Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hairus Salim H.S.
Djamaluddin Gelar Datuk Maradjo Sutan atau lebih dikenal sebagai Adinegoro (1904-1967) menyumbang banyak pada bahasa Indonesia karena dua buah karyanya yang bisa disebut "pertama" dalam bahasa Indonesia: Atlas Semesta Dunia (1952, bersama Adam Bachtiar dan Sutopo) dan Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia (1954).
Ensiklopedia yang dimaksud tidak istimewa sebenarnya. Ensiklopedia itu berukuran 14,5 x 21 cm, dengan tebal hanya 404 halaman, termasuk pengantar dan indeks. Tak ada gambar atau foto sebagaimana umumnya ensiklopedia yang dikenal di masa kini. Tapi ensiklopedia itu penting karena, seperti judulnya, menegaskan "…dalam Bahasa Indonesia". Artinya, Indonesia belum memiliki ensiklopedia sendiri. Ensiklopedia yang beredar saat itu hanya tersedia dalam bahasa Inggris atau Belanda, seperti Encyclopedia Britannica dan Winkler Prins.
Dalam pengantar bersama penulis dan penerbit, dikemukakan bahwa ada keinginan membuat ensiklopedia yang luas, tebal berjilid-jilid, serta dilengkapi banyak peta dan gambar indah, yang dihimpun para ahli pengetahuan yang terkemuka di bidangnya. Tapi tidak ada satu pun penerbit atau lembaga yang punya dana untuk mengerjakannya saat itu. Akhirnya, penulis dan penerbit Bulan Bintang, Jakarta, menerbitkan "…ensiklopedi pertama ini… dalam sifat, isi, dan bentuk yang seada-adanja" saja.
Ensiklopedia kecil dan sederhana ini dianggap sebagai sebuah halte sembari menunggu "kaum tjerdik pandai Indonesia dapat menulis ensiklopedi yang setingkat dengan umpamanja Britannica…". Demikian Supomo dalam sambutannya. "Menunggu kesempatan dan kemungkinan menerbitkan jang besar dan sempurna bersama2," Yamin menuliskan. Keduanya merasa betapa tidak sempurnanya ensiklopedia ini, tapi sekaligus mengakui betapa bermaknanya bagi Indonesia yang baru merdeka.
Adinegoro adalah jurnalis terkemuka pada zamannya. Persatuan Wartawan Indonesia mengabadikan namanya untuk memberikan penghargaan pada dunia jurnalistik. Adinegoro juga banyak menulis buku, catatan perjalanan, novel, cerita pendek, dan sebagainya. Karyanya Melawat ke Barat (1930) membawakan informasi yang kaya mengenai dunia Barat pada zamannya dan, karena itu, banyak dibaca. Tapi, sekali lagi, Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia tetap penting dicatat karena inilah ensiklopedia pertama yang berbahasa Indonesia, dengan memasukkan sekaligus memberi perspektif nasional pada sejumlah lema, seperti menyangkut tokoh (misalnya "Diponegoro") atau istilah (misalnya "bambu runtjing").
Pada 1950-an, kedudukan bahasa Indonesia belumlah kokoh. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, masih mengeluhkan sejumlah sarjana tamatan perguruan tinggi di Indonesia yang tidak bisa menerjemahkan karangan ilmu ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memang masih dipandang hanya sebagai "bahasa perasaan", bukan bahasa pikiran. Tokoh seperti Takdir atau Slamet Muljana, misalnya, berjuang membangun tata bahasa yang bisa menguatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Adinegoro hampir tak pernah menulis soal tata dan pembakuan bahasa, tapi melalui tulisannya sejak akhir 1920-an ia turut mengembangkan dan memperkaya bahasa Indonesia. Lalu, secara khusus melalui Ensiklopedi, ia dengan berani menghadirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengetahuan. Ini tidak mudah karena ia harus "berijtihad" untuk mengindonesiakan sendiri banyak istilah asing yang belum dibakukan dan tidak termaktub dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta (1952), antara lain kata "diarrhee", "genocide", "diagnose", "energi", dan "induksi". Sebagian ikhtiarnya ini bisa jadi meleset, bahkan keliru, dan sebagian diterima hingga kini.
Di beberapa negara, ensiklopedia mempunyai kedudukan yang penting. Ensiklopedia, yang menghimpun informasi dan pengetahuan yang tepat, singkat, dan mudah dimengerti, termasuk mengenai sejarah dan pencapaian ilmu pengetahuan, bisa menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia yang baru merdeka, ensiklopedia ini menjadi lebih bernilai karena dalam pengertian terbatas menjadi semacam "nasionalisasi" terhadap pengetahuan dan kesadaran. Perspektif kolonial diubah menjadi nasional, dan bahasa Indonesia, sekali lagi, dipakai sebagai sarana.
Ensiklopedia yang diharapkan—luas, tebal, penuh peta dan gambar, serta dibuat oleh para ahli pengetahuan Indonesia terkemuka—baru dibuat 35 tahun setelah merdeka: Ensiklopedi Indonesia (Ichtiar Baru, 1980), yang redaksinya dipimpin Hassan Shadily. Ensiklopedia enam jilid ini melibatkan para ahli dan pengarang terkemuka. Delapan tahun kemudian, terbit Ensiklopedi Nasional Indonesia oleh PT Cipta Adi Pustaka, yang lebih lengkap, 18 jilid, yang redaksinya dipimpin dr E. Nugroho.
Dua ensiklopedia di atas telah memenuhi hasrat inteligensia Indonesia pada 1950-an. Sayangnya, kedua ensiklopedia itu tidak menyebut sama sekali karya Adinegoro. Dalam pengantarnya, Ensiklopedi Indonesia bahkan mengaku sebagai "…ensiklopedi pertama dalam bahasa Indonesia…" dan Ensiklopedi Nasional Indonesia hendak menyempurnakan Ensiklopedi Indonesia tersebut.
*) Penulis dan editor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo