Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Golput dan Calon Perseorangan
PADA Pemilu 2014, warga negara Indonesia yang berhak memilih berjumlah 186.612.255 dan yang menggunakan hak pilih hanya 75,2 persen. Sisanya tidak memilih alias “golput”. Sedangkan pada Pemilu 2019, warga yang berhak memilih berjumlah 196.545.636, tapi yang menggunakan hak pilih hanya 81,97 persen. Pemilu 2014 dimenangi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan perolehan suara 18,95 persen, lalu pada Pemilu 2019 jumlah suaranya naik menjadi 19,33 persen. Karena itu, pemenang Pemilu 2014 yang sebenarnya adalah golput dengan perolehan suara sebesar 24,8 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artinya, masih cukup banyak warga yang enggan menggunakan hak pilih mereka dengan berbagai pertimbangan yang memang masuk akal. Mereka bisa dibagi dalam beberapa kelompok. Pertama, ada kemungkinan mereka bukan anggota ataupun simpatisan partai peserta pemilu. Kedua, kelompok yang telanjur apatis dan tidak percaya pemilu bisa membawa perubahan menuju kesejahteraan. Ketiga, mereka adalah anggota atau simpatisan partai, tapi merasa tak terwakili karena selama ini tidak merasakan manfaat langsung ataupun tidak langsung. Keempat, mereka tidak suka terhadap calon-calon anggota legislatif—selain tidak ada yang dikenal, banyak dari mereka yang merupakan politikus karbitan. Kelima, mereka adalah pemilih pemula yang bersikap masa bodoh terhadap partai dan pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini patut menjadi perhatian serius karena sebagian besar orang dalam kelompok golput mempunyai latar belakang pendidikan yang baik dan datang dari lingkungan yang sejahtera. Secara sosial, mereka punya pengaruh cukup besar di lingkungan. Artinya, mereka bisa dengan mudah mempengaruhi masyarakat di lingkungan terdekat agar menggunakan ataupun tidak menggunakan hak pilih.
Barangkali sudah waktunya pemerintah dan partai politik punya keberanian serta memberi kesempatan kepada calon perseorangan menjadi anggota legislatif. Apabila ada niat baik dan kemauan politik, Undang-Undang Pemilu bisa diperbaiki untuk mengakomodasi calon perseorangan.
Apabila para politikus yang bertarung untuk memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah merasa punya kualitas yang bagus, seharusnya mereka tidak perlu khawatir bersaing dengan calon-calon perseorangan. Dalam setiap kampanye, program yang benar-benar akan mencapai sasaran dibuktikan dengan langkah nyata, bukan retorika belaka.
Di masa mendatang, seharusnya calon presiden perseorangan juga harus diakomodasi. Sebaiknya berdemokrasi memang tidak setengah-setengah. Ihwal banyaknya warga kita masih belum paham dengan baik apa makna demokrasi, tentunya menjadi kewajiban semua pemangku kepentingan untuk memberikan pendidikan politik dengan baik.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
Untuk Kepala Polri
SEJAK 2005, saya mengurus pendaftaran dua bidang tanah di Kelurahan Meruya Utara, Jakarta Barat. Awal 2006, Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat melakukan pengukuran. Karena sakit, pada 2010 (almarhum) pemilik mengambil surat ukur nomor 150/2006 dan 151/2006 tertanggal 20 Juni 2006 dan survei lokasi serta mengajukan permohonan ulang, tapi tidak ditanggapi.
Diduga ada oknum pegawai Kantor Pertanahan Jakarta Barat yang memanipulasi data hasil pengukuran, menggelapkan sebagian luas tanah dengan menerbitkan nomor identifikasi bidang tanah dan sertifikat hak milik, serta mengubah sertifikat adjudikasi 2000 menjadi SHM pada 2007. Pemilik kehilangan sebagian luas tanahnya dan seluruh bidang tanahnya terisolasi.
Pada 2011, hal ini saya laporkan ke Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat, tapi tidak ada tidak lanjut. Pada 15 April 2013, saya melapor ke Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya dengan nomor laporan LP/1203/IV/2013/PMJ/Ditreskrimum. Penyidik kesulitan menghadirkan saksi dan meminjam warkat dari Kantor Pertanahan Jakarta Barat. Pada 10 November 2014, saya melaporkan kasus ini ke Ombudsman, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Sampai kini tidak ada tindak lanjut. Semoga Kepala Kepolisian RI membaca surat ini dan menyelesaikan kasus tersebut.
Andi Priyatna
Tangerang, Banten
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo