Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Undivided Past: Humanity Beyond Our Differences
Penulis: David Cannadine
Penerbit: Alfred A. Knopf
Edisi: I, April 2013
Tebal: 340 halaman
Identitas tunggal itu menyesatkan, tulis Amartya Sen; dan sebenarnyalah tak pernah ada identitas tunggal. Dalam Identity and Violence (2006), Sen mencontohkan dirinya: seorang Sen adalah keturunan India, tapi sekaligus agnostik—bukan penganut Hindu atau Islam (agama mayoritas kedua di India), ia ekonom, lebih sering berbahasa Inggris ketimbang Urdu. Identitas mana yang hendak dikenakan padanya?
Pengelompokan manusia, kata Vasily Grossman (Life and Fate), mempunyai satu tujuan utama: menegaskan hak setiap orang untuk berbeda, merasa spesial, serta untuk berpikir dan hidup dengan caranya sendiri. Orang-orang bergabung untuk memenangi atau mempertahankan hak ini. Namun, ujar Grossman, di sinilah kesalahan fatal lahir: keyakinan bahwa pengelompokan atas nama ras, Tuhan, partai, atau negara menjadi tujuan utama kehidupan dan bukan sekadar sarana untuk mencapai tujuan.
David Cannadine, yang terusik keprihatinan serupa, menyusuri bentuk-bentuk solidaritas manusia yang paling bergema dalam sejarah lantaran solidaritas ini ditemukan dan diciptakan, dibangun dan dipertahankan, serta dipertanyakan dan ditolak selama berabad-abad dan melingkupi seluruh belahan dunia. Lebih dari itu, karena bentuk-bentuk solidaritas ini telah mendefinisikan hidup manusia, melibatkan emosi, dan mempengaruhi takdir individu-individu yang tak terhitung jumlahnya. Itulah agama, bangsa, kelas, gender, ras, dan peradaban.
Cannadine menyingkapkan kelemahan fondasi dari klaim-klaim yang berlebihan dan tidak akurat di balik keenam identitas kolektif itu lewat perspektif historis—bidang kepakarannya. Sebagaimana argumen filosof Tzvetan Todorov (The Fear of Barbarians), Cannadine berkata bahwa cara memandang dunia lewat kacamata Manichean—menempatkan setiap orang ke dalam kategori "kita" dan "mereka"—sangatlah reduktif dan menyesatkan. Kacamata "us and them" ini dimasyhurkan kembali oleh George W. Bush setelah peristiwa 11 September 2001.
Sejarawan Cambridge dan Princeton University ini menelisik sejarah, mencari tahu mengapa setiap bangsa menekankan karakteristik khusus untuk membedakan diri dari bangsa lain; kelas-kelas berperang untuk memutuskan siapa yang berhak menikmati keuntungan lebih besar dari sarana produksi; perempuan bertarung menentang pria untuk menghapus eksploitasi dan diskriminasi; orang kulit putih memaksakan supremasi atas kulit hitam dan kulit hitam berjuang membebaskan dirinya.
Banyak pemimpin dan penulis, kata Cannadine, yang mengklaim bahwa salah satu dari enam solidaritas kolektif lebih penting dibanding bentuk agregasi manusia lainnya. Identitas-identitas ini ditampilkan secara intrinsik dan konfrontatif sehingga dunia harus dipahami dari perspektif Manichean. Karakteristik dan solidaritas bersama ini dipelihara melalui afirmasi memori, penguatan kisah-kisah, ataupun catatan-catatan historis yang menolak sense of common humanity yang lebih besar.
Cannadine menyebutkan sejawatnya terlampau menekankan konflik dalam menganalisis sejarah umat manusia dan kurang memperhatikan hal-hal yang melampaui perbedaan. Padahal pembagian umat manusia atas dasar kelas, agama, ras, gender, bangsa, ataupun peradaban bukan bagian terpenting dalam sejarah manusia. "Sejarawan telah bertindak sebagai pelayan bagi proyek-proyek politik," ujarnya.
Seperti halnya raja-raja yang memerlukan ahli propaganda, begitu pula di masa demokrasi, banyak penguasa memerintahkan atau memaksa sejarawan menulis sejarah seperti yang mereka kehendaki. Sebagian dari mereka tak ubahnya academic cheerleaders bagi penguasa. Ia mencontohkan: di abad pertengahan ke-19, kebangsaan merupakan tema paling populer, dan banyak sejarawan mengabdikan diri untuk menunjukkan betapa bangsa-bangsa tertentu berbeda (dan superior terhadap) bangsa-bangsa lain.
Tesis Cannadine yang menarik dan mengundang perdebatan ialah betapa gagasan penulis dan sejarawan telah mempengaruhi kelompok-kelompok masyarakat. Ia menilai Houston Stewart Chamberlain ikut bertanggung jawab atas kebangunan Nazi karena gagasannya bahwa perbedaan rasial tak akan pernah dapat diatasi.
Tak seperti identitas keagamaan yang bersandar pada kitab suci atau identitas kelas yang diturunkan dari tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels, identitas ras diperkuat (atau diperlemah) oleh tulisan-tulisan yang lebih beragam dan sering kali bertentangan satu sama lain. Kondisi ini, menurut Cannadine, membantu menjelaskan mengapa para sejarawan tidak bersepakat kapan ras menjadi bentuk penting dari persepsi, identitas, peringkat, ataupun antagonisme kolektif. Sejak 1880-an, pembenaran atas hierarki ras dilakukan melalui tulisan-tulisan sejarah yang ditopang oleh pseudo-scientific tracts.
Bagi Cannadine, klaim mutlak atas identitas kebangsaan juga mengherankan: "Bagaimana mungkin antagonisme antarbangsa menjadi feature sejarah Barat, padahal bangsa-bangsa merupakan produk masa kini?" Merujuk pada Eropa hingga abad ke-18, ia menunjukkan yang disebut perang antarnegara sesungguhnya adalah perang antarmonarki. Bahkan pada Perang Dunia I, ketika ide kebangsaan lebih menarik ketimbang ide kelas, kurang dari lima persen saja dari orang yang hidup di wilayah yang kini disebut Italia berbicara sehari-hari dalam bahasa Italia. Sedangkan baik "Jerman" maupun "Austria-Hungaria" lebih merupakan multinational empires ketimbang unified-states.
Lalu apa yang dikatakan Cannadine tentang identitas keenam, peradaban? Klaim akan identitas peradaban ini menguat setelah Samuel Huntington menerbitkan Clash of Civilization (1993, 1996), meskipun—sebagaimana dilacak oleh Cannadine—gagasan ini dapat ditelusuri hingga karya Edward Gibbon, Decline and Fall of the Roman Empire, yang melukiskan benturan kaum pagan dan Kristen serta kaum barbar dan Roma. Istilah "benturan peradaban" digunakan lebih dulu oleh Basil Mathews (1926), diadopsi oleh Bernard Lewis (1990), dan dipopulerkan oleh Huntington. Tesis Huntington memperoleh momentum setelah peristiwa 11 September terjadi sebagai penjelasan paling berpengaruh.
"Sejarah manusia," kata Huntington, "adalah sejarah peradaban. Mustahil memikirkan perkembangan manusia dalam pengertian lain apa pun...." Bagi CannaÂdine, ini klaim berlebihan. Dalam isu ini, ia sepemikiran dengan Sen (Identity and Violence) bahwa tesis benturan peradaban mengabaikan dua hal penting. Pertama, luasnya keberagaman internal di dalam kategori-kategori peradaban. Kedua, jangkauan dan pengaruh interaksi—intelektual ataupun material—yang melintasi batas-batas regional dari apa yang disebut peradaban.
Kendati klaim-klaim identitas itu mengandung kelemahan, keteguhan dalam memandang dunia dengan perspektif Manichean telah melingkupi politik kontemporer dan sejarah manusia. Padahal dunia bukanlah angka biner. Seperti halnya Sen, Cannadine beranggapan bahwa pandangan Manichean telah membutakan kita terhadap "rentang, kompleksitas, dan kebeÂragaman identitas kita yang beraneka". Ia menantang mereka yang meyakini bahwa semua sejarah manusia adalah sejarah konflik.
Karya Cannadine yang sangat menggoda ini menyisakan pertanyaan: haruskah penulis dan sejarawan bertanggung jawab atas konflik antarmanusia karena begitu besar pengaruh teks mereka? Bukankah mereka hanya menafsirkan apa yang berlangsung dalam masyarakatnya? "Sejarawan seharusnya tidak membantu mengkonstruksi realitas dari versi yang salah," ucap Cannadine. Dalam menulis masa lampau, para sejarawan perlu merayakan kemanusiaan bersama yang selalu mengikat kita, yang masih mengikat kita hingga hari ini, dan akan terus mengikat kita bersama di masa depan—kemanusiaan bersama yang melampaui segenap perbedaan. Mereka seharusnya berfokus bukan pada apa yang memecah kemanusiaan, melainkan apa yang menyatukannya.
The Undivided Past, pada akhirnya, adalah jeritan bagi keberagaman.
Dian Basuki, penulis blog di Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo