Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADEGAN pengujung dalam Tjoet Nja’ Dhien membungkus hampir semua aspek terbaik dalam film tersebut. Perempuan ringkih itu duduk sendirian di tengah hutan, di bawah siraman hujan. Matanya nyaris buta. Zikir tak putus keluar dari mulutnya. Pasukan Belanda mengepung dan di antara mereka adalah Pang Laot, tangan kanan Tjoet Nja’ yang malah mengadukan keberadaan perempuan itu kepada musuh. Tjoet Nja’ tak gentar, terus membangkang bujukan Belanda untuk menyerah. Saat Pang Laot mendekat, tubuh Tjoet Nja’ yang tampak sudah tak berdaya itu ternyata mampu bereaksi secepat kilat. Dia menusuk Pang Laot tanpa bimbang.
Adegan ini tak hanya menunjukkan kecerlangan akting Christine Hakim, yang pada waktu itu masih berusia 30-an. Lebih jauh lagi, potongan peristiwa itu menampilkan dengan bagus daya hidup seorang Tjoet Nja’ Dhien, yang hingga titik terlemahnya masih mengobarkan bara perlawanan. Lewat satu sekuens adegan yang digarap dengan cermat, kita mengerti alasan perempuan ini begitu berbahaya, begitu membuat ketar-ketir kaphe (kafir) Belanda karena mampu menggerakkan perlawanan sengit selama Perang Aceh. Perang yang dikenang sebagai salah satu perang terlama dan paling menguras kas pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Daya hidup Tjoet Nja’ dalam film yang ditulis dan disutradarai oleh Eros Djarot pada 1988 itu dapat kita lihat kembali dengan lebih jernih berkat restorasi hasil kerja sama Eye Filmmuseum di Belanda dengan Indonesian Film Center Foundation di Jakarta. Film ini diputar kembali di bioskop selama beberapa hari pada Mei, meski hanya terbatas di beberapa bioskop Jakarta dan sekitarnya.
Menyaksikan film hasil restorasi ini di layar lebar memberikan kesempatan bagi kita di masa kini untuk kembali mengkaji alasan Tjoet Nja’ Dhien memperoleh capaian begitu rupa, lebih dari tiga dekade lalu. Yang terpenting tentu menjadi film pertama Indonesia yang terpilih untuk ditayangkan di Cannes Film Festival dan berhasil memenangi penghargaan Best International Film pada 1989.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film Tjoet Nja’ Dhien adalah sebuah puisi liris tentang peperangan yang lain. Perang hanya sesekali disajikan dalam adegan pertempuran yang meledak dan berdarah-darah. Lebih sering, perang muncul dalam bentuk obor-obor menyala di keremangan, pengaturan strategi yang lirih di tepi api unggun, atau kerumitan memenuhi kebutuhan logistik pasukan gerilya yang selalu bergerak di bawah lindungan hutan. Kita tahu kekuatan Tjoet bukanlah pada konfrontasi langsung, melainkan sergapan yang cepat dalam senyap. Tjoet Nja’ menyebut perangnya sebagai, “bergelap-gelap dalam terang, dan berterang-terang dalam gelap.”
Namun bukan berarti tak ada ketegangan. Ritme film ini terjaga baik dan memberikan efek mencekam. Selain kematian Teuku Umar (Slamet Rahardjo), tak ada basa-basi kematian yang diulur-ulur. Maut menyergap secepat kilat. Sesaat lalu sedang berlari, detik berikutnya tersungkur diterjang peluru. Perempuan dan anak-anak mati. Bagi para pengkhianat, rencong akan menusuk dalam lesatan.
Di tengah segalanya adalah Tjoet Nja’ yang karismanya tak dapat terelakkan. Di awal, perannya masih redup karena ada Teuku Umar (Slamet Rahardjo) yang ditampilkan penuh gelora. Namun ketangguhan Tjoet segera mengemuka begitu tampuk kepemimpinan jatuh di pundaknya. Rahangnya selalu terkatup keras. Kata-kata yang keluar dari mulutnya hanyalah ketegasan yang telah dipikirkan dengan matang. Dia pandai dan percaya diri, baik dalam perancangan strategi, di medan tempur, maupun dalam negosiasi untuk mendapat logistik. Lalu kita melihat bagaimana perang bertahun-tahun dan gerilya ratusan kilometer itu perlahan menggerusnya. Namun sesuatu dalam dirinya tetap menyala dan menggugah.
Pembagian peran dengan Teuku Umar di bagian awal terasa tak perlu. Agaknya film ini dapat lebih kuat jika sejak awal fokus perhatian diarahkan pada Tjoet Nja’. Pilihan ini ternyata diambil Eros Djarot karena alasan di luar kebutuhan sinema. Ketika diwawancarai Tempo pada Kamis, 3 Juni lalu, Eros bercerita bahwa dua minggu sebelum syuting dia diminta khusus oleh lembaga adat di Aceh untuk memasukkan bagian Teuku Umar ke dalam film. Pertimbangannya, Teuku Umar juga berjuang bersama-sama dengan Tjoet Nja’ Dhien ketika itu. “Semula film saya berawal dari penguburan Teuku Umar, berlanjut ke perjuangan yang dipimpin Tjoet Nja’ Dhien. Karena permintaan itu, proses syuting tertunda hampir 1,5 bulan,” tutur Eros.
Eros lantas menghubungi saudara kandungnya, Slamet Rahardjo, yang sedang berada di New York, Amerika Serikat. Eros memintanya pulang untuk memerankan Teuku Umar. “Sampai di Indonesia, saya kurung dia di hutan, he-he-he….” ujar Eros. “Dan akhirnya jadilah ada bagian Teuku Umar di dalam film saya.”
Ketika film hasil restorasi ini masuk bioskop, negosiasi untuk membagi peran Tjoet Nja’ dengan karakter lain tampaknya terjadi kembali. Hal ini terlihat dari poster baru film ini yang hanya menampilkan sosok Tjoet Nja’ Dhien dari samping dan dinaungi bayangan. Yang langsung menarik perhatian dalam poster ini justru sosok Pang Laot dan sebuah bayangan besar di latar belakang yang mengenakan seragam pasukan kolonial. Poster lama film ini menampilkan potret hitam-putih Tjoet Nja’ Dhien dengan ekspresi keras yang terasa lebih mengentak.
TJOET NJA' DHIEN
Sutradara: Eros Djarot
Penulis skenario: Eros Djarot
Pemain: Christine Hakim, Slamet Rahardjo Djarot, Pietradjaja Burnama, Rudy Wowor, Ibrahim Kadir
Restorasi oleh: Eye Filmmuseum & Indonesian Film Center Foundation
Bagaimanapun, restorasi dan penayangan kembali film Tjoet Nja’ Dhien, meski masih dibatasi situasi pandemi, memberi banyak hal untuk dibicarakan. Sejauh ini, sudah ada tiga proyek restorasi besar film-film lama kita. Jika menonton dua hasil restorasi sebelumnya, Lewat Djam Malam (1954) dan Tiga Dara (1956), sensasi yang paling terasa adalah bagaimana kita pada masa kini seolah-olah merasa mengalami perjalanan ke masa lalu saat film itu dibuat berkat kualitas gambar dan suara yang dipertajam. Peningkatan mutu material film itu menghidupkan kembali segala aspek sosiologis dan antropologis pada masa film dibuat, dari tutur bahasa, lagu populer, hingga tren berpakaian.
Sementara itu, menonton restorasi Tjoet Nja’ Dhien sebagai film sejarah berlatar 1896, yang terasa adalah kekaguman akan pilihan artistik dan eksekusi jitu sutradara Eros Djarot untuk menghidupkan kembali suasana kolosal peperangan Aceh nyaris satu abad sebelumnya.
Restorasi ini mengingatkan pada capaian-capaian penting dalam perkembangan sinema kita. Bagaimana lebih dari tiga dekade lalu sebuah topik sejarah dapat digarap serius menjadi sinema bermutu dengan dana Rp 1 miliar. Ketika dilempar ke penonton, film ini pun menepis anggapan bahwa film bertema sejarah tak akan laku. Begitu pula capaian teknik, seperti menjadi film pertama yang menggunakan stereo Dolby dan menunjukkan teknik pengambilan gambar yang bermutu oleh penata kamera George Kamarullah, sehingga film ini disebut “seperti film Eropa”. Bolehlah jika dibilang bahwa belum ada produksi film sejarah, bahkan pada era milenial ini, yang dapat menandingi kualitas monumental Tjoet Nja’ Dhien.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA, ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo