Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran seni yang memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta secara berbeda.
Para perupa merespon lima karakter patung Monumen Serangan Umum
Ada karya yang menawarkan kisah perang dengan rileks dan lucu.
“SOAL agraria adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup manusia selanjutnya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kutipan dari buku Masalah Agraria karya Moch. Tauhid (1952) itu terbentang di lantai ruangan pameran “Daulat & Ikhtiar: Memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 Melalui Seni” di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Apa korelasi kutipan dari buku pengamat agraria itu dengan tema sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang menjadi ide awal pameran seni itu digelar? “Bicara serangan umum hanya sebatas konsep kronologi sejarah itu sudah sangat klise,” kata kurator pameran Mikke Susanto, Selasa, 1 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan umum kali ini dimaknai berbeda oleh tiga seniman, yakni Lutse Lambert Daniel Morin, Dedy Sufriadi, dan Ryan Kresnandi serta dua kolaborasi seniman, Tempa (Rara Kuastra dan Putut Utama) dan Broken Pitch. Mereka tak memenuhi ruang pameran dengan aneka senjata dan atribut peperangan. Namun ada sabit, buku, tas, hingga panci bolong ikut nimbrung untuk dipamerkan.
Menurut Mikke, pameran yang berlangsung pada 1-30 Maret 2022 ini tak hanya menarasikan perang memanggul senjata, tapi juga hubungan sosial antara pelaku perang dan saksi serta korban. Juga tentang cerita keseharian yang bersifat manusiawi di luar peperangan yang berdarah-darah itu. “Titik awalnya adalah lima patung Monumen Serangan Umum di nol kilometer Yogyakarta,” ujar Mikke.
Kelima patung buatan pematung Saptoto (pernah menjadi Direktur Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) pada 1973 itu bukan gambaran seorang tokoh tertentu yang sering disebut dalam peristiwa enam jam 1949 tersebut. Melainkan gambaran sosok tentara, pemuda, pelajar, petani, dan perempuan yang tak dikenal siapa mereka. Namun mereka berperan penting dalam kesuksesan serangan tentara Indonesia melawan pasukan Belanda waktu itu, meski tak harus berdarah-darah.
Mikke bersama Duls Rumbawa sebagai kurator memilih seniman yang mempunyai kemampuan melakukan riset sejarah dan mewujudkannya dalam karya seni. Bukan sekadar imajinasi. Beberapa karya yang dipamerkan ada yang merupakan hasil riset seniman. Ada pula yang merupakan koleksi sejumlah museum perjuangan di Yogyakarta yang kemudian direspons oleh seniman.
Pematung Lutse Lambert Daniel Morin menarasikan karakter tentara. Kebetulan kakeknya adalah seorang veteran. Pada karya berjudul Echo War 5, Lutse merespons topi baja tentara yang telah usang dengan nomor angka yang sudah kabur. Di atasnya ditancapkan batang-batang tembaga yang menopang belasan atap rumah dengan tumpang-tindih.
Instalasi alat cetak proof copy oleh Broken Pitch di pameran “Daulat & Ikhtiar: Memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 Melalui Seni” di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. TEMPO/Pito Agustin
Lalu pada kotak kaca, Lutse menyajikan koleksi Museum Sandi berupa senapan dan buku sandi usang bertulisan “Djanoko B” beserta tas kecilnya. Barang itu milik tokoh persandian, Umar Said Noor, yang bergabung dalam Radio PHB AURI “UDO” yang digunakan untuk menyampaikan informasi rahasia masa Pemerintahan Darurat RI di Sumatera Barat pada 1949.
Lutse juga menampilkan jubah serupa mantel panjang yang dikenakan Panglima Besar Jenderal Soedirman saat perang gerilya pada 1948-1949. Mantel cokelat kekuningan yang digantung di depan jendela itu tampak masih utuh dan menjadi salah satu koleksi Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Perupa Dedy Sufriadi merespons karakter pelajar yang masa itu bergabung dalam pasukan Tentara Pelajar. Dedy membuat instalasi berupa dinding buku yang tersusun pada rak kayu yang membentang dari sudut selatan hingga utara ruangan pameran. Sebanyak 500-an aneka buku yang sebagian besar terlihat lapuk dan usang itu disusun berjejalan membentuk semacam ombak yang naik-turun. “Banyak pelajar yang meninggalkan bangku sekolah masa itu untuk memilih bertempur,” tutur Dedy.
Perupa ketiga, Ryan Kresnandi, mengangkat karakter petani. Petani sebagai simbol rakyat kelas bawah sangat berperan pada masa perang gerilya. Ada yang merelakan rumahnya menjadi markas tentara Indonesia. Ada juga beberapa foto hitam-putih koleksi Indonesia Press Photo Service yang menggambarkan petani menebang pohon untuk sabotase jalan yang dilalui pasukan Belanda. Tak ketinggalan juga aneka peralatan pertanian yang bisa digunakan petani untuk ikut melawan musuh, seperti arit, parang, dan ketapel.
Dalam riset, Ryan juga menemukan dua prasasti yang mencantumkan keterlibatan rakyat dalam Agresi Militer Belanda II itu. Seperti prasasti Brayut dan Kembang Arum di Kabupaten Sleman. Ryan menampilkan tulisan prasasti batu dengan cara mengarsirnya di atas kain putih dengan krayon merah. Dua kain putih itu yang dipajang dalam ruang pameran. “Ternyata banyak prasasti yang menggambarkan serangan umum itu di Yogyakarta,” ujar Ryan.
Seniman kolektif Tempa, yakni Rara Kuastra dan Putut Utama, memilih karakter perempuan dalam pameran ini. Sebagian perempuan berjuang di garis depan dalam laskar wanita Indonesia. Sebagian lain berjuang di garis belakang sebagai petugas Palang Merah Indonesia dan di dapur umum. PMI dan dapur umum sangat identik dengan kaum perempuan pada masa revolusi fisik 1948-1949.
Kaum perempuan punya peran mendirikan dapur umum untuk para pejuang. Tempa menyajikan simbolisasi dapur umum sebagai monumen kreatif dan kolektif. Berbagai alat memasak dipajang. Ada dandang, alat untuk menanak nasi yang mereka dapatkan di rumah Mulyo Sewoyo, Kecamatan Seyegan, Sleman. Rumah Mulyo masa itu digunakan untuk dapur umum.
Ada juga ceret tembaga di rumah Condro Sudarmo di Kecamatan Turi, Sleman. Rumah Condro sempat digunakan bermalam pasukan gerilya Tentara Pelajar Brigade XVII pimpinan Kapten Martono. Mengingat perlawanan gerilya dilakukan secara berpindah-pindah dari dusun ke dusun. Ceret itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan minum pasukan gerilya.
Adapun seniman kolektif Broken Pitch menyajikan karya berbasis karakter pemuda. Peran pemuda cukup besar dalam kancah revolusi, dari yang berperan sebagai mata-mata hingga bergabung dengan laskar rakyat.
Dalam pameran ini, Broken Pitch membangun semacam “diorama interaktif” untuk merespons karakter pemuda dan menunjukkan narasi sisi lain dari perang. Jika biasanya perang digambarkan dengan heroisme, patriotisme, dan penokohan figur, mereka menawarkan kehidupan sehari-hari di masa perang. Mereka menawarkan kisah perang dengan rileks.
Instalasi kolaborasi seniman Tempa, Rara Kuastra dan Putut Utama, di pameran “Daulat & Ikhtiar: Memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 Melalui Seni” di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. TEMPO/Pito Agustin
Karya Broken Pitch bersifat interaktif karena menawarkan keikutsertaan penonton, bernyanyi, lifesize photo booth, serta momentum bagi-bagi stiker tentang sisi lain perang yang harus ditempel pada dinding ruang atau dibawa pulang. Lewat karyanya itu, Broken Pitch mengajak pengunjung “diakrabkan” dengan perang secara rileks dan bersenda gurau.
Selain itu, Broken Pitch menampilkan alat cetak proof copy yang berhasil diselamatkan para pemuda dari penguasaan pasukan Belanda di kantor percetakan koran tertua di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat. Alat cetak itu kemudian digunakan untuk mencetak selebaran dan pamflet yang disebarluaskan pada masa perang tersebut.
Broken Pitch juga mencetak obrolan para komandan pasukan pemuda yang tengah mempersiapkan serangan umum. Narasi obrolan itu disampaikan melalui grup WhatsApp yang diberi nama Serangan Oemoem, seolah-seolah sebagai peristiwa masa lampau yang terjadi pada era masa kini. Meskipun nama-nama yang tertera adalah nama-nama para pemuda pejuang yang sebenarnya dan dialog inti sama berdasarkan hasil riset, bahasanya dibuat bergaya alay khas anak-anak milenial.
Menurut Mikke Susanto, dalam catatan kuratorialnya, simpul penting dalam pameran Serangan Umum 1 Maret 1949 ini adalah pernyataan bahwa serangan sebagai upaya mempertahankan daulat kemerdekaan ternyata dilakukan dalam berbagai cara dan bentuk. Inilah ragam ikhtiar yang diwujudkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo