Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Faye Simanjuntak memanfaatkan keistimewaan keluarganya untuk mendirikan Rumah Faye.
Sempat ditolak oleh kakeknya, Luhut Binsar Pandjaitan.
Menangani isu perdagangan anak, kekerasan, dan eksploitasi kerap membuatnya putus asa.
PANDEMI Covid-19 tidak menghalangi aktivitas kerja Faye Simanjuntak, 18 tahun, membantu anak-anak. Di masa pagebluk, Rumah Faye, yayasan yang ia dirikan, justru menampung lebih banyak anak yang menjadi korban perdagangan, kekerasan, ataupun eksploitasi. “Rumah aman kami di Batam biasanya menampung kira-kira 25 anak setiap tahun. Tahun lalu naik jadi 42 anak,” kata Faye dalam wawancara melalui konferensi video, Kamis, 10 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Faye, kondisi ekonomi yang sulit selama pandemi membuat jumlah anak yang menjadi korban kekerasan meningkat, termasuk kekerasan seksual. Pelakunya kebanyakan orang terdekat, seperti ayah, paman, dan pacar. Atas sokongan keluarga besarnya, Rumah Faye bisa tetap bergerak membantu sebagian di antara mereka. “Banyak rumah aman lain yang tidak bisa beroperasi maksimal karena kesulitan ekonomi akibat pandemi. Untungnya, Rumah Faye didanai secara mandiri,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mendirikan Rumah Faye ketika usianya masih 11 tahun. Kegelisahan terhadap isu hak anak mulai muncul saat Faye mengerjakan tugas sekolah ketika usianya baru 9 tahun. Ia terkejut melihat data yang menyebutkan Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap perdagangan anak.
Faye tak bisa membayangkan anak-anak seusia dirinya, bahkan lebih muda, diperdagangkan dan dipekerjakan menjadi pekerja seksual. Faye pernah bertemu dengan salah satunya. Bocah tersebut dinikahkan oleh orang tuanya saat berusia 9 tahun. Suaminya kemudian menjualnya kepada orang lain. Ia menjadi pekerja seks selama bertahun-tahun.
Setelah diselamatkan, bocah itu tak patah semangat berjuang mendapatkan penghidupan yang lebih baik. “Banyak yang bilang saya terlalu muda untuk bekerja di isu ini, tapi anak-anak yang menjadi korban itu bahkan ada yang usianya lebih muda dari saya. Kalau mereka saja terus berjuang, kenapa saya tidak?” tutur Faye, yang kini tengah menempuh studi di Georgetown University Walsh School of Foreign Service, Washington, DC, Amerika Serikat.
Selama tujuh tahun berdiri, Rumah Faye telah menampung 136 anak. Yayasan ini memiliki rumah aman di Batam, Kepulauan Riau, untuk membantu anak-anak yang menjadi korban melewati proses hukum, mediasi, visum, pengadilan, dan pemulihan. Mereka juga berfokus pada pencegahan untuk memutus rantai kekerasan terhadap anak, antara lain dengan memberikan edukasi mengenai kesehatan reproduksi dan perdagangan.
•••
FAYE Simanjuntak tidak berasal dari keluarga biasa. Ia cucu Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Ayahnya, Maruli Simanjuntak, yang berprofesi sebagai tentara, pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden dan kini menjabat Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana. “Saya berasal dari latar belakang yang luar biasa dan punya privilese yang besar sekali,” katanya.
Bukan cuma soal kemapanan secara ekonomi dan jejaring keluarga yang dimaksud oleh Faye, tapi juga dukungan dari orang tua dan keluarga besar terhadap pertumbuhan kesadaran sosialnya. Sejak masih bocah, ia sering diajak orang tuanya memberikan pelayanan setiap Ahad, seperti memberikan bantuan ke panti asuhan. “Sebenarnya aku malas, tapi kalau enggak ikut nanti dimarahin, he-he-he…,” ujarnya. Setelah berkali-kali mengikuti pelayanan itu, lama-lama ia sadar bisa membantu sesama.
Dorongan berperan lebih untuk lingkungan tersebut juga disampaikan lewat obrolan dalam keluarga. Sebelum pandemi merebak, keluarga besarnya menyempatkan diri berkumpul untuk makan siang bersama sepekan sekali. Pada kesempatan itu, mereka bisa membahas isu apa saja, termasuk isu sosial yang sedang terjadi. Siapa pun boleh menyampaikan pendapat dan mendebat. “Keluargaku tidak ada masalah dengan opini yang berbeda asalkan didukung fakta, enggak asal ngomong,” tuturnya.
Ketika keberatan terhadap tes keperawanan yang sempat ramai diperbincangkan beberapa tahun lalu, misalnya, Faye menyampaikannya dalam acara makan siang bersama itu. Ia mengutip pernyataan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan tes itu melanggar hak asasi manusia. Luhut lalu memintanya menjelaskan hal tersebut ketika dia menggelar rapat dengan menteri lain. “Dia selalu memfasilitasi, tapi ya ini bukan isu kementeriannya,” ucapnya.
Di sela kesibukan bekerja penuh waktu, kedua orang tua Faye pun selalu menyempatkan diri menemaninya belajar atau berdiskusi selama sejam setiap hari. Ketika akhirnya Faye penasaran terhadap isu perdagangan anak karena tugas sekolah itu, misalnya, ayahnya mendampingi dia saat melakukan riset tentang isu tersebut di Internet. Maruli, yang tengah bertugas di luar Jakarta, menemaninya lewat telepon. “Aku ingat waktu itu orang tuaku bilang, ‘Kasihan saja tidak akan ngapa-ngapain, kamu harus melakukan tindakan nyata’.”
Faye Hasian Simanjuntak. Dok. Rumah Faye
Pemantik inilah yang membuat Faye ingin belajar lebih banyak tentang isu perdagangan anak. Ia menyurati sekitar 50 lembaga untuk meminta belajar bersama mereka. Sebuah lembaga swadaya masyarakat menerimanya dan ia menjadi relawan di sana. Mereka berfokus mencegah perdagangan anak dengan memberikan edukasi kepada orang tua, guru, dan anak-anak.
Faye lantas memutuskan mengajukan usul kepada keluarga besarnya untuk mendirikan Rumah Faye. Organisasi seperti ini bukan hal baru bagi Faye. Luhut memiliki organisasi nirlaba bernama Yayasan Del yang ia dirikan bersama istrinya, Devi Pandjaitan, pada 2001. Yayasan tersebut memiliki beberapa sekolah dan sebuah stasiun radio. Ibu Faye, Paulina Pandjaitan, mengurus Sekolah Noah, salah satu bagian dari yayasan tersebut.
Di depan anggota keluarganya, Faye menunjukkan gambar yang akan dijadikan logo Rumah Faye dan menerangkan program yang akan dijalankan. Namun, kata Faye, Luhut keberatan terhadap presentasi itu. “Bukan menolak kegiatannya, tapi cara saya mempresentasikannya yang enggak bagus. Jadi disuruh ngulang, ha-ha-ha…,” ujarnya. Rumah Faye kemudian mendapat sokongan dana dari Yayasan Del.
Menurut Mellysa Anastasya, Koordinator Program Pencegahan Rumah Faye Jakarta, Faye sangat berkomitmen terhadap pekerjaan di Rumah Faye. Dia selalu mengikuti rapat mingguan mereka, menyelesaikan bagian pekerjaannya—termasuk terbang ke Batam sebulan sekali sebelum pandemi—dan hadir tepat waktu. “Kecuali kalau sedang ujian sekolah, biasanya dia akan mundur dulu,” tutur Tasya—panggilan Mellysa Anastasya—30 tahun.
Rumah Faye kini memiliki 15 anggota staf. Meski usia Faye lebih muda dari mereka, ia memposisikan dirinya setara dengan yang lain. Faye juga mengingatkan mereka untuk selalu melibatkan anak-anak ketika akan mengambil kebijakan. Misalnya saat akan menggelar acara diskusi. Setelah para anggota staf ataupun relawan mematangkan rencana acara, mereka wajib menanyakan kesediaan anak-anak yang akan dilibatkan. “Faye itu kayak bos kecil. Kami belajar banyak dari dia. Energinya seperti enggak habis-habis,” kata Tasya.
Meski terlihat selalu berenergi, Faye mengaku menangani isu kekerasan dan perdagangan anak kerap membuatnya putus asa. Hal ini terutama terjadi ketika ia sadar bahwa tak ada akhir bahagia yang utuh bagi anak-anak tersebut. Sepanjang hidup, mereka bisa saja dihantui trauma, terjebak dengan HIV, mengalami gangguan kesehatan, serta sulit mendapat pendidikan atau pekerjaan.
Faye sadar, ketika ia dan kawan-kawannya berusaha menyelamatkan hidup sebagian dari mereka, pada saat yang sama lingkaran perdagangan dan kekerasan anak terus berjalan. Ada ratusan anak lain yang menjadi korban. “Ini menakutkan buatku,” ucapnya.
Namun ia tak mau menyerah. Bagi Faye, paling tidak ada hal yang bisa dia berikan kepada mereka. “Hal paling minim yang bisa aku lakukan, ya, dengan terus bekerja.”
NUR ALFIYAH, MAHARDIKA SATRIA HADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo