Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA adalah tokoh dalam pertunjukan virtual itu. Sepasang tangan di atas meja yang menjulur dari bagian bawah layar tampak seperti kepanjangan tangan siapa pun yang sedang menonton. Tokoh-tokoh lain dalam pertunjukan itu, yakni sejumlah sosok bertopeng boneka, akan berbicara langsung kepada kita, menatap telak ke arah kita, dan menggenggam tangan yang seolah-olah milik kita—para penonton. Lebih dari itu, ada instruksi sebelum menyaksikan pentas ini, yaitu mendengarkan suaranya lewat headphone. Telinga lantas menangkap jelas sekali serangkaian suara yang dapat membuat kita merasa betul-betul berada di ruang tempat pertunjukan terjadi. Ada suara napas lirih yang seolah-olah datang dari dada kita sendiri atau denging nyamuk yang seperti sedang terbang dekat sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertunjukan berjudul I Know Something that You Don’t Know ini tak berdialog. Sudut pandang hanya satu, yakni dari sisi penonton yang sekaligus menjadi tokoh pusat dalam cerita. Yang terlihat adalah meja makan di sebuah dapur yang remang-remang. Narasi dituturkan lewat gestur sosok-sosok bertopeng boneka yang datang silih berganti ke meja makan. Mereka adalah keluarga yang sedang murung karena suatu duka yang tak terjelaskan. Ada isak dan diam yang canggung. Menjelang akhir, ruangan menggelap, lalu muncul permainan bayangan yang dipantulkan pada teko di atas meja, pada keranjang pisang, pada stoples kerupuk, pada pintu dan jendela. Pertunjukan bayangan itu samar-samar menjelaskan luka apa yang sedang menggores keluarga ini. Indah dan penuh haru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk pertunjukan ini, kelompok Papermoon Puppet Theatre bereksperimen dengan teknik perekaman suara binaural. Teknik ini memungkinkan pendengarnya merasakan pengalaman audio tiga dimensi. “Kami sudah punya alatnya sejak 2015, tapi belum menemukan bentuk karya yang tepat untuk teknik ini,” ujar Iwan Effendi, direktur artistik Papermoon, dalam acara bincang virtual seusai pertunjukan.
Momen pandemi akhirnya membuka kesempatan bagi Papermoon untuk memanfaatkan teknik ini dalam format karya yang memang hanya tepat jika disajikan secara online. Sarana virtual juga memungkinkan untuk merancang pengalaman pertunjukan yang lebih mengena jika disaksikan seorang diri saja. “Kalau membuat semua pengalaman ini hanya untuk satu orang (tidak secara virtual), akan jadi pertunjukan yang mahal sekali,” kata sutradara Maria Tri Sulistyani.
Pentas itu menjadi salah satu pertunjukan pembuka festival Pesta Boneka bertema “A Sip of Joy” yang berlangsung pada 5-11 Oktober lalu. Festival internasional ini adalah agenda rutin Papermoon tiap dua tahun sejak 2008 yang biasanya diadakan di desa dan pusat komunitas di Yogyakarta. Pada akhir 2019, sudah ada 30 seniman individu dan kelompok teater boneka dari seluruh dunia yang berkomitmen hadir di Yogyakarta untuk pergelaran ketujuh ini. Namun pandemi Covid-19 memaksa konsep festival beralih menjadi virtual.
Maria awalnya ragu akan ada yang tertarik jika festival berlangsung daring. Di luar dugaan, justru makin banyak yang bersedia ikut. “Ternyata ada 40 seniman dari 22 negara. Kami harus memperpanjang festival dari biasanya tiga hari menjadi seminggu,” ucapnya.
Semua agenda festival dapat diakses secara gratis lewat situs Pesta Boneka. Selain menampilkan pertunjukan, acara ini diisi dengan lokakarya, diskusi panel, juga kunjungan virtual ke studio teater boneka di berbagai negara.
Semua pertunjukan dalam festival ini dibuat semasa pandemi. Tak dapat dihindari, tema isolasi sosial mewarnai sejumlah karya. Salah satu yang paling kentara terlihat pada pertunjukan Tacet oleh tiga seniman Singapura, Isabella Chiam, Bright Ong, dan Vick Low. Tacet adalah istilah dalam musik yang bermakna ketiadaan bunyi instrumen dalam sebuah komposisi. “Situasi saat ini bagi para seniman ibarat tacet,” tutur Bright Ong, dosen teater boneka di Lasalle College of the Arts, Singapura.
Sebuah cello menjadi tokoh utama dalam pertunjukan itu. Seorang dalang menggerakkan instrumen itu dari belakang. Kedua telapak tangan dalang digambari bentuk lingkaran yang seolah-olah menjadi sepasang mata si cello. Berita di radio mengawali pertunjukan, mengabarkan situasi teranyar wabah Covid-19. Si cello terbangun di apartemen yang ia huni sendiri. Hari demi hari dia menjalani rutinitas berulang yang makin lama makin tak tertahankan. Sesekali dia bertemu lewat Zoom dengan temannya, gitar dan drum. Mereka akhirnya berjumpa di taman, meski harus berjauhan.
Penggunaan instrumen musik sebagai tokoh dalam pertunjukan menunjukkan betapa tak terbatasnya eksplorasi yang dapat dilakukan para seniman boneka. Beberapa kelompok memang masih setia berpentas dengan boneka beragam ukuran, seperti Opera Buffa dari Italia serta Komunitas Sakatoya dan Flying Balloons Puppet pada hari pembukaan. Beberapa meleburkan wayang dan boneka dengan karakter manusia, seperti pentas tentang Rahwana oleh Wayang Sunar dari Bali. Namun banyak pula yang memanfaatkan bayangan, obyek temuan, juga benda sehari-hari.
Di tangan para dalang, obyek-obyek tak terduga itu diberi nyawa sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan gestur dan emosi yang meyakinkan untuk menyampaikan cerita. Talent Show dari Thailand, misalnya, yang memanfaatkan botol minum, cangkir, bahkan masker sebagai “boneka”-nya.
Seniman tunggal itu membuat tiga pertunjukan singkat, ringan, tapi menggelitik. Judulnya A Sip of Love, A Sip of Life, dan A Sip of Learn. Dalam pertunjukan pertama, Ta—begitu sapaan seniman itu—menggerakkan dua botol minum berisi air di atas sebuah meja. Salah satu botol kemudian cegukan dan memohon air dari botol lain. Dalam A Sip of Life, sebuah masker digerakkan untuk menceritakan kelelahan para pekerja di masa pandemi. Adapun dalam episode terakhir, tiga teko beraksi laga dan belajar satu sama lain.
Pertunjukan di hari ke-7 dalam ajang Festival Pesta Boneka yang berlangsung 5-11 Oktober 2020. pestaboneka.com
Ada pula eksplorasi hubungan unik antara dalang dan boneka yang digerakkannya. Umumnya, penggerak boneka sebisa mungkin akan membuat dirinya tak kentara, seperti mengenakan kostum serba hitam, agar fokus perhatian hanya tertuju pada boneka. Namun, dalam beberapa karya pada festival ini, dalang melangkahi batas antara dirinya dan boneka untuk turut serta dalam cerita. Dalam Tacet, misalnya, Vick Low yang menggerakkan cello menampakkan diri dengan senyum lebar pada akhir pertunjukan setelah suara gesekan cello menggema di taman dan memberi semangat baru di tengah kesesakan isolasi diri. Tapi penampakan dalang paling berkesan terlihat dalam pentas SEAxSHE oleh kelompok Nemuridori dari Jepang.
Video dimulai dari terbangunnya Anoko, boneka dogushi seukuran tubuh manusia, di sebuah pantai berkerikil halus yang lengang. Anoko mengenakan gaun putih, berpipi merah merona, dan menikmati pemandangan langit serta laut biru tanpa batas di sekelilingnya. Tak ada kata-kata. Suara yang muncul hanya bunyi-bunyi alami dari pantai.
Pada suatu titik, denting piano terdengar. Nagai Nozomi yang sedari awal menggerakkan boneka dari belakang kemudian menempatkan diri di samping Anoko. Mereka bertukar lirikan dan mulai menari bersama seperti dua sahabat yang berbahagia. “Sejak kecil aku selalu ingin berteman dengan boneka,” ujar Nozomi.
Penutup festival adalah pertunjukan yang sekaligus menjadi penampilan world premiere Tom Lee, seniman Chicago Puppet Studio dari Amerika Serikat. Lee banyak menggali bentuk boneka dari Asia dan membuat kombinasi pertunjukan boneka dengan film dan animasi. Dalam Sounding the Resonant Path, Lee menampilkan boneka kuruma ningyo dari Jepang untuk mengisahkan hubungan spiritual antara manusia dan lingkungan. Pentas ini memanfaatkan tiga set gulungan gambar bayangan sepanjang 60 meter yang dibuat Blair Thomas untuk memperkaya narasi. Eksplorasi para seniman boneka ini menjadi wujud semangat untuk mencoba cara-cara baru di tengah pandemi yang belum jelas akhirnya.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo