Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI hujan mengguyur, masyarakat sangat antusias mendatangi pertunjukan musik orkestra Singgih Sanjaya di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Gedung berkapasitas 1.200 orang ini tak menyisakan ruang kosong. Bahkan antrean sempat mengular hingga Pasar Beringharjo yang berjarak 600 meter. Apalagi pertunjukan itu digelar gratis dan menjadi oasis bagi masyarakat yang haus akan hiburan setelah pandemi mereda. Mereka ingin menikmati konser bertajuk “Masterpiece of Singgih Sanjaya”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemandangan Nusantara terhampar di panggung Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dalam satu pertunjukan orkestra malam itu. Penonton seakan-akan diajak berkeliling, menyusuri Indonesia yang kaya akan musik tradisi. Lagu daerah seperti “Gundul-gundul Pacul”, “Bungong Jeumpa”, dan “Yamko Rambe Yamko” membahana, membawa suasana riang. Komposer Singgih Sanjaya, 60 tahun, menghidupkan “Nyanyian Negeriku”, medley lagu-lagu daerah hasil aransemennya, dalam pertunjukan musik di Concert Hall TBY, Kamis, 13 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Singgih adalah konduktor yang konsisten mengaransemen lagu-lagu daerah sejak 2005. Setiap tahun hingga Agustus lalu, ia rutin menjadi konduktor dan arranger dalam upacara peringatan kemerdekaan di Istana Negara. Bagi Singgih, pentas kali ini adalah yang terlengkap dibanding konser-konsernya sebelumnya. “Full orkestra,” ujarnya.
Dia memboyong 150 seniman yang sebagian besar berasal dari Yogyakarta. Ensambel itu memadukan alat musik tradisional seperti kendang dan gong dengan instrumen musik klasik, di antaranya biola, saksofon, flute, dan cello. Penari-penari bertenaga membawakan tarian Bali, Papua, Aceh, dan Sulawesi Selatan, menambah gegap gempita konser musik yang dijubeli penonton itu. Paduan suara dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Negeri Yogyakarta mengenakan beraneka pakaian adat Indonesia.
“Nyanyian Negeriku” adalah salah satu karya masterpiece Singgih. Karya ini sebelumnya dipentaskan sebanyak 25 kali dengan tarian. Addie MS dan Twilite Orchestra pernah mementaskannya di Konzerthaus Berlin, Jerman, pada 2012. Symphonia Vienna Orchestra juga pernah memainkannya pada Januari 2009 dalam versi harpa solo.
Dengan mahir Singgih memberi aba-aba meski harus berdiri dengan tongkat penyangga selama pertunjukan hampir tiga jam ini. Sesekali saja ia duduk. Penyakit stroke yang ia derita sejak 2010 tidak menghalangi dosen Program Studi Penyajian Musik Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta ini. Sehari sebelumnya, ia terpeleset dan jatuh setelah mengecek persiapan pentas. “Mood sedang baik dan saya bahagia,” kata Singgih.
Tema nasionalisme juga muncul dalam komposisi berjudul “Kidung Mahardika” yang ia bawakan berkolaborasi dengan pianis Stephanie Onggowinoto. Denting piano yang dimainkan Stephanie secara solo bertenaga. Dia memainkan tuts piano dengan sangat ekspresif. Permainan pianis muda tersebut mendukung pentas malam itu. “Sesuatu yang penting, ada interpretasi yang baik,” tutur Singgih.
Komposisi itu dimainkan dengan tempo cepat, nada-nada diatonis, dan terdengar rumit. Pianis Ananda Sukarlan dan Twilite Orchestra pernah memainkan komposisi ini. Repertoar ini menggambarkan usaha mencapai kemerdekaan atau lepas dari jerat kolonialisme. Selain menggandeng Stephanie, Singgih berkolaborasi dengan penyanyi moncer Sruti Respati dan vokalis Jikustik, Brian Prasetyoadi. Sruti malam itu menyinden dengan lagu “Lir-ilir” dengan vokal yang jernih. Penonton seperti dibawa ke dalam suasana yang menenteramkan. Ada kicauan burung perkutut.
Yang spesial malam itu, Singgih mendatangkan penyanyi keroncong asal Solo, Jawa Tengah, Waldjinah. Pelantun lagu “Walang Kekek” itu meminta Singgih terus melestarikan lagu dan musik tradisional Indonesia, yakni keroncong dan langgam Jawa. Singgih mengungkapkan, dia mengembangkan unsur keroncong meski tidak sesuai dengan pakem dalam konser-konsernya.
Kecintaannya pada musik keroncong dan musik etnis juga dilandasi semangat nasionalisme. Dalam intro konser itu, Singgih menampilkan aransemen “Bagimu Negeri” ciptaan Kusbini dan “Langgam Pesona Indonesiaku” yang dinyanyikan istrinya, Retno Sanjaya. Lagu-lagu itu dilengkapi dengan gambar kekayaan lanskap alam dan perdesaan Indonesia di layar.
Anggota panitia konser orkestra dari TBY, Wahyu Prasetyo, menyebutkan pentas ini adalah pertunjukan pertama yang digelar di sana sejak pandemi menerjang dan gratis dengan dukungan dana istimewa. Singgih dipilih karena punya kekuatan dalam bermusik. “Karya-karya terbaik Pak Singgih yang ditampilkan,” kata anggota staf penyajian dan pengembangan TBY itu. Gegap gempita orkestra malam itu penuh semangat dan berenergi di tengah guyuran hujan. Grandioso.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo