Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Membaca narasi baru tentang Genosida di Banda dari buku baru yang ditulis sejarawan Belanda
Mencoba meluruskan sejarah tentang genosida di Banda, masih ada keturunan orang Banda di Kepulauan Kei dan sekitarnya.
Keturunan orang Banda yang disebut Masyarakat Wandan, mempunyai ingatan kolektif secara turun temurun.
BERBENTUK kotak, Benteng Nassau masih cukup kokoh berdiri. Benteng peninggalan Belanda ini merupakan benteng yang pertama kali dibangun pada 1607. Berdiri di atas bekas fondasi benteng yang dibangun Portugis, ia tersusun dari batu karang yang menjadi dinding setinggi sekitar tiga meter. Empat gerbangnya menghadap ke selatan. Siang itu tak banyak pengunjