Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerja Sukarela untuk Tempo
MASIH minimnya pengetahuan politik dan wawasan masyarakat tentang tingkah polah rezim dari masa ke masa membuat pemilih kita tidak begitu peduli pada siapa yang benar-benar berpotensi memperbaiki bobroknya pemerintah negara kita selama ini. Pemilih kita tidak terlalu peduli akan rekam jejak kandidat dan perilaku cacat etika/cacat karier, dinasti politik, dan tabiat rezim pendukung salah satu pasangan calon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya ingin Tempo lebih masif mengedukasi rakyat Indonesia agar tidak gampang terbuai dengan kampanye omon-omon doang. Saya menyarankan Tempo membuat grup WhatsApp atau Telegram khusus buat relawan peduli politik dan bernegara. Grup ditujukan bagi siapa saja yang ingin bekerja ikhlas tanpa bayaran dari Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota grup cukup satu orang di setiap provinsi/kabupaten. Tugasnya adalah membantu menyebarkan informasi teranyar seputar isu politik dan gejolak/drama di pemerintahan yang diangkat Tempo untuk dipublikasikan kepada khalayak. Jadi, setiap kali hendak menerbitkan majalah, redaksi tinggal mengunggahnya ke grup pembaca agar kami bisa membaginya ke teman-teman lain di luar grup. Bisa jadi majalah kami broadcast ke akun WhatsApp selebgram daerah kami di setiap kabupaten/desa. Konten yang dibagi di grup bisa berupa infografis, sinopsis isu majalah Tempo yang siap terbit, dan lainnya.
Secara tidak langsung, dengan mempromosikan Tempo, saya berharap bisa meningkatkan kembali jumlah produksi/oplah majalah Tempo ataupun orang yang tertarik berlangganan versi online. Tempo juga bisa memberikan hadiah agar ada kebanggaan bagi anggota terpilih. Anggota adalah “duta” majalah Tempo untuk menyebarkan informasi terbaru seputar gejolak yang terjadi di negara ini akibat ulah rezim.
Jika semua anggota masyarakat Indonesia melek politik dan rekam jejak kandidat pemimpinnya, di masa depan rakyat Indonesia tidak gampang terkecoh oleh calon presiden-wakil presiden yang membuai rakyat dengan gagasan yang omon-omon doang. Jika usul saya ini disetujui, mohon masukkan nomor kontak saya. Sebab, saya ingin menjadi bagian dari grup sukarelawan majalah Tempo.
Hardi Yan
Indragiri Hilir, Riau
Terima kasih, Pak Hardi, telah menjadi pendukung setia Tempo. Kami sudah membuat grup Telegram sebagai sarana menyebarkan artikel dan konten-konten. Silakan bergabung di sana. Semoga Anda selalu sehat.
E-KTP dalam Pemilu
TIDAK terbayangkan berapa ton kertas yang kita gunakan untuk kebutuhan pemilihan umum tempo hari. Entah berapa hektare hutan dan pohon yang ditebang untuk pengadaan kertas. Akibatnya, hutan kita gundul. Pantas banjir terjadi di mana-mana. Kita harus melakukan sesuatu untuk menghindari kejadian lebih parah. Caranya adalah menggunakan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP yang sudah dimiliki masyarakat.
Selama ini, atau sampai sekarang, rasanya belum pernah e-KTP digunakan secara elektronik. Kita masih tetap dimintai fotokopinya bila berhubungan dengan data pribadi. Itu pun akan diganti lagi dengan KTP digital. Aneh, bukan? Belum juga e-KTP digunakan, harus diganti lagi dengan yang lebih modern. Apakah ini korban teknologi?
Diharapkan Pemilu 2029 nanti menggunakan sistem elektronik. Maksudnya, e-KTP dijadikan alat pemilu. Pencoblosan bisa dilakukan di setiap kantor kelurahan atau kantor kecamatan. Urusan teknisnya bisa kita bicarakan. Warga yang memiliki e-KTP bisa memilih dengan menggesek e-KTP miliknya. Pemilih yang beruntung bisa mendapatkan hadiah panci, piring, atau sepeda bahkan sepeda motor. Siapa yang tidak tertarik?
Saya yakin cara ini lebih praktis dan hemat biaya. Jika pemilihan penyanyi terbaik dalam lomba-lomba bisa didasarkan pada voting lewat pesan, mengapa pemilu tidak?
Syaiful Pandu
Pekanbaru, Riau
Makna Etika
UNGKAPAN bahasa Jawa dan Sunda yang sering terdengar di kalangan masyarakat adalah ora nduwe isin/teu boga kaera. Ini adalah celaan tanpa konsekuensi hukuman mengenai tiadanya rasa malu. Di dalam masyarakat yang memiliki akhlak dan tata nilai luhur, orang yang diberi stigma ini diharapkan wawas diri dan memperbaiki perilaku kesehariannya.
Saat ini kita melihat mereka yang diharapkan mengabdi kepada masyarakat dengan kejujuran dan integritas yakin memiliki impunitas. Di Minangkabau dikenal ungkapan gadang karengkang. Mereka keras kepala dan merasa paling benar sendiri.
Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty (2019) mengulas masalah yang mirip kita hadapi saat ini. Buku ini memberikan ilustrasi Gilgamesh dalam kisah 4.000 tahun lalu yang menunjukkan pembangunan kota yang megah dan lengkap bagi rakyatnya. Di sisi lain, perilakunya zalim. Kemudian kekuatan di langit, Anu, menciptakan sosok penyeimbang, Enkidu. Dari kisah ini muncul istilah masa kiwari, checks and balances.
Pada awalnya, meskipun kalah, Enkidu bisa mengurangi kekuatan despotik Gilgamesh. Namun kedua tokoh yang dirancang saling mengendalikan ini malah bergandengan tangan bak sahabat dan melanjutkan kezaliman. Kisah ini seakan-akan kita lihat di panggung politik negeri kita tercinta.
Checks and balances tidak mungkin terwujud bila didatangkan dari atas dengan menciptakan doppelganger atau duplikat. Liberty memerlukan hukum yang datang dari masyarakat melalui politik dengan muatan yang menentukan keberadaan suatu pemerintahan ataupun menyanggah serta menggantinya.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo