Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Sunan Jenar, NEO Theatre, dan Tony Broer

Kelompok NEO Theatre mementaskan drama berjudul Ekstase Jenar. Adaptasi dari sepertiga naskah lakon Syekh Siti Jenar karya Saini KM.

20 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pentas teater tentang tokoh spiritual legendaris Syekh Siti Jenar.

  • Adaptasi dari naskah lakon Syekh Siti Jenar: Babad Geger Pengging karya Saini KM.

  • Tafsir dan sentuhan baru atas kisah Siti Jenar.

BUMI gonjang-ganjing saat gempa melanda Pengging. Teriakan warga bersahutan dengan tangisan dan jeritan melolong. Suara yang nyaring dan terdengar pilu meluruhkan kidung doa pengampunan seperti yang dipanjatkan Nabi Adam ketika diusir dari surga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah gempa berlalu, orang-orang menemui Sunan Jenar yang tengah berakrobat. Selama beberapa menit Jenar—diperankan aktor Tony Broer—menegakkan tubuh dan kakinya di atas kepala. “Kenapa Tuhan menimpakan derita seperti ini, Sunan?” ujar santrinya. Dia melihat banyak anak hingga orang tua terluka dan tewas. “Berbahagialah yang mati karena mereka telah kembali ke hadirat Tuhan,” kata Jenar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dialog bercampur debat itu berlanjut ke soal cara manusia memahami Tuhan. Bagi Jenar, orang yang menganggap sifat Tuhan seperti manusia adalah kekeliruan, seperti memanusiawikan Tuhan. “Kau telah memberhalakan-Nya, di sanalah letak kemurtadan, di sana pula letak penderitaanmu,” ucap Jenar.

Tak ingin berpanjang-lebar membahas persoalan pelik di tengah suasana genting itu, Jenar menyuruh santrinya membantu warga korban yang masih hidup. Namun serangkaian gempa susulan terus meresahkan warga. Mereka lantas meminta Sunan Jenar di tempat pertapaannya memimpin doa dan salat tobat bersama untuk menolak bala. Mukjizat dari Jenar sangat diharapkan. “Tiada doa, tiada sembahyang dapat menghentikan gempa ini,” kata Jenar. Dia mengingatkan sabda Tuhan bahwa hidup manusia akan dicoba dengan berbagai bencana. “Maha Benar Tuhan, tapi kalian tidak mau menerima.”

Kelompok NEO Theatre mementaskan drama berjudul Ekstase Jenar itu dari sepertiga lakon Syekh Siti Jenar: Babad Geger Pengging karya Saini KM, Jumat, 12 November lalu, pukul 20.00 WIB. Sebelumnya, selama dua hari pementasan serupa dihelat di Gedung Sunan Ambu Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI), Bandung. Dalam setiap pementasan, mereka mengundang 30 penonton pilihan dengan syarat protokol kesehatan yang ketat. Video dokumentasi pertunjukan itu akan ditayangkan dalam acara “5th Invitation to the Theatre” yang melibatkan Jurusan Teater ISBI Bandung dan University of Malaya, Kuala Lumpur.

Berlatar zaman kerajaan yang dipimpin Sultan Demak, kisah Jenar dibalut dengan ciri Cirebonan. Tiupan seruling mengiringi sejak awal pementasan, juga sisipan tari Topeng Kelana dan Topeng Panji, yang menyimbolkan tingkatan perjalanan spiritual Jenar. Tahapan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat diwujudkan pula lewat pembuatan empat tingkat di panggung, mulai dari lantai ruangan.

Pilihan itu diambil, menurut sutradara Fathul A. Husein, karena Cirebon adalah tanah leluhur yang juga menjadi lokasi hukuman pancung bagi Jenar. Kisahnya hidup dan populer di kawasan pantai utara. “Sejak kecil kita suka ditakut-takuti mitos soal mayat Syekh Siti Jenar yang menjadi anjing,” tutur Fathul, Selasa, 16 November lalu.

Menurut Saini KM, dalam naskah lakonnya yang diluncurkan pada 1986 itu, sosok Siti Jenar masih diliputi keraguan, apakah dia benar ada atau hanya karangan cerita. Saini, sastrawan yang produktif menulis naskah drama, memilih jalan sastra untuk memberi tafsiran dan masalah baru dari kisah tentang Jenar. “Kata babad akan mengisyaratkan kepada pembaca atau penonton bahwa naskah ini bukan naskah sejarah, melainkan naskah sastra, lugasnya sastra-drama,” tulis Saini dalam pengantar bukunya.

Di atas pentas, sosok Jenar adalah pria bertelanjang dada dengan balutan kain batik dan beralas kaki. Tubuhnya hanya dibalut kain kelambu putih yang menjuntai panjang dari sorban putihnya. Penampilannya yang merakyat itu kontras dengan kostum para sunan dari berbagai daerah dengan jubah rapi berciri khas Arab.

Adegan perdebatan Ki Ageng Pengging dengan pangeran utusan Sultan Demak dalam Ekstase Jenar di GK Sunan Ambu ISBI Bandung, Jawa Barat, 12 November 2021. TEMPO/Prima mulia

Tony Broer, sebagai pemeran Jenar, mendapat sorotan khusus. Setelah puluhan tahun meninggalkan teks dramatik ke teater tubuh, untuk pertama kalinya dia berakting sambil bersuara lagi. Daya pikatnya terbantu oleh bayangan sosok Jenar di kepala. “Saya diam-diam ingin menguji Tony Broer, tentu bikin banyak orang penasaran,” kata Fathul.

Fathul menyebutkan mereka menyiapkan latihan untuk pementasan berdurasi 1 jam 45 menit itu selama dua bulan. Sedari awal Fathul menempatkan posisi Jenar di sisi panggung. Sesekali Tony Broer bergerak ke tengah atau ke bawah, lalu naik lagi ke pentas di sudut kanan penonton. Sosok Jenar berbagi ruang dengan peran para petinggi kerajaan dan kumpulan Sunan di Jawa. Mereka ingin menumpas Bupati Pengging.

Saat Jenar, santrinya, dan warga membangun kembali kampung yang hancur dilanda gempa sambil melepaskan duka, Bupati menggosok mitos lama tentang menurunnya kekuatan dan kekuasaan Sultan Demak. Pemberontakannya kemudian ikut menyeret Jenar. Dia dikaitkan karena dinilai sebagai gurunya. Ketegangan merayap hingga majelis para wali menggelar persidangan. Jenar menjadi terdakwa tunggal.

Selain itu, ada pihak lain yang terusik oleh ajaran tasawuf dan kemakrifatan Jenar yang terkenal, yaitu wahdatul wujud, manunggaling kawula-Gusti. Dari situ muncul judul lakon Ekstase Jenar, yang menggambarkan pengalaman spiritual tingkat tinggi berupa penyatuan diri dengan Tuhan. Bagi sebagian orang, ajaran itu seperti agama lain sebelumnya. Pangeran Demak Darmacaraka tidak ingin kepercayaan di zaman Majapahit itu hadir kembali di wilayahnya.

Setelah berhasil membunuh Bupati Pengging, Darmacaraka menargetkan Jenar. Dia merancang persidangan yang dakwaan dan kesimpulannya untuk membinasakan Jenar. Dan Jenar memilih hukuman pancung ketimbang harus mengakui apa yang tidak dilakukannya. Keputusan yang mengagetkan para wali itu akhirnya dieksekusi juga lewat gambar video di kain latar panggung.

Belum puas menghabisi Jenar, Darmacaraka bersiasat lain soal mayatnya. Dia masih cemas terhadap santri-santri pengikut Jenar. Rencana santri untuk memindahkan jasadnya ke permakaman lain didahului pihak istana. Mayat Jenar diambil, lalu bekas kuburannya diisi oleh bangkai anjing yang dipancung. Begitulah mukjizat yang dibuatnya atas nama Tuhan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus