Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politik dan Korupsi
POLITIK dan korupsi tidak bisa dipisahkan. Harold D. Lasswell, ilmuwan politik dari Amerika Serikat, mengatakan, “Politik memang urusan siapa yang mendapat apa, kapan, dan dengan cara bagaimana.” Walaupun demikian, Lasswell menegaskan, politikus seharusnya mengedepankan kepentingan publik daripada urusan pribadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemikir politik dari Prancis, Montesquieu (1689-1755), yang terkenal dengan ajaran Trias Politica, menyatakan, “Korupsi di pemerintahan selalu dimulai dengan korupsi prinsip dan aturan permainan.” Di banyak negara, termasuk Indonesia, aturan permainan dalam bernegara, atau biasa disebut sebagai undang-undang, dibuat dan disetujui bersama oleh eksekutif dan legislatif. Dari titik inilah sebetulnya korupsi dimulai, dengan membuat aturan permainan yang bisa dimanipulasi dan diperdagangkan serta menguntungkan kelompok tertentu. Karena itu, penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan bisa dilakukan dengan berlindung di balik aspek legalitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2023 hanya 34, menurun dibanding pada 2022. Karena itu, banyak pembahasan rancangan undang-undang yang terhenti atau sementara ditunda prosesnya karena tidak menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Contohnya Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Sebab, bagi para pelaku korupsi, baik yang berada di eksekutif maupun di legislatif, undang-undang tersebut sangat merugikan.
Semoga Pemilihan Umum 2024 bisa menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang baik serta benar-benar mengabdi untuk kepentingan rakyat. Makin banyak orang baik yang menjalankan roda kekuasaan, tentunya makin positif dampaknya terhadap lingkungan. Namun ucapan Aristoteles perlu dijadikan bahan perenungan, “Manusia baik belum tentu menjadi warga negara yang baik. Manusia baik hanya bisa menjadi warga negara yang baik apabila negaranya juga baik. Sebab, di dalam negara yang buruk, manusia yang baik bisa saja menjadi warga negara yang buruk."
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
Impunitas Korupsi
DUA pernyataan pejabat eksekutif tentang pemberantasan korupsi makin menyusutkan harapan tercapainya pembersihan negeri tercinta ini. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengatakan, makin sedikit operasi tangkap tangan (OTT) koruptor, kerja Komisi Pemberantasan Korupsi makin baik. Ironi itu bertambah ketika komisioner KPK, Johanis Tanak, meminta maaf karena hendak mengusut korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
Sangat tidak elok seorang menteri koordinator beberapa kali membuat pernyataan yang tidak sejiwa dengan komitmen Presiden Joko Widodo. Pernyataan Luhut membuat citra Indonesia buruk di mata dunia karena tidak memiliki dasar dan logika berpikir yang jelas. Pada kenyataannya, OTT justru bisa membuat citra Indonesia baik di mata dunia. Sebab, penegak hukum seperti KPK dan Kejaksaan Agung bisa membersihkan Indonesia dari pejabat korup. Memprihatinkan bahwa di Indonesia terjadi gejala “petty corruption down, but grand corruption persists” sehingga lebih menjelaskan betapa kontraproduktifnya pernyataan Menteri Luhut. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia 2021 hanya 38. Silakan bandingkan dengan CPI Selandia Baru yang angkanya 88. Yang lebih memprihatinkan, CPI Indonesia turun lagi menjadi 34 pada 2022.
Kejaksaan Agung menunjukkan kinerjanya dengan memberikan harapan di tengah kegamangan KPK menuntaskan kasus korupsi berskala besar, seperti korupsi pembangunan menara Internet di tempat terpencil. Pengingkaran terhadap semangat pemberantasan korupsi dapat saja menggunakan dalih normatif. Tapi korupsi sudah menjadi kedaruratan bagi bangsa ini dan terpulang kepada manusia yang memiliki idealisme serta keberpihakan pada kepentingan rakyat banyak.
Impunitas juga menggambarkan sikap feodalistis, penghambat kemajuan bangsa tercinta ini. Hukum harus murni ditegakkan, bebas dari kepentingan pribadi ataupun golongan. Fiat justitia, et pereat mundus dan fiat justitia, ruat caelum, dua ungkapan Latin yang berarti hukum harus ditegakkan meski bumi lenyap, mengingatkan kita pada pepatah Cina kuno, “Sebaik apa pun hukumnya, jika orang atau penegak hukumnya buruk, hukum pun akan buruk”.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo