Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua bulan terakhir, sejumlah film soal penipuan dirilis di OTT
Inventing Anna menjadi serial berbahasa Inggris Netflix paling banyak ditonton dalam sepekan
Selain serial yang dibumbui fiksi, kisah para penipu juga hadir dalam bentuk dokumenter
IMAJI sosialita itu dia susun demikian cermat. Ia selalu tampil tenang, tahu karya seni dari perupa-perupa terkenal, dan paham anggur mahal. Ia juga selalu mengenakan gaun dan aksesori dari rumah mode ternama, dan dikelilingi orang dengan selera sepertinya: Chanel, Valentino, Dior, Celine, Alexander McQueen, dan banyak lagi. Ia “meloncat” dari satu pesta ke pesta lain, tinggal di hotel mewah di New York, Amerika Serikat, dan vakansi ke benua berbeda. Dalam balutan itulah Anna Sorokin “lahir kembali” dengan nama Anna Delvey. Seperti anak muda kebanyakan, Anna eksis di Instagram. Segala tingkah dan kemewahan yang melekat padanya mengusung citra pewaris tajir asal Jerman yang mempesona.
Figur putri bangsawan Eropa yang tinggal di New York membuat Anna bisa meliuk dengan lincah di pergaulan elite Amerika. Apalagi ia memacari seorang pebisnis muda yang bergerak di bidang teknologi. Sang kekasih ini pula yang ikut membantu Anna mewujudkan “American dream”-nya: mengelola komunitas seni eksklusif bernama Anna Delvey Foundation. Yayasan itu rencananya bermarkas di sebuah bangunan bersejarah di pusat kota. Mimpi itu dirakit rapi oleh Anna dengan memanfaatkan investasi dari koneksinya yang ia jalin dari pertemuan-pertemuan khusus kalangan atas New York.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anna Sorokin atau Anna Delvey saat sidang vonis pengadilan di New York, Amerika Serikat, 9 Mei 2019. REUTERS/Steven Hirsch
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalannya, identitas ningrat Anna ternyata palsu. Ia bukan keturunan bangsawan Jerman. Bapaknya adalah sopir truk Rusia yang dulu sempat mengongkosi gaya hidup Anna dari bisnis haram. Setelah si bapak angkat tangan dan emoh berurusan lagi dengannya, Anna merancang hidupnya dengan sandiwara. Ia memakai nama belakang baru, menilap duit dari sana-sini, dan berkedok alasan warisannya belum juga cair. Ini adalah rahasia di belakang panggung seorang Anna Sorokin yang tampil mempesona di media sosial.
Nuansa gaya hidup Anna Sorokin di Instagram mungkin tak asing bagi kita. Sebagai pengguna media sosial, kita terbiasa membaca citra serupa. Kisah para “sultan” muda, pemengaruh yang seolah tak kenal hidup susah, ataupun pebisnis mapan dengan aset terpampang dalam sejumlah unggahan. Namun Anna membentuk dirinya yang baru dengan menipu teman-teman dekatnya, bank, kolega, juga para investor. Ia menutupi kepalsuan itu dengan sikap dermawan. Sering kali ia mentraktir kawannya di banyak pesta dan makan malam, memberi tip besar kepada para pegawai hotel, dan ini yang kemudian menjadi salah satu persoalan besar: mengajak kawannya—dulu editor foto Vanity Fair, Rachel DeLoache Williams, bertamasya ke Marrakesh, Maroko. Di sana, Rachel dibuat blingsatan karena Anna mendadak tak mampu membayari akomodasi mereka.
Kisah Anna yang bak opera sabun ini diangkat layanan over-the-top Netflix ke dalam serial bertajuk Inventing Anna garapan Shonda Rhimes. Mengutip situs Deadline, tayangan sembilan episode yang dirilis pada 11 Februari 2022 ini mencetak rekor ditonton 196 jam sepanjang 14-20 Februari lalu. Catatan itu membuat Inventing Anna menjadi serial berbahasa Inggris paling banyak ditonton dalam sepekan. Untuk perbandingan, The Witcher menarik 168 jam waktu penonton Netflix, sedangkan Sex Education sempat ditonton 160 juta jam dalam seminggu.
Dalam Inventing Anna, Julia Garner memerankan Anna. Ia beradu peran dengan Anna Chlumsky, pemeran Vivian Kent. Vivian adalah tokoh rekaan yang terilhami dari Jessica Pressler, jurnalis yang menginvestigasi kasus penipuan Anna. Ditekankan Netflix dalam mukadimah serial ini, kisah Inventing Anna adalah kenyataan, kecuali beberapa bagian yang didramatisasi. Narasi yang dijalin dari realitas dengan bumbu drama ini membuat Rachel DeLoache Williams sempat protes. Menurut Rachel, cara meracik cerita seperti itu justru mengaburkan fakta.
