Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pulau Rote memiliki danau yang unik, Danau Laut Mati atau Oemasapoka namanya. Berada di tengah pulau, danau ini punya salinitas lebih tinggi dari air laut.
Tim peneliti gabungan dari IPB University, Yapeka, Universitas Gadjah Mada, Universitas Syiah Kuala, dan Yayasan Lamun Indonesia, menemukan lamun Ruppia brevipedunculata di Danau Laut Mati.
Awalnya menduga menemukan kembali lamun Ruppia maritima yang sudah punah dan hanya ada spesimennya di Herbarium Bogoriense.
KEBERADAAN petak-petak lamun di Danau Laut Mati atau Oemasapoka di Desa Sotimori, Kecamatan Landu Leko, Kabupaten Rote Ndao, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, mengejutkan Pramaditya Wicaksono. Guru besar pengindraan jauh biodiversitas pesisir di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu tak menyangka bakal menemukan lamun di danau tengah pulau tapi ekosistemnya sangat mirip dengan pesisir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Profesor termuda UGM itu bercerita tentang penemuan spesies baru lamun pada September 2021 di danau yang terletak di sisi timur laut Pulau Rote. Danau ini unik karena salinitasnya lebih tinggi dibanding air laut. Salinitas rata-rata air laut adalah 32 bagian per seribu (ppt). Sedangkan salinitas Danau Laut Mati 40-42 ppt.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Karena di sana tidak ada kapal, kami hanya menyurvei di perimeter danau. Di salah satu lokasi, kami temukan petakan (patch) lamun itu,” kata Pramaditya kepada Tempo, Jumat, 4 Oktober 2024. “Sewaktu dicek, kami bingung awalnya, karena belum pernah lihat spesies model begini.”
Pramaditya merujuk pada buku Status Ekosistem Lamun di Indonesia Tahun 2021 yang diterbitkan Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2022. Buku itu mencatat 16 jenis lamun yang dimiliki Indonesia. Dua spesies di antaranya tidak lagi ditemukan di alam dan hanya tersisa dalam bentuk spesimen di Herbarium Bogoriense di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, yaitu Halophila beccarii dan Ruppia maritima, yang ditemukan oleh Heinrich Zollinger di Ancol, Teluk Jakarta, pada 1847 dan A.J.G. Henri Kostermans di Pasir Putih, Jawa Timur, pada 1962.
Spesies Ruppia maritima menjadi fokus Pramaditya. Berdasarkan analisis foto, spesies itu sangat mirip dengan temuannya di Danau Oemasapoka. Ia mengandalkan foto lamun itu karena tak menyiapkan peralatan pengambilan spesimen. “Tujuan kami kan survei,” ujar Pramaditya, yang memetakan lamun dari Desa Oenggaut di Rote Barat hingga Desa Oeseli di barat daya Pulau Rote.
Sampel tangkai bunga (bagian tengah di bawah bulatan-bulatan kecil) lamun Ruppia brevipedunculata yang menjadi ciri pembeda dengan spesies Ruppia maritima/Yapeka/Akbar Ario Digdo
Dengan bangga Pramaditya memamerkan temuannya kepada koleganya di BRIN. “Kalian mesti merevisi buku Status Ekosistem Lamun di Indonesia karena kami menemukan Ruppia maritima,” ucap Pramaditya mengulangi perkataannya waktu itu. Namun pembicaraan dengan BRIN ini tidak seserius diskusinya dengan Akbar Ario Digdo, Chief Executive Officer Yapeka, organisasi nirlaba di bidang konservasi, pendidikan pelestarian alam, dan pemberdayaan masyarakat yang berbasis di Bogor.
Akbar mengamini ucapan Pramaditya. Dia mengungkapkan, pada November-Desember 2023, Pramaditya mengontaknya dan memperlihatkan foto lamun tersebut. “Ini lamun apa sih, kok, mirip Ruppia maritima?” ujar Akbar menirukan pertanyaan Pramaditya.
Foto itu membuat Akbar terkejut. Dia juga pernah melakukan survei di Danau Oemasapoka ketika Yapeka mendampingi masyarakat mengembangkan budi daya rumput laut di Sotimori. Namun Akbar tidak menemukan spesies lamun yang ditunjukkan koleganya.
Akbar lalu mengunjungi Danau Oemasapoka pada Februari 2024. Ia mengecek ulang dan mengambil sampel berupa daun, batang, rimpang, serta bunga di tiga titik lokasi. "Kebetulan musim berbuah belum mulai,” tutur Akbar kepada Tempo pada Selasa, 24 September 2024.
Akbar hakulyakin lamun yang ditemukan Pramaditya itu adalah Ruppia maritima. Karakteristik Danau Laut Mati, dia menjelaskan, sangat cocok untuk jenis lamun yang dianggap sudah punah di alam Indonesia itu. “Ruppia suka lokasi yang terlindung, seperti teluk kecil. Juga sedimennya yang relatif halus seperti lempung,” ucapnya. Skripsi Akbar di Fakultas Biologi UGM, juga tesisnya di Program Studi Magister Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor atau IPB University, berfokus pada lamun.
Untuk memastikan premis tersebut, Akbar lalu menghubungi Fery Kurniawan, koleganya dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB University. Keduanya sepakat melakukan tes asam deoksiribonukleat (DNA) untuk memastikan lamun yang ditemukan di Danau Laut Mati itu adalah Ruppia maritima. “Mas Fery memang leading di bidang identifikasi DNA.”
Fery mulai melakukan pengujian dengan teknik DNA barcoding pada hari pertama puasa Ramadan, 12 Maret 2024. “Sebenarnya fokus utama kami pada morfometrik, DNA hanya pendukung,” kata Fery, yang juga pengajar di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, di kantornya, Selasa, 10 September 2024.
DNA barcoding adalah metode untuk mengidentifikasi spesies menggunakan bagian pendek DNA dari satu gen atau beberapa gen tertentu sebagai penanda (barcode). Dalam penelitian Fery, penanda yang dipakai adalah gen ribulose-1,5-bisphosphate carboxylase/oxygenase, maturase K, dan internal transcribed spacer. Sekuens yang diperoleh kemudian diperbandingkan dengan sekuens-sekuens Ruppia spp. yang tersimpan di Genbank.
Berdasarkan pohon filogenetik yang dihasilkan, sekuens dari lamun Danau Laut Mati merupakan clade yang sama dengan sekuens dari India (nomor aksesi MW295425.1), Vanuatu (AB728734.1), dan Cina (JQ034336.1) yang disimpan di Genbank sebagai Ruppia maritima. Karena itu, tim lantas menulis makalah ihwal penemuan Ruppia maritima dan mengirimnya ke jurnal Aquatic Botany. Makalah itu dikembalikan oleh pengulas agar tim meninjau kembali secara morfologi.
“Ternyata memang ada dua kesalahan kami. Pertama, itu bukan spesies Ruppia maritima. Kedua, Genbank juga salah karena belum memutakhirkan sekuens dari Cina yang telah diidentifikasi ulang sebagai Ruppia brevipedunculata,” ujar Fery, yang menjadi penulis pertama makalah berjudul “First record of Ruppia brevipedunculata in Indonesia” yang terbit pada 9 Agustus 2024 itu. Identifikasi ulang dilakukan Shuo Yu dan Cornelis den Hartog pada 2014.
“Kalangan ilmuwan lamun internasional sudah sepakat bahwa Ruppia maritima yang dulu dianggap spesies kosmopolitan (bisa hidup di semua belahan dunia) ternyata tidak demikian,” tutur Fery. “Ruppia maritima ternyata hanya hidup di wilayah Mediterania dan Eropa. Setelah Yu dan Hartog mengganti Ruppia maritima di Cina menjadi Ruppia brevipedunculata, akhirnya yang lain juga memberi nama masing-masing.”
Secara morfologi, Fery menambahkan, karakteristik kunci yang membedakan Ruppia maritima dengan Ruppia brevipedunculata adalah ukuran panjang tangkai bunga (peduncle). Panjang peduncle Ruppia maritima berkisar 12-26 milimeter, sementara Ruppia brevipedunculata lebih pendek. Pengukuran oleh Fery dan tim mendapati panjang tangkai bunga dari lamun yang ditemukan di Danau Laut Mati itu berkisar 3,2-7,5 milimeter.
Novi Susetyo Adi, penyurvei pemetaan ahli madya pada Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menyebutkan kualitas informasi studi Fery dan tim ini sangat berharga. Kendati begitu, kuantitasnya masih minim. Menurut dia, perlu studi lanjutan bila studi itu hendak diterjemahkan ke level kebijakan.
Titik pengambilan sampel lamun Ruppia brevipedunculata di Danau Laut Mati (Oemasapoka) di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, Maret 2024/Yapeka/Akbar Ario Digdo
“Misalnya apakah dijadikan kawasan konservasi atau zona konservasi,” tulis Novi dalam jawaban tertulis, Kamis, 3 Oktober 2024. “Perlu informasi lebih lengkap terkait dengan luasan, sebaran lokasi keseluruhannya, dan gambaran yang lebih kuantitatif terkait dengan ancaman. Termasuk ancaman dari pemanfaatan (lamun tersebut) untuk pakan ternak yang disebutkan dalam publikasi."
Dalam makalahnya, Fery menyebutkan konservasi Ruppia brevipedunculata di Pulau Rote perlu diusulkan dan diinisiasi. Menurut dia, hal itu dibutuhkan karena berkaca pada sejarah hilangnya Ruppia maritima di Ancol akibat perkembangan kota. Terlebih lamun itu, yang dalam bahasa Rote disebut nau tasi, digunakan sebagai pakan ternak sapi.
Novi mengatakan Danau Laut Mati tak menjadi bagian dari Taman Nasional Perairan Laut Sawu yang dikelola langsung oleh KKP. Menurut dia, jika sudah ada kajian menyeluruh dari berbagai aspek, baik biofisik, sosial, maupun ekonomi, juga tak ada tumpang-tindih dengan peruntukan tata ruang yang sudah ada, Danau Laut Mati bisa diusulkan sebagai kawasan konservasi. Pengusulan itu bisa dilakukan oleh akademikus atau pemerintah daerah kepada KKP.
Opsi perlindungan lain, Novi menambahkan, adalah penetapan sebagai kawasan strategis nasional tertentu (KSNT) karena salah satu jasa ekosistem lamun sebagai ekosistem karbon biru, yaitu penyerap karbon, sehingga berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim. “Tentu saja penetapan KSNT ini memerlukan kajian lebih lanjut tentang lamun di Danau Laut Mati itu, misalnya berapa luasnya, berapa cadangan karbonnya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lamun Danau Air Asin Pertama"