Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Soal Rokok Elektronik

Surat pembaca.

22 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Klarifikasi dari PT HM Sampoerna Tbk

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami ingin mengklarifikasi pemberitaan Majalah Tempo berjudul "Anak Emas Tembakau Panas" edisi Senin, 17 Januari 2022. Ada ketidakakuratan soal informasi produk tembakau inovatif bebas asap tanpa pembakaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada halaman 22 dan 26 disebutkan bahwa kepanjangan IQOS adalah I Quit Original Smoking dan HEETS adalah Heat Not Burn Tobacco Product. IQOS bukanlah sebuah akronim. IQOS adalah perangkat yang dirancang secara khusus untuk memanaskan produk tembakau yang dipanaskan dalam suhu terkontrol dan bukan membakarnya. Sehingga, tidak menghasilkan api, asap, dan abu. IQOS dikembangkan dan dipasarkan oleh perusahaan induk kami, Philip Morris International.

Kami harap klarifikasi tersebut bisa mengoreksi pemberitaan Majalah Tempo sebagai sumber berita yang kredibel di Indonesia. Terima kasih.

Elvira Lianita
Direktur PT HM Sampoerna Tbk.


Orang Sunda dalam Sastra Kita

KATA sahibul mitos, perempuan Sunda senang berleha-leha, pemalas, dan tak becus mengurus rumah tangga. Orang tua Jawa yang berkukuh melarang anaknya kawin dengan perempuan Sunda bukan tanpa alasan, karena konon, “Takut anak saya melarat.”

Stereotipe negatif terhadap suku apa pun tidak selalu benar. Selain merugikan, stereotipe ini dapat memicu perpecahan bangsa. Kita sama-sama orang Indonesia, hidup dalam satu negara yang sama. Lebih baik kita saling menjaga keragaman untuk saling mengenal (ta’aruf), tak peduli dari suku mana dan kebudayaan apa.

Mitos lain yang banyak menjadi pertimbangan orang tua Jawa, juga dari suku lain, konon perempuan Sunda itu boros, tak pandai memegang uang, memasak, bersih-bersih, terlalu gemar berdandan, tidak sopan, dan lain-lain. Sebaliknya, perempuan Sunda sering menganggap pria Jawa suka ceplas-ceplos, asal ngomong, dan terkesan kasar karena suaranya yang lantang dan keras.

Ayu Utami pernah menulis dalam novelnya, Bilangan Fu (2008), tentang pangkal sejarah mitos yang menabukan pernikahan suku Jawa dengan suku Sunda. Diceritakan bahwa kerajaan Majapahit yang berasal dari Jawa terlibat konflik dengan kerajaan Pajajaran yang berasal dari tanah Sunda. Konflik tersebut diawali oleh keinginan Hayam Wuruk menikahi Putri Dyah Pitaloka dari Pajajaran. Konon, Hayam Wuruk merasa terhipnosis oleh kecantikan wanita Sunda di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seniman kerajaan bernama Sungging Prabangkara.

Hayam Wuruk mendatangi sang putri Pajajaran dan berniat menikahinya setelah mendapat restu dari kerajaan Majapahit. Singkat cerita, Hayam Wuruk yang tadinya telah mengirim surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana diterima dengan baik dan kemudian sang raja Pajajaran berangkat dengan rombongan ke Majapahit, tepatnya ke Pesanggrahan Bubat, untuk melangsungkan pernikahan.

Tentu banyak yang tahu bahwa terdapat mitos yang mengatakan orang Sunda tidak boleh menikah dengan orang Jawa. Kebanyakan beranggapan bahwa mitos ini diawali dari Perang Bubat pada abad ke-14 itu, yang menyebabkan tewasnya rombongan Raja Sunda yang mengantar Putri Dyah Pitaloka untuk menikah dengan raja Hayam Wuruk.

Ayu Utami lebih mengacu pada aspek historiografis. Ini berbeda dengan novel Perasaan Orang Banten (2012) karya penulis kelahiran Cilegon, yang langsung masuk dengan membicarakan karakteristik perempuan Sunda di era hipermodern ini.

Ia bercerita melalui penokohan artis dangdut berdarah Sunda, Poppy Ratnasari, yang kemudian menjadi binal dan urakan setelah putus dengan pacarnya. “Kalau toh laki-laki (Jawa) berani memperlakukan perempuan sesuka hati, saya juga sanggup memperlakukan semua laki-laki di dunia ini sekehendak hati saya,” katanya. Ia memilih bergonta-ganti pacar, hidup di tengah pergaulan malam yang glamor, hingga terjerat narkotik. Kehidupannya itu sangat mencerminkan wanita Sunda dalam tantangan kesusastraan global dan universal saat ini.

Mungkin saja pengarangnya tak merasa perlu lagi mempersoalkan Dyah Pitaloka dalam konteks abad ke-14. Ini tak berbeda dengan karakteristik gadis liberal (diperankan Park So-Dam) bersama dengan impian-impiannya dalam film Asia pertama peraih Oscar, Parasite (2020).

Supadilah Iskandar
supadilahiskandar@gmail.com

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus