Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERGI ke taman di belakang Masjid Al-Bina Gelora Bung Karno, Jakarta, menjadi rutinitas Khansa Syahla sepulang sekolah. Sudah beberapa tahun terakhir pelajar berusia 17 tahun itu rajin berolahraga di sana dua-tiga kali sepekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara pepohonan tinggi yang rindang, Khansa biasa berlari mengitari area dengan kontur tanah berbukit tersebut hingga 10 kilometer. Lintasan ini menjadi tempatnya berlatih ketika akan mendaki gunung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi, Senin sore itu, Khansa tampak tidak terlalu ngoyo beraktivitas. Ia hanya berlari santai beberapa putaran. “Karena sekarang sedang jeda. Sudah kelas XII, stop naik gunung dulu sampai dapat PTN (perguruan tinggi negeri),” kata siswi Sekolah Menengah Atas Labschool Jakarta itu saat ditemui Tempo, Senin, 19 Februari 2024.
Khansa baru saja kembali ke Tanah Air pada 13 Februari 2024 setelah 25 hari pergi ke Argentina untuk mendaki Gunung Aconcagua. Gunung tertinggi di Amerika Selatan itu adalah empat dari tujuh puncak dunia atau Seven Summits yang telah digapainya.
Selain mendaki Aconcagua, sejak berusia 11 tahun, Khansa telah mencapai puncak Gunung Carstensz Pyramid di Papua pada 2017; Kilimanjaro, Tanzania (2019); dan Elbrus, Rusia (2022). Ada tiga lagi puncak gunung tertinggi di dunia yang akan dia gapai: Denali atau McKinley di Alaska, Amerika Serikat; Vinson Massif. Antartika; dan Everest di Himalaya (perbatasan Nepal dan Tibet).
Dari keempat gunung tersebut, Khansa mengakui Aconcagua-lah membutuhkan waktu persiapan pendakian paling lama, sekitar dua tahun. Semula pendakian gunung dengan ketinggian 6.961 meter di atas permukaan laut itu direncanakan dilakukan pada 2023. Namun, karena visa tidak keluar, Khansa gagal berangkat. Padahal ia sudah memesan tiket pesawat dan mengatur rencana perjalanan.
Dengan bantuan sejumlah pihak, akhirnya Khansa bisa memperoleh visa tersebut tepat dua hari sebelum berangkat. “Mepet banget. Itu sudah deg-degan, rasanya enggak tenang,” ucapnya.
Selama dua tahun ia tidak hanya menyiapkan dokumen sebagai syarat perjalanan, tapi juga fisik dan mental. Saban pagi ia nge-gym, lalu sorenya lari sejauh 5-10 kilometer. Waktu libur sekolah pun diisi dengan latihan.
Biasanya ia juga ke Sentul, Bogor, Jawa Barat, untuk menjajal trail run. Atau, ia naik gunung langsung, seperti Gunung Gede, untuk mengasah skill. “Aku kan prinsipnya naik gunung latihannya dengan naik gunung,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Aulia Ibnu dan Pramudhi Ayu Wardhani ini.
Khansa mengungkapkan, perjalanannya ke Argentina menghabiskan biaya Rp 260-290 juta. Seluruh biaya akomodasi dan keperluan selama pendakian itu disponsori salah satu jenama produk peralatan kegiatan outdoor. Khansa menjadi brand ambassador-nya. Ada pula bantuan dari sejumlah pihak, termasuk sekolahnya.
Petualangan ke Argentina dimulai pada 20 Januari 2024. Dari Jakarta, Khansa bersama ayahnya, Aulia Ibnu, terbang selama 30 jam. Mereka transit di Thailand, Etiopia, Brasil, hingga sampai di Kota Mendoza, Argentina. Setelah beristirahat selama sehari, ia dan ayahnya bertolak ke Los Penitentes, desa yang menjadi gerbang awal menuju Aconcagua.
Sebelum memulai pendakian, selama lima hari Khansa menjalani aklimatisasi atau penyesuaian tubuh terhadap lingkungan dengan mendaki secara bertahap. Misalnya, ia mendaki dari Plaza de Mulas ke Kamp 1, lalu turun lagi ke Plaza de Mulas untuk beristirahat. Esoknya, pendakian dilanjutkan ke Kamp 2, lalu turun lagi ke Kamp 1. “Jadi naik-turun. Enggak langsung naik terus,” tuturnya.
Selama proses ini, Khansa sempat mengalami acute mountain sickness, yakni penyakit ketinggian akibat adanya reaksi tubuh terhadap berkurangnya kadar oksigen. Saat berada di Kamp 1, saturasi oksigennya 96 persen atau normal. Tapi, begitu sampai di Plaza de Mulas, saturasinya turun menjadi 81 persen. Sementara itu, batas kadar oksigen di Aconcagua adalah 80. “Kalau tidak bisa naik saturasinya, aku harus turun.”
Untuk meningkatkan kembali kadar oksigen tubuhnya, Khansa harus minum air sebanyak 5 liter. Tapi ia hanya kuat menenggak 3 liter. Itu pun sudah membuatnya muntah-muntah. Tapi cara itu memang ampuh. Saturasi oksigennya naik menjadi 86 persen sehingga ia diperbolehkan operator untuk lanjut mendaki.
Di hari kesepuluh pendakian, sebetulnya Khansa bersama ayahnya tinggal sedikit lagi menuju puncak. Bila sesuai dengan rencana, ia akan tiba di puncak Aconcagua pada 4 Februari. Namun cuaca pada tanggal tersebut diperkirakan buruk dan terjadi badai. Jadi rencana pendakian ke puncak mundur sehari.
Khansa menuturkan, cuaca di Aconcagua cukup aneh karena panas dan dinginnya bersamaan. Di siang hari, misalnya, cuacanya panas hingga bisa membuat pusing. Tapi, di malam hari, suhunya bisa mencapai minus 1-5 derajat Celsius. Bahkan suhu di puncaknya bisa minus 10 derajat.
Baca Juga:
Selama pendakian, Khansa pun mengenakan tujuh lapis atasan dan tiga lapis celana. Belum lagi ia harus membawa ransel berisi barang-barang pribadinya. Adapun perlengkapan camping seberat 25 kilogram lebih diangkut oleh porter yang disewanya.
Di hari ke-12, dengan tenaga yang tersisa, Khansa melanjutkan pendakian. Namun di sinilah mentalnya betul-betul teruji. Saat mendaki, ia berpapasan dengan pendaki lain yang turun gunung. “Bukan turun karena sudah kelar, tapi turun karena gagal summit, enggak lanjut karena enggak kuat,” ujarnya.
Melihat mereka yang gagal sampai ke puncak membuat Khansa pesimistis. “Aku bakal gagal juga enggak, ya? Itu lumayan tebersit di pikiran,” tutur remaja yang gemar menonton film ini.
Saat itulah ayah Khansa memberikan dorongan. Ia meminta Khansa berfokus dan berdoa sepanjang perjalanan. “Alhamdulillah, dengan terus berdoa, juga support Ayah, aku sampai di puncak.”
Khansa menangis begitu menginjakkan kaki di puncak Aconcagua. Bahkan air matanya sudah jatuh ketika jarak ke puncak hanya tinggal 100 meter. “Karena sesusah itu gunungnya,” kata Khansa, mengenang pengalaman itu.
Khansa Syahla di Gunung Aconcagua. Dok. Pribadi
Sayangnya, Khansa hanya bisa menikmati puncak Aconcagua selama 15-20 menit. Setelah menancapkan bendera Merah Putih dan berfoto, ia bersama ayahnya bergegas turun. Sebab, pemandu sudah memintanya buru-buru turun karena akan ada cuaca buruk dalam beberapa jam ke depan.
Sejak awal, Khansa telah memperkirakan pendakian Aconcagua bakal sulit. Bobot tubuhnya saja sampai turun 4 kilogram selepas turun gunung. Ia mengaku sulit mendapatkan makanan yang cocok. Selama di Aconcagua, makanan enak hanya didapat ketika berada di Plaza de Mulas.
Selebihnya, saat di pos 1 hingga puncak, Khansa lebih banyak mengkonsumsi biskuit dan sereal yang diberikan pemandunya. “Makan malam dikasih bungkus sup isinya kacang sama daging kecil yang sebenarnya kurang banget,” ucapnya.
Untuk memenuhi kebutuhan asupan, Khansa membawa makanan dari Indonesia. Ia menyiapkan nori (rumput laut), teri kacang, mi instan, dan rendang. “Kalau enggak gitu, enggak akan bisa gerak,” tuturnya.
Keberhasilan Khansa mencapai puncak Aconcagua menambah panjang daftar puncak gunung yang sudah dia daki. Sejak 2014, saat usianya masih 8 tahun, hingga kini Khansa mencatat sudah mendaki 90 gunung.
Gunung Semeru di Jawa Timur menjadi gerbang pembuka kegemarannya mendaki gunung. Khansa mengatakan, selain sedikit-banyak terpengaruh film 5 cm, pendakian itu menjadi momen indah yang tak terlupakan lantaran dilakukan bersama semua anggota keluarganya.
•••
LAHIR di Jakarta, 16 Maret 2006, Khansa Syahla mengenal pendakian gunung melalui ayahnya, Aulia Ibnu. Sang ayah yang berusia 50 tahun sudah punya hobi mendaki sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Ketika Khansa berusia 5 tahun, Ibnu mengajak anaknya itu ke Gunung Bromo, Jawa Timur.
Tujuan awal Ibnu mengajak Khansa kecil mengenal alam adalah membangun karakter yang positif, terutama keberanian. “Karena dulu Khansa takut gelap. Habis itu juga pemalu, enggak bisa berinteraksi,” kata pria yang bekerja sebagai wiraswasta itu.
Ibnu kemudian mengajak Khansa ke gunung-gunung yang populer, tapi tak langsung naik ke puncaknya. Misalnya, ketika ke Gunung Gede, Ibnu hanya mengajaknya sampai Telaga Warna. Cara itu justru membangun rasa penasaran Khansa terhadap puncak gunung.
Suatu hari, Khansa menemukan konsep pendakian 7 Summits of Indonesia di Internet. Ia pun berkonsultasi dengan ayahnya untuk mengikuti program yang digagas pendaki Hendri Agustin tersebut.
Menurut Ibnu, gunung pertama yang dapat Khansa daki hingga puncak adalah Semeru. Kemudian, ekspedisi berlanjut ke Latimojong, Sulawesi Selatan; Kerinci, Jambi; hingga Jaya Wijaya atau Carstensz Pyramid dan berlanjut ke program tujuh puncak di dunia.
Selain dua program itu, Khansa sedang menyelesaikan program The 7 Longest Indonesia atau pendakian dengan tujuh rute terpanjang. Dari tujuh rute itu, Khansa baru menyelesaikan enam gunung. Lokasi terakhirnya masih ia rahasiakan.
Ibnu menuturkan, dari ketiga anaknya, hanya Khansa yang selalu antusias bila diajak mendaki gunung. “Kata dia (Khansa), zonanya lebih nyaman di gunung. Di alam lebih senang,” ujarnya.
Kini boleh dibilang Ibnu tak pernah lagi mengajak Khansa naik gunung. Sebaliknya, ia justru yang diajak sang anak menemaninya selama perjalanan. Ada satu hal yang selalu Ibnu tekankan kepada putrinya, “Saya sampaikan, Ayah siap nemenin kamu sampai pada titik mana kamu berhenti.”
Ibnu melanjutkan, “Tidak apa-apa bila tidak sampai di puncak, yang terpenting keselamatan Khansa adalah prioritas utama.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Impian Khansa Menggapai Atap Dunia"