Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para penggemar komik pada 1970-1980-an pasti tak asing dengan tokoh Jaka Sembung. Inilah pendekar perkasa pembela kebenaran dan seorang yang saleh. Besar di komik, karakter ini kian dikenal luas setelah diangkat juga ke layar lebar. Kemasyhurannya melampaui zaman. Hari ini nama itu bahkan diserap ke dalam pantun kondang, misalnya: Jaka Sembung naik ojek, yang diartikan: tidak nyambung, Jek!
Kepopuleran Jaka Sembung tak lepas dari kehebatan kreatornya, Djair Warni. Barangkali tak ada yang menyangka bahwa dari sosok yang lahir di kampung kecil dan hidup berkekurangan itu bakal lahir tokoh rekaan nan kondang.
Djair Warni lahir pada 13 Mei 1945 di Karangtengah, sebuah kampung kecil di tengah sawah di Desa Kebarepan, 13 kilometer dari Cirebon, Jawa Barat. Karena ekonomi keluarga yang memprihatinkan, Djair kecil diangkat anak oleh pamannya, Warni. Nama sang pamanlah yang melengkapi nama Djair kemudian.
Djair menuntaskan pendidikan dasar dan menengah di kota udang itu. Ia lulus berturut-turut dari sekolah rakyat, sekolah teknik negeri, dan sekolah teknik menengah. Pada pertengahan 1960-an, dia kuliah di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.
Saat kuliah inilah ia menemui persimpangan jalan. Djair mulai mencoba membuat komik, dan karya pertamanya adalah sebuah cerita anak berjudul Sambodana (1965). Kemudian diikuti Wajah Penuh Dosa dan Jerit dalam Debu, yang bergenre roman perjuangan.
Saat itu hubungan bisnis di antara penerbit dan komikus tak mengenal sistem royalti. Naskah dibeli secara putus. Maka uang yang diterima Djair Warni untuk satu judul komik terbilang besar. Konsentrasi kuliahnya pun terganggu. Lalu dia memutuskan hengkang dari bangku kuliah untuk total berkarya.
Pada Desember 1967, dunia komik lokal digegerkan oleh komik bergenre silat, Si Buta dari Gua Hantu, karya Ganes T.H. Sejak itu peta komik Indonesia bergeser dari genre roman ke silat. Para komikus dan penerbit berbondong-bondong membuat komik silat. Hingga lahirlah tokoh seperti Panji Tengkorak, Manggala, dan Pendekar Bambu Kuning.
Djair Warni tidak ketinggalan. Ia pun mereka tokoh pendekar. Namun ia ingin berbeda. Terpikirlah untuk menciptakan pendekar yang tak harus petualang. Jagoannya ini menetap, membina rumah tangga, dan tekun menjalankan perintah agama.
Pada Februari 1968, lahir komik silat pertamanya berjudul Bajing Ireng, dengan tokoh utama Parmin. Pemuda inilah yang kelak berjulukan Jaka Sembung. Seorang pendekar kampung yang hidup di sekitar Kandang Haur, Cirebon.
Keunggulan Djair tidak hanya pada karakter tokohnya yang berbeda dengan kecenderungan arus utama. Dibanding komikus lain pun, Djair Warni lebih lihai bercerita. Tokoh-tokohnya terasa hidup.
Tak mengherankan bila serial Jaka Sembung meledak di pasar. Hampir semua pencinta komik selalu menunggunya. Bahkan ada yang beranggapan sosok Jaka Sembung benar-benar bermukim di Gunung Sembung. Tak pelak karya Djair menjadi rebutan penerbit.
Lalu tiba saatnya Djair berumah tangga. Bermodalkan pembayaran komik berjudul Si Tolol jilid I sebesar Rp 100 ribu, dia meminang Nuraini alias Ain dan menikah pada 1970. Saat itu tentu saja nilai Rp 100 ribu sangatlah besar. Jumlah itu cukup untuk menggelar pesta pernikahan dan mengongkosi bulan madu. Mereka dikaruniai tiga putra, yakni Allen, Ian, dan Novan. Jika digabung, inisial ketiganya menjadi AIN.
Selain melahirkan Jaka Sembung, Djair menciptakan serial populer lain, seperti Si Tolol, Jaka Geledek, Malaikat Bayangan, Manusia Jin, Toang Anak Jin, Trio AIN, dan Tiga Perkasa. Ketika komik-komiknya diangkat ke layar lebar pada 1980-1990, Djair turut bermain sebagai cameo dan peran pendukung lainnya.
Setelah lebih dari sepuluh tahun bergelut melawan penyakit diabetes, Selasa pekan lalu Djair berpulang di rumahnya di Jalan Matraman Dalam, Jakarta. Dunia komik Indonesia berduka kehilangan salah seorang maestro. Seorang seniman yang tidak berhenti berkarya hingga akhir hayatnya. Selamat jalan, Pak Djair Warni….
Andy Wijaya, kolektor dan pegiat komik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo