Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMAR-SAMAR terlihat Happy Salma duduk. Pencahayaan agak temaram. Rambutnya dipotong pendek. Suasana seperti menjelang larut malam. Ia duduk bertafakur seorang diri di ruangan yang kosong. Pikirannya seperti mendapat firasat. Matanya entah menatap apa. Ia seolah-olah mendengar suara burung. Sebuah gumam solilokui muncul spontan dari mulutnya:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Burung apa berkicau pada malam sunyi ini? Burung malam tentunya, yang matanya tajam menembus kegelapan malam. Burung pengintai. Burung pengincar. Burung pemangsa yang menantikan kelengahan-kelengahan makhluk lain. Sepasang mata haus darah….”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Happy memerankan Suciwati, istri (almarhum) Munir Said Thalib. Tak panjang. Durasi monolog itu hanya 30 menit. Jauh lebih pendek dari yang sebelumnya ia bawakan, seperti monolog Inggit Garnasih dan Nyai Ontosoroh. Dan jauh berbeda dengan sebelumnya, monolog kali ini dilakukan secara daring (online). Setelah sukses menggagas, memproduseri, dan terlibat sebagai pemain pentas online Rumah Kenangan, yang mengumpulkan Butet Kartaredjasa, Ratna Riantiarno, Reza Rahadian, Wulan Guritno, dan Susilo Nugroho dalam satu pertunjukan, Happy agaknya terus memiliki gagasan pemanggungan di era pandemi ini.
Monolog ini, dibanding pentas daring sebelumnya, dipastikan lebih sederhana. Rumah Kenangan mengharuskan semua aktor serta penata cahaya dan set dari Jakarta berlatih di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja di Yogyakarta dan syutingnya menggunakan beberapa kamera. Sedangkan monolog ini cukup menggunakan sebuah sudut rumah di Denpasar, tanpa perlu set tambahan.
Adegan pembuka tentang solilokui burung malam, menurut saya, adalah sebuah leitmotif atau motif dasar. Kalimat tentang burung pengintai yang haus darah yang menantikan kelengahan makhluk lain menjadi kunci. Sebuah kalimat yang seharusnya menjiwai semua ucapan yang dilontarkan Happy, bahkan seluruh aura ruangan.
Tapi penyutradaraan memilih pencahayaan konstan terang-benderang selepas adegan pembuka, menepikan kemungkinan dialektika remang-remang dan terang bisa menciptakan kekuatan dramatisasi. Dalam ruangan kita melihat, selain meja dengan tumpukan berkas, sebuah rak buku di pojok. Juga sebuah jendela besar yang tertutup gorden tebal dan tak pernah dibuka, menandakan malam hari. Dalam ruangan yang senantiasa terang dan perabot minimalis seperti itu, Happy selaku Suciwati mengenang kejadian tragis yang menimpanya dan menuturkan pengakuan bagaimana ia sampai sekarang masih membayangkan Munir selalu hadir dalam keluarganya.
Sebuah kenangan menyentuh muncul tatkala Happy sebagai istri Munir mengisahkan bagaimana Alif, anak Munir, menyaksikan karangan bunga di rumah saat Munir wafat dan bertanya apakah benar sang ayah meninggal. “Kuingat Alif ketika membaca karangan bunga yang datang mengalir. Ia bertanya kepadaku, ‘Abah tidak meninggal, kan? Abah pergi sekolah, kan?’.”
Seno Gumira Ajidarma, penulis naskah Aku, Istri Munir, yang dibawakan Happy Salma itu juga menulis naskah Tumirah Sang Mucikari yang bercerita tentang penyerbuan orang-orang bertopeng ke sebuah desa. Dia juga menulis naskah Mengapa Kau Culik Anak Kami? yang berkisah tentang renungan seorang ibu yang anaknya diculik pada masa Orde Baru dan belum kembali. Naskah tersebut pernah dimainkan oleh Niniek L. Karim secara mengesankan. Naskah Aku, Istri Munir ditulis Seno Gumira 11 tahun lalu dan dipentaskan dalam acara peringatan 11 tahun kematian Munir pada 2005. Kini, 16 tahun setelah kematian Munir, di tengah kondisi sosial-politik yang tak menentu, situasi yang pasti membuat Munir bersuara tajam andai masih hidup, Happy Salma tak tergoda untuk menambah-nambahkan hal baru dalam monolog.
Salah satu adegan dalam pentas monolog "Aku, Istri Munir". Dok. Titimangsa Foundation
Bagian yang terasa kuat adalah tatkala Suciwati mengingat intimidasi-intimidasi yang ia peroleh, bahwa bisa saja, sesudah Munir, giliran dia diburu. “Hanya seminggu setelah Munir dimakamkan, datang teror berwujud paket kepala ayam dan kaki ayam lengkap dengan kotorannya ke rumah ini dan kantor Munir, serta surat kaleng,” kata Happy.
Juga bagian ketika Suciwati merenungkan betapa 16 tahun sudah berlalu tapi pembunuh Munir masih hidup bebas. “Pembunuh-pembunuh itu mungkin masih mengawasi kami, mungkin pula tidak. Yang tidak bisa kubayangkan hari ini, 16 tahun kemudian. Apakah kiranya yang dilakukan algojo itu? Apakah mereka ingat inilah hari mereka berhasil membunuh Munir? Apakah mereka sudah lupa, karena begitu sibuk mengerjakan pembunuhan-pembunuhan terencana yang lain?”
Selama monolog, tak banyak variasi dalam akting Happy. Ia, misalnya, tak menyentuh gorden—membukanya sedikit untuk menunjukkan kewaswasan. Ia bahkan tak membuka-buka buku, catatan yang ada di lemari, atau foto-foto kenangan bersama Munir. Ada upaya menampilkan wajah Munir dengan cara potret-potret Munir di dinding disorot. Namun hal itu malah terasa agak mengganggu, dan membikin monolog tidak sepenuhnya realistis. Lebih menarik bila, misalnya, adegan monolog disisipi flash back—dokumen mengenai Munir.
Tiket pertunjukan daring ini dibanderol Rp 35 ribu. Adapun bagi penonton yang baru memesan tiket (berupa tautan pertunjukan) pada Sabtu, 10 Oktober lalu, harga tiket Rp 50 ribu. Betapapun akting Happy tak sepenuhnya sugestif, monolog ini paling tidak mampu merefleksikan bagaimana istri seorang aktivis melawan rasa takut. Bagaimana istri seorang aktivis bisa sewaktu-waktu mendapat firasat suaminya akan “diambil”. Dan teng, teng. Jam berdentang malam hari. Itulah waktu saat burung pengintai, burung pengincar, mengawasi para aktivis yang dirasa mengganggu pemerintahan. Pada zaman apa pun. Bukan hanya 16 tahun silam.
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo