Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Dari Menteng Menguak Batavia

Adolf Heuken tekun menulis sejarah Jakarta. Karyanya terancam tanpa penerus.

2 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam peti mati putih yang hanya menyisakan ruang - tipis untuk tubuh jangkungnya, Adolf Karl-Franz Heuken bersemayam di Kapel Kolese Kanisius, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 26 Juli 2019. Jubah putih berlapis kasula berwarna krem dengan salib emas membalut jenazah imam dari Ordo Serikat Yesus tersebut. Sehari sebelumnya, delapan hari setelah usianya menginjak 90 tahun dan sekitar sebulan dirawat di Rumah Sakit St. Carolus, Jakar-ta, Heuken berpulang.

Kepergian Pater Heuken—begitu sapaan misionaris asal Jerman tersebut—sekaligus membawa pesan: Ibu Kota kehilangan penulis yang menguak masa silam Batavia. Heuken, yang menjadi warga Indonesia pada 1970-an, menulis 15 buku tentang riwayat Jakarta. Salah satunya, Historical Sites of Jakarta, yang terbit pada 1982—edisi bahasa Indonesia baru terbit 15 tahun kemudian—dicetak ulang berkali-kali. Dia juga menulis Sejarah Jakarta, Gereja-gereja Bersejarah di Jakarta, dan Masjid-masjid Bersejarah di Jakarta.

Menyusun buku sejarah, Heuken sangat serius melakukan riset. Cetakan kedela-pan Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, misalnya, menjumput informasi dari 387 buku dan 212 artikel dalam berbagai bahasa. Di rumah sekaligus kantornya di Jalan Mohammad Yamin, Menteng, Jakarta Pusat, Heuken memiliki lebih dari dua lemari buku tua mengenai Batavia, hasil perburuannya di sejumlah negara. Yang tertua cetakan tahun 1606 dalam bahasa Latin. “Saya memiliki perpustakaan sejarah Jakarta paling lengkap di seluruh Jakarta,” ujarnya saat Tempo berkunjung ke rumahnya pada Jumat kedua Juni 2017.

Hari itu, kami juga berkeliling ke sejumlah bangunan lawas di bagian barat Jakarta. Heuken, saat itu 88 tahun, mengingat dengan jelas tahun pembuatan lonceng di halaman Gereja Portugis—kini Gereja Sion. Di Museum Bahari, Heuken sempat mencari pos jaga yang dilengkapi meriam. Peraih penghargaan Satya Lencana Budaya itu terdiam ketika menyadari yang dicari sudah lenyap. Inilah keputusasaan Heuken: banyak penduduk Jakarta, termasuk pemerintah DKI, tak tahu dan tak menghargai sejarah.

Selain buku tentang Jakarta, dalam 250 buku karya Heuken terdapat Ensiklopedi Gereja dan Kamus Jerman-Indonesia serta Kamus Indonesia-Jerman. Jika dibagi rata, sejak tiba di negeri ini pada Mei 1963, dia menulis empat-lima buku per tahun, yang kemudian diterbitkan yayasan yang didirikannya, Cipta Loka Caraka. Sungguhpun demikian, Heuken berujar, “Tunggakan buku saya masih banyak.”

Heuken adalah penulis yang me-ngendalikan waktu. Tatkala idenya mentok, dia berpindah menulis buku lain. Dalam sehari, dia bisa menggarap tiga buku sekaligus dan tidak dengan mesin ketik atau komputer, melainkan tulisan tangan yang kemudian diserahkan kepada stafnya untuk diketik. Setiap hari, selama sekitar sepuluh jam, sejak pukul delapan pagi hingga delapan malam, diselingi makan dan tidur siang, Heuken bertekun di ruang kerjanya yang sunyi untuk membaca dan menulis. Rutinitas itu dijalaninya dengan setia selama puluhan tahun, bahkan pada Sabtu dan Ahad.

Awalnya, Heuken sempat terlibat dalam gerakan politik antikomunis bersama rekannya di Serikat Yesus, Pater Josephus Gerardus Beek. Tujuh bulan sebelum peristiwa berdarah 30 September 1965, Heuken mencari donasi ke Australia dan mengumpulkan US$ 10 ribu, yang kemudian dibagikan kepada kelompok antikomunis. Belakangan, Heuken mengecam Beek, yang ia anggap terlalu dekat dengan penguasa Orde Baru. Perdebatan dalam bahasa Belanda berakhir dengan keduanya berpisah jalan.

Keteguhannya itu membuat Heuken dijuluki “Yesuit sulit”, istilah dari anggota Serikat Yesus untuk mereka yang berkarakter keras dan umumnya single fighter. Di usia senjanya, Heuken menolak pensiun dan ogah bergabung dengan para Yesuit yang sudah purnatugas di Wisma Emaus, Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah. Heuken tetap tinggal di rumah yang sudah dihuninya selama sekitar setengah masa hidupnya dan terus menulis.

Satu hal yang dikhawatirkannya adalah tidak ada penerus yang melanjutkan pekerjaannya. “Orang yang melanjutkan harus bisa banyak bahasa, tahu sejarah, bisa menulis. Dia juga harus bisa duduk tenang dan tak sering ke luar rumah.”

STEFANUS PRAMONO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus