Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI balik jendela Laboratorium Imaging, Kebun Raya Cibodas, Cianjur, Jawa Barat, Aisyah Handayani menunjuk pohon berbunga oranye. Kiacret (Spathodea campanulata)—begitu nama pohon itu—tumbuh subur di belakang gedung. Aisyah, peneliti dari Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyebutnya sebagai contoh tumbuhan alien alias jenis asing invasif di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ia berisiko karena dahannya rapuh sehingga berpotensi membahayakan pengunjung,” kata Aisyah, Senin, 27 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aisyah tengah berfokus pada studi manajemen jenis asing invasif—sebutan bagi spesies asing yang membentuk populasi di luar wilayah jelajah alaminya dan berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati setempat. Dia menggarap tesis di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB University), Jawa Barat, mengenai 88 tumbuhan asing invasif di Cagar Biosfer Cibodas.
Menurut Aisyah, kiacret yang berasal dari Afrika juga mengancam ekosistem dan spesies di kawasan konservasi, seperti di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. "Kiacret dikabarkan menjadi sangat invasif,” ujarnya.
Daya invasif kiacret di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, telah dijabarkan Nasri dari Program Studi Konservasi Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Dalam makalahnya yang terbit di Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam pada 26 Desember 2022, Nasri menyebutkan kiacret mampu menggantikan jenis tumbuhan asli sehingga harus dikendalikan dan dieradikasi.
Untuk mengetahui penyebaran kiacret, Nasri membuat jalur berukuran lebar 20 meter dengan posisi melintang dan membujur (utara-selatan dan timur-barat) dengan persimpangan jalur berada di tengah-tengah tegakan. Panjang jalur dari pusat tegakan dibuat sejauh masih ditemukan individu kiacret.
Di Resor Pattunuang, salah satu wilayah kerja Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, kiacret menyebar sejauh 320 meter ke utara, 200 meter ke timur, 280 meter ke selatan, dan 320 meter ke barat dari pusat tegakan. Hal serupa terjadi di Resor Karaenta, kiacret menyebar sejauh 300 meter ke utara, 80 meter ke timur, 60 meter ke selatan, dan 100 meter ke barat dari pusat tegakan.
“Jauhnya distribusi S. campanulata ke luar dari pusat tegakan, disebabkan bijinya yang bersayap sehingga mudah diterbangkan angin,” tulis Nasri dalam makalahnya.
Adapun Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada 2017 mencatat kiacret telah mengokupasi kawasan seluas lebih dari 430 hektare. Dominasi kiacret ini mengancam tumbuhan asli yang menjadi spesies kunci seperti beringin (Ficus sp.) yang merupakan pakan dan pelindung bagi satwa endemis, termasuk monyet hitam (Macaca maura), julang Sulawesi (Acerox cassidix), kangkareng Sulawesi (Rhabdotorrhinus exarhatus), dan balao tarsier (Tarsius fuscus). Selain 43 jenis Fiscus, ada 116 jenis anggrek alam, enam di antaranya dilindungi.
Aisyah melihat kiacret di Kebun Raya Cibodas tak seinvasif di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Dalam penelitian Aisyah pada 2018, kiacret tak masuk daftar 88 spesies asing invasif di Cagar Biosfer Cibodas. Namun, di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), yang berdampingan dengan Kebun Raya Cibodas, kiacret tumbuh di area Sungai Cibeleng dengan ketinggian 1.249 meter di atas permukaan laut (mdpl). Menurut Laporan Kajian Flora dan Fauna TNGGP 2013, kiacret tumbuhan kedua yang paling tidak dominan.
Kepala Balai Besar TNGGP Sapto Aji Prabowo mengatakan, berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi, khususnya di kawasan montana, submontana, dan subalpin, terdapat 35 jenis asing. Dari jumlah itu, ada 7 spesies invasif dan 28 jenis noninvasif. "Tersebar pada ketinggian 1.200-2.700 mdpl,” tutur Sapto di kantornya, Senin 3 Juni 2024.
Tujuh jenis invasif itu adalah kicente (Lantana nitrida), kidamar (Agathis damara), konyal (Passiflora suberosa), babakoan (Bartlettina sordida), kecubung (Brugmansia suaveolens), pisang kole (Musa acuminata), dan teklan (Ageratina riparia). “Dari Indeks Nilai Penting, teklan yang paling melimpah keberadaannya,” ucap Sapto. “Dari analisis citra satelit, pisang kole terlihat jelas. Di area seperti Geger Bentang dan Mandalawangi, di beberapa spot telah tertutup pisang kole.”
Ketika Tempo mengunjungi TNGGP awal Juni 2024 itu, di pinggir jalan batu dan di sekitar pos pendaftaran pendaki jalur pendakian Gunung Gede via Cibodas tampak teklan rimbun menyebar. Di dekat pagar besi yang memisahkan kawasan TNGGP dengan Kebun Raya Cibodas juga banyak tumbuh pisang kole. “Bibit rasamala yang ada anjirnya itu kalah bersaing dengan teklan yang tumbuh di sekelilingnya,” ujar Asep Hasbilah, Pengendali Ekosistem Hutan dan Kepala Resor Gunung Putri TNGGP.
Asep mengungkapkan, teklan selama ini ditangani dengan dipotong secara manual. Namun, sebulan setelah dipotong, tumbuhan itu muncul kembali. “Kami tidak berani menggunakan bahan kimia,” tuturnya. Dia berharap ada penelitian mengenai analisis risiko terhadap tumbuhan bertipe semak tersebut. “Kalau sudah ada penelitiannya, kita bisa mengetahui cara pemberantasan yang benar.”
Spesies asing invasif juga masih menghantui Taman Nasional Baluran di Situbondo, Jawa Timur. Akasia berduri (Acacia nilotica) telah merambah lebih dari separuh area sabana di kawasan konservasi yang dijuluki Africa van Java itu. Berdasarkan laporan pemetaan pada 2012, akasia berduri telah menyebar di area seluas hingga 5.592 hektare. Dalam perkembangannya, pada 2018, wilayah sebaran invasi diperkirakan telah lebih dari 6.400 hektare.
Pada 1969, akasia berduri sengaja ditanam di Sabana Bekol untuk mencegah menjalarnya kebakaran ke hutan musim. Penanaman dilakukan dengan menabur biji di batas area Sabana Bekol bagian selatan sepanjang 1,2 kilometer. Akasia berduri tumbuh optimal hingga tingkat pohon, kemudian menguasai lahan dengan membentuk tegakan padat dan homogen. Akibatnya, hidup rerumputan yang menjadi pakan banteng Jawa (Bos javanicus) dan rusa Timor (Cervus timorensis) tertekan.
Sabana Kramat, Asem, dan Sabuk, yang lokasinya tak jauh dari Sabana Bekol, juga terinvasi. Invasi tumbuhan alien di Sabana Kramat diketahui pada 1999. Pemberantasan tegakan sebenarnya pernah dilakukan pada 1999-2000. Setahun berikutnya, pengendalian dilanjutkan terhadap anakan semai-pancang yang tumbuh kembali. Namun, karena tidak ada perlakuan lanjutan berupa pemeliharaan, area terbuka hasil pengendalian mengalami invasi kembali.
Kepala Seksi Wilayah I Taman Nasional Baluran Muhammad Wahyudi mengatakan ada sejumlah perlakuan penanganan invasi dan pemulihan ekosistem sabana di Taman Nasional Baluran yang disesuaikan dengan tingkat invasinya. “Pada sabana dengan kerusakan ringan akibat invasi akasia berduri, dilakukan serangkaian patroli,” kata Wahyudi.
Patroli yang dimaksud Wahyudi adalah pengerahan personel dalam jumlah kecil—sekitar 10 orang per hektare—untuk mengoles bagian pangkal batang dengan campuran herbisida dan solar. Tim patroli juga dapat melakukan pembakaran terkendali dan tindakan perlindungan sabana dari gangguan gembala ternak liar yang bisa menyebarkan biji akasia.
Kegiatan pembersihan dan pengendalian tumbuhan air bulu ayam (Myriophyllum aquaticum) di Ranu Darungan, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang/Dok. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Pada area sabana dengan kerusakan sedang hingga berat, Wahyudi menambahkan, diterapkan metode pemulihan ekosistem skala restorasi. Perlakuannya berupa pemberantasan tegakan akasia. Menurut dia, upaya pengendalian akasia berduri dengan tingkat kepadatan tinggi ini memerlukan tenaga kerja dalam jumlah besar, sekitar 60 orang per hektare. Mereka menggunakan metode stump brushing, yakni mengoleskan herbisida pada bagian tunggul pohon setelah ditebang.
Penanganan jenis asing invasif juga sudah dilakukan pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Lumajang, Jawa Timur. Di kawasan konservasi yang ditetapkan pada 1982 ini, khususnya di Ranu Darungan, tumbuhan air bulu ayam (Myriophyllum aquaticum) terserang. Hampir 80 persen permukaan Ranu Darungan tertutup tumbuhan asal Amerika Selatan ini.
“Pada 2016, mulai kami bersihkan bersama lima jenis asing invasif lain,” ucap Kepala Resor Ranu Darungan Toni Artaka di kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV Pronojiwo, Selasa, 11 Juni 2024. Lima spesies invasif lain itu adalah pakis nyamuk (Azolla pinnata), kiambang (Salvinia molesta), daun tanah (Austroeupatorium inulaefolium), verbena (Verbena brasiliensis), dan rumput ganepo (Salvinia natans).
Toni mengungkapkan, keberadaan spesies ini sebenarnya terdeteksi sejak 2006. Namun spesies yang sedang mendominasi saat itu adalah Salvinia. Bulu ayam, yang biasa dijadikan tumbuhan penghias akuarium yang dijual di toko ikan hias, baru teridentifikasi sedekade kemudian. “Pasti ada yang bawa. Tidak mungkin ada agen lain, satwa misalnya,” ujar Toni, yang menjadi ketua tim penyusun analisis risiko spesies alien invasif pada 2021.
Keberadaan bulu ayam yang menginvasi hampir 80 persen kawasan sangat mengganggu kehidupan biota air lain. “Perkembangbiakan ikan-ikan native yang ada di situ, seperti wader dan ikan gabus, serta udang menjadi terganggu,” tutur Toni. Perairan itu, Toni menambahkan, juga merupakan habitat capung. Myriophyllum pun mengambil oksigen di sana. “Ini mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem alami."
Upaya pengendalian yang dilakukan sejak 2016 terus ditingkatkan pada 2018-2022. Sejak 2018, pembersihan dilakukan empat kali dalam setahun. Pada 2023, frekuensi pembersihan diturunkan menjadi dua kali setahun karena daya invasinya bisa dikendalikan. “Saat ini masih tersisa 15-20 persen kawasan. Upaya pengendalian terus dilakukan hingga saat ini. Namun memang daerah atau spot-spotnya sulit dijangkau,” kata Toni.
Pengendalian bulu ayam ini melibatkan masyarakat sekitar danau. Pembersihan dilakukan secara bergiliran dengan mengerahkan 20-30 orang dalam setiap kerja bakti. Toni mengatakan keterikatan masyarakat dengan danau ini sangat erat. Warga merasa, ketika bulu ayam menginvasi, pemandangan danau menjadi tidak bagus. “Warga hanya ingin pemandangan danau kembali seperti semula,” ucapnya.
Menurut Titiek Setyawati, Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) pada 2015 telah memetakan jenis asing invasif di taman nasional. Pengelola 54 taman nasional diberi formulir tentang jenis asing invasif di wilayah masing-masing. "Yang mengembalikan itu 27-28 taman nasional,” kata Titiek, yang merupakan Kepala Kelompok Riset Pengelolaan Jenis Invasif Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN. Artinya, lebih dari separuh taman nasional di Indonesia menghadapi ancaman jenis asing invasif.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Satyawan Pudyatmoko mengatakan kabar persebaran jenis asing invasif di lebih dari separuh taman nasional tersebut baru informasi awal. “Masih memerlukan tahapan penentuan jenis asing invasif dari hasil identifikasi, inventarisasi, dan/atau penentuan status risiko,” kata Satyawan melalui jawaban tertulis, Selasa, 11 Juni 2024.
Menurut Satyawan, informasi itu harus melalui tahap klarifikasi dan klasifikasi tumbuhan invasif berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.94/2016, pendapat para ahli, serta literatur lain. Tahap berikutnya, Satyawan melanjutkan, adalah pemetaan persebaran untuk melihat distribusi jenis tumbuhan invasif dan posisinya di zona atau blok kawasan konservasi. Selanjutnya, analisis risiko jenis invasif disusun untuk menentukan prioritas pengelolaan.
Setelah penentuan jenis asing invasif prioritas, Satyawan menambahkan, barulah penanganan dilakukan berdasarkan rekomendasi-rekomendasi dalam analisis risiko. "Penanganannya bisa berupa eradikasi, pemusnahan infestasi, atau pengelolaan populasi," ujarnya.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik KLHK Nunu Anugrah memastikan pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk mengawasi dan memantau keberadaan serta penyebaran spesies asing invasif di sejumlah wilayah, termasuk kawasan konservasi. Tindakan pengendalian, kata dia, juga dilakukan terhadap spesies asing invasif yang sudah menyebar.
“Indonesia juga terlibat dalam kerja sama internasional untuk mengatasi masalah spesies asing invasif, baik melalui pertukaran informasi, pengembangan strategi bersama, maupun proyek pengendalian spesies invasif lintas batas,” tutur Nunu.
Menurut dia, pemerintah juga mengimplementasikan kebijakan tentang pengenalan, perdagangan, dan pemeliharaan spesies asing invasif. “Regulasi ini bertujuan mengurangi risiko penyebaran spesies invasif ke habitat alami,” ucap Nunu. Pemerintah, kata dia, pun tengah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang risiko dan dampak spesies asing invasif serta pentingnya upaya mencegah dan mengendalikan penyebarannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Irsyan Hasyim dan David Priyasidharta dari Lumajang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Invasi Tumbuhan Alien di Taman Nasional"