Julia Garner yang berperan sebagai Anna Delvey atau Anna Sorokin di serial Inventing Anna. IMDB
Dalam serial, ia ditampilkan sebagai kawan yang memanfaatkan hubungannya dengan Anna. Seperti diketahui, Rachel mengisahkan pertemanannya dengan Anna—termasuk penipuannya di Marrakesh—di media dan buku My Friend Anna: The True Story of a Fake Heiress. Buku itu masuk 100 besar Bacaan Wajib 2019 versi majalah Time. “Saya menyadari ceritanya akan keluar, dengan atau tanpa saya,” tutur Rachel dalam wawancaranya dengan Vogue. Karena itu, menurut Rachel, penting untuk mengatakannya dengan kata-katanya sendiri.
•••
SKANDAL penipuan, apalagi yang menyangkut identitas baru dan kemewahan, memang menarik sebagai ide cerita. Apalagi bila melibatkan fantasi tentang orang biasa yang berpura-pura kaya, juga gaya hidup di media sosial dan budaya pop. Ini pula yang membuat The Tinder Swindler menarik, karena mengungkap akal-bulus bujangan asal Israel, Shimon Hayut, dalam memperdaya korbannya. Di aplikasi kencan Tinder, Shimon mengaku sebagai Simon Leviev, putra mahkota perusahaan berlian Rusia, LLD Diamonds. Di akun Instagram dan di depan para korbannya, ia selalu tampil trendi. Pacarnya juga selalu diperlakukan bak ratu. Simon biasa mengajak pacarnya makan malam di hotel bintang lima, menunggang mobil mewah dan naik pesawat pribadi, serta mengiriminya buket bunga.
Shimon Hayut atau Simon Leviev, di film dokumenter Netflix berjudul The Tinder Swindler. IMDB
Netflix mengangkat sosok itu dari penuturan tiga korban Leviev yang tinggal di negara berbeda: Cecilie Fjellhøy, Pernilla Sjöholm, dan Ayleen Charlotte. Cecilie dan Ayleen diam-diam dipacari Shimon secara bersamaan, sedangkan Pernilla adalah teman nongkrong-nya. Dari kartu kredit merekalah Shimon menambang duit hingga ratusan ribu dolar Amerika, yang tentu saja tak pernah dibayarkan hingga akhirnya ia dijebloskan ke penjara atas kasus penipuan.
The Tinder Swindler secara detail menyorot upaya Shimon memanipulasi korban dan mengeksploitasi mereka lewat hubungan romantis. Konstruksi cerita dibangun lewat penjelasan narasumber yang saling terkait. Alur maju-mundur justru membuat kejahatan Shimon digambarkan lebih terang oleh sutaradara Felicity Morris. Situasi penuh tekanan yang membikin korban frustrasi itu menyulut simpati dan rasa haus untuk melihat Shimon tersandung. Pendekatan Morris ini penting, karena The Tinder Swindler tidak berakhir sebagai film dokumenter kriminal biasa. Tapi juga menjadi rambu peringatan kita untuk lebih waspada terhadap bentuk kejahatan apa pun.
Morris semacam memberi kita ruang simulasi dalam menghadapi penipuan, dengan masuk ke ranah privat seperti percakapan WhatsApp Shimon dan korban, juga lewat pertanyaan menggelitik yang mengubah kisah romansa menjadi semacam horor. Manipulasi dalam teks itu juga beberapa kali ditonjolkan Morris dengan menunjukkan penggalan kalimat ataupun kata dari Shimon yang memancing reaksi kita: seberapa jahatnyakah ia? Jika kita dalam posisi korban, apa yang hendak kita lakukan?
Sayangnya, walau sempat ditahan polisi setelah dilaporkan korban, Shimon bebas dan menjadi selebritas. Namun viralnya Shimon dan The Tinder Swindler sejak tayang di Netflix pada 2 Februari lalu membawa konsekuensi lain. Keluarga taipan Rusia Lev Leviev akhirnya menggugat Shimon karena memalsukan identitasnya dan memanfaatkan itu untuk menipu banyak orang. Dalam film terungkap, Shimon sampai mengedit foto keluarga Leviev agar seolah-olah ia adalah putra mahkota.
Profesor Cornell University Vanessa Bohns dalam esainya menyebut bahwa penipuan yang disuguhkan dalam The Tinder Swindler dan Inventing Anna mengeksploitasi fitur inti sifat manusia. Ia menjelaskan, secara bawah sadar manusia cenderung memilih untuk mempercayai orang lain ketimbang tidak. “Ada sesuatu yang amat manusiawi tentang dorongan itu. Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung saling percaya,” ucapnya.
Fake it until you make it. Jargon ini tak hanya menjadi kalimat afirmatif, tapi juga cocok dengan “skema kerja” para tukang manipulasi seperti Anna Sorokin, Shimon Hayut, juga Robert Hendy Freegard, penipu yang mengaku agen rahasia Inggris. Dengan status palsu itu, ia memanipulasi banyak korban dan menguras harta mereka. Penipuan Freegard tersaji dalam The Puppet Master: Hunting the Ultimate Conman.
Miniseri tiga episode ini diperkuat rekonstruksi kasus dari hasil wawancara dengan korban dan keluarganya. Dalam durasi sekitar tiga jam, The Puppet Master menunjukkan bagaimana kejahatan yang dilakukan Freegard di masa lalu, pada 1990-an, direka kembali olehnya dengan modus yang sama. Ia memanfaatkan loyalitas dan rasa percaya korban sebagai senjata untuk mengeruk duit dan memperdaya imajinasinya.
Apa yang kita saksikan dalam The Puppet Master membantu kita memetakan apa yang terjadi pada korban, cara kerja dan pendekatan pelaku dalam memanipulasi orang, dan bagaimana penipuan itu pada akhirnya berkelanjutan. Sudut pandang itu pula yang kita dapati dalam Inventing Anna, The Tinder Swindler, dan kini The Dropout yang meluncur dalam bentuk serial delapan episode di Disney+Hotstar pada awal Maret 2022.
•••
THE Dropout mengisahkan Elizabeth Holmes (diperankan Amanda Seyfried), pendiri perusahaan Theranos, yang pernah dinobatkan majalah Forbes sebagai perempuan miliarder termuda di Amerika. Theranos didirikan pada 2003, saat Elizabeth Holmes baru berumur 19 tahun. Pada masanya, Theranos pernah mencuri perhatian karena mengklaim mesin Edison yang mereka rilis dapat menguji ratusan penyakit hanya dengan setetes darah.
Amanda Seyfried yang berperan sebagai Elizabeth Holmes di serial The Dropout. IMDB
Pada Oktober 2015, jurnalis The Wall Street Journal John Carreyrou menyebut Theranos membohongi publik. Dari hasil investigasinya, Theranos kedapatan tidak menggunakan Edison untuk mengecek penyakit, seperti klaimnya selama ini. Melainkan, mereka hanya menggunakan mesin biasa. Dari hasil penyelidikan, pada Maret 2018 Elizabeth dituntut melakukan penipuan terkait dengan teknologi, bisnis, dan keuangan Theranos. From hero to zero. Dalam serangkaian persidangan yang hingga kini masih bergulir, Holmes menghadapi sebelas dakwaan.
Miliarder penipu berikutnya adalah Billie McFarland. Ia pengusaha muda di balik Fyre, festival di Bahama yang gagal total hingga menjadi bulan-bulanan warganet di media sosial. Sama-sama berkasus pada 2017, Anna dan Billie bahkan diduga saling kenal. Kisah Billie, yang dipidana karena menipu lebih dari seratus investor yang mempercayakan sekitar US$ 27,4 juta padanya, dikemas Netflix dalam dokumenter Fyre.
Dalam film yang dirilis pada 2019 itu, sutradara Chris Smith membeberkan “kiamat” yang terjadi di balik Festival Fyre. Gelaran 2017 itu sempat membikin geger media massa dan media sosial karena melihatkan selebritas penting dalam promosinya. Di antaranya Ja Rule, Bella Hadid, Hailey Bieber, dan Alessandra Ambrosio. Bahkan Kendall Jenner dibayar US$ 90 ribu untuk mendongkrak penjualan tiket festival seharga US$ 1.000-12 ribu itu. Dalam materi promosi, penyelenggara menawarkan iming-iming pemandangan pantai pulau terpencil yang eksotis, vila mewah, dan musikus-musikus ternama yang bakal tampil di panggung. Namun, seperti diketahui, persiapan festival itu amburadul.
Ja Rule dan Billie McFarland (kanan) di film dokumenter Netflix berjudul Fyre. IMDB
Billie diketahui menipu investor dengan sejumlah klaim yang tak pernah ada. Ia, misalnya, mengaku mendapat pulau yang tadinya milik Pablo Escobar di Bahama seharga US$ 8 juta, padahal kenyataannya tidak. Billie juga mengaku kepada investor sudah menyewa penyanyi rap Drake senilai US$ 100 ribu, dan ternyata itu hanya omong kosong. Kacaunya transparansi keuangan Fyre ini juga berujung pada gaji pegawai Billie yang tak dibayarkan. Dari kesaksian para korban di film Fyre, kita akan mendapati betapa Billie, dengan pesona dan kemampuan manipulasinya, memanfaatkan investasi emosional orang untuk memuluskan penipuan.
Seperti halnya Anna Sorokin dan Shimon Hayut, Billie—juga Fyre sebagai dagangannya—memanfaatkan media sosial dalam hal ini Instagram untuk membangun citra diri. Mereka dengan jeli membangun realitas baru dan menciptakan kesadaran akan citra yang ingin mereka tampilkan. Gaya hidup, dalam situasi mereka, tak sekadar media untuk memproduksi tanda. Namun juga instrumen investasi di dunia tipu-tipu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo