Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjelasan Hery Susanto
MEMBACA Tempo edisi 31 Januari-6 Februari 2022 dengan judul utama Investigasi “Hutan Habis Nikel Binasa”, saya hendak menjelaskan berita pada halaman 44-45:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akan halnya Hery, namanya tenar sebagai pejabat Ombudsman yang ringan tangan menerbitkan LAHP untuk banyak perusahaan nikel. Ombudsman adalah lembaga negara yang bertugas menangani malaadministrasi pemerintahan. “Pendapat hukum jaksa dan Ombudsman semestinya bukan jadi alas hukum masuk MODI," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Legal opinion (LO) kejaksaan diatur dalam peraturan Kejaksaan Agung atas permintaan instansi pemerintah yang sedang menangani suatu perkara. Namun semestinya LO kejaksaan itu digunakan untuk memeriksa suatu perkara baik di lembaga peradilan maupun lembaga non-peradilan, seperti Ombudsman yang memeriksa laporan tentang dugaan malaadministrasi. LO tersebut tidak bisa dijadikan alas hukum oleh instansi terkait, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam penanganan izin usaha pertambangan (IUP).
Sejak 2009 telah terjadi beberapa kali perubahan administrasi perizinan tambang di Indonesia. Pada 2009-2014, penerbitan izin tambang adalah kewenangan bupati, lalu pada 2014-2020 menjadi kewenangan gubernur. Setelah terbit Undang-Undang Cipta Kerja, kewenangan menerbitkan IUP bergeser ke pusat, dalam hal ini Kementerian Energi.
Perubahan kewenangan dari daerah ke pusat menyebabkan kompleksitas tata kelola perizinan, khususnya tambang. Jumlah laporan Ombudsman di bidang pertambangan naik lebih dari 100 persen setelah Surat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 20004/30/DJB/2000 tertanggal 26 Agustus 2020 kepada kepala dinas provinsi terbit.
Surat tersebut memuat penegasan penyampaian IUP non-C&C bahwa permasalahan izin tambang dapat disampaikan kepada pengadilan dan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti Ombudsman.
Keberadaan LO kejaksaan, alih-alih menjadi terobosan dalam memberikan kepastian hukum dan perbaikan tata kelola perizinan usaha tambang, justru memunculkan potensi malaadministrasi oleh instansi terkait. Misalnya dalam kasus penundaan proses administrasi permintaan pertimbangan LO kepada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah dan penundaan proses lebih lanjut ke Kementerian Energi yang termuat dalam Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 970/357/GUB.ST tertanggal 4 Oktober 2021.
Penjelasan surat tersebut mengindikasikan penerbitan sejumlah LO kejaksaan tinggi menyisakan persoalan baru di sektor pertambangan, khususnya di Sulawesi Tengah. Di antaranya indikasi penyimpangan prosedur. Sampai saat ini, menurut Kepala Bidang Minerba Dinas Energi Sulawesi Tengah, sudah terdapat 120 IUP yang diterbitkan dari 400 permohonan.
Tempo menulis: Masalahnya, penerbitan LAHP tidak gratis. Para pengusaha harus mengeluarkan Rp 1,5 miliar untuk mendapatkannya dalam tempo singkat. Tentu saja Hery menyangkal. “Kalau LAHP terbit cepat bukan berarti ada uang pelicin,” katanya. “Itu karena kelengkapan dokumen saja.”
Ombudsman wajib menangani laporan masyarakat yang disampaikan secara formal dengan dokumen lengkap dan sah sesuai dengan Undang-Undang Ombudsman. Proses itu dijalankan tanpa pungutan biaya. Penyelesaian laporan masyarakat di Ombudsman tidak singkat, memakan waktu, dipengaruhi kelengkapan dokumen pelapor dan respons pemenuhan dokumen dari pihak terlapor, yakni instansi pemerintah.
Ihwal pengusaha mengeluarkan biaya besar untuk urusan internal mereka yang menggunakan jasa konsultan, advokat, dalam membuat laporan kasus dugaan malaadministrasi, itu bukan ranah Ombudsman dalam pemeriksaan laporan dan penyusunan laporan akhir hasil pemeriksaan atau LAHP.
Saat ini Kementerian Energi telah menerbitkan Keputusan Menteri Energi Nomor 15.K/HK.02/MEM.B/2022 tentang Tata Cara Pemrosesan Penerbitan dan Pendaftaran IUP pada 21 Januari 2022. Dalam keputusan tersebut, Kementerian Energi hanya mengakomodasi lembaga peradilan (pengadilan tata usaha negara) berupa amar putusan hukum dan Ombudsman berupa LAHP ada-tidaknya malaadministrasi dalam tata kelola IUP.
Hery Susanto
Anggota Ombudsman RI
Penjelasan PT Trimegah Bangun Persada
IHWAL artikel “Kawasi Terjebak Lumpur Nikel” pada Tempo edisi 7-13 Februari 2022, ada beberapa hal yang perlu diluruskan.
1. Kehadiran dan keberadaan kami di Desa Kawasi tidak bertujuan merusak dan menyebabkan kerusakan terumbu karang. Bahkan kami membuat program terumbu karang buatan agar ekosistem laut Kawasi yang telah rusak menjadi lebih baik. Kami juga bekerja sama dengan Universitas Khairun dan masyarakat menanam 8.300 bibit mangrove di area seluas 6,5 hektare.
2. Petikan kalimat “bukit-bukit berhutan dikupas” merupakan opini yang tidak tepat. Sebelum menjadi pertambangan, daerah ini berisi belukar diselingi pohon yang jarang dan kurus. Sebab, di daerah ini pernah dilakukan penebangan dan terjadi kebakaran. Walaupun status lahan adalah hutan, hampir tidak ada hutan lebat dan rimbun. Perusahaan melakukan penanaman di daerah bekas tambang segera setelah lahan tidak digunakan lagi tanpa menunggu sampai tahap pasca-tambang. Hasilnya adalah daerah bekas tambang yang tertata dan ditumbuhi pepohonan yang lebih baik dari sebelumnya.
3. “Berton-ton tanah bijih nikel yang ditimbun dan meluber dibawa air hujan” merupakan opini karena timbunan bijih nikel dilengkapi drainase atau parit penahan yang mengalirkan air hujan ke kolam sedimen (settling pond) atau kolam pengendapan. Ini bagian dari praktik pertambangan yang wajib kami lakukan. Secara ekonomis, kami juga tidak ingin bijih nikel terbawa air hujan sehingga kami lengkapi dengan penutup tumpukan berupa terpal. Hasil pemantauan kami menunjukkan kandungan nikel di air sangat rendah, membuktikan tidak ada bijih nikel yang terangkut.
4. Kawasi bukan kampung nelayan. Jika wartawan bisa mendapatkan data jumlah penduduk sekitar 1.082 jiwa, seharusnya bisa juga mendapatkan data jumlah nelayan yang hanya 28 orang. Masyarakat Kawasi adalah pekebun dan saat ini sebagian besar telah menjadi karyawan serta mitra kami.
5. “Endapan lumpur di area air terjun” merupakan sesuatu yang perlu diklarifikasi. Masyarakat menggunakan mata air Kawasi dan sumur sebagai sumber air baku. Tidak benar jika yang dimaksud di mata air ini ada endapan lumpur dari kegiatan kami. Perusahaan tidak mengganggu sumber air dan membatasi kegiatan tidak sampai ke sumber air tersebut. Sumber air ini jernih. Jika sampai ke lokasi, wartawan pasti akan melihat fakta yang ada.
6. Sumber penelitian Muhammad Aris terhadap 12 spesies ikan dan kerang yang terpapar logam berat tidak diketahui asalnya. Muhammad Aris menyebutkan area penelitiannya dari Kawasi hingga Obi Selatan. Artinya, hal itu belum tentu berhubungan dengan aktivitas perusahaan kami.
7. Dalam pengadaan makanan karyawan, kami mengutamakan bahan makanan dari sekitar Obi, termasuk ikan. Kami sampai saat ini mengonsumsi ikan tangkapan nelayan sekitar karena memenuhi standar kelayakan untuk dikonsumsi.
8. “Pipa tailing” adalah tuduhan yang tidak berdasarkan fakta. Setiap pembangunan infrastruktur dan pembuangan limbah, termasuk ke laut, harus mendapatkan izin dan kami tidak memiliki izin ataupun aktivitas pembuangan tailing ke laut Kawasi.
9. Judul “Kawasi Terjebak Lumpur Nikel” dan gambar dengan sudut kecil kubangan lumpur tanah merah bisa didapatkan dari banyak tempat di Indonesia. Jika terjebak lumpur nikel, masyarakat pasti tidak bisa beraktivitas. Kenyataannya, masyarakat Kawasi masih beraktivitas seperti biasa dan terus berkembang dari waktu ke waktu.
Anie Rahmi
Corporate Communications Manager Harita Group
RALAT
PADA rubrik Wawancara edisi 7-13 Februari 2022 terdapat kesalahan fatal penulisan nama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letnan Jenderal Suharyanto. Tertulis “Agus Suharyanto”. Kami mohon maaf atas kekeliruan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo