapat disembuhkan. Secara global, 40 persen dari semua kasus infeksi human immunodeficiency syndrome atau HIV terjadi pada kaum muda berusia 15-24 tahun.

Karena itu, remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor di sekitarnya. 

Febby Anugrah Utami
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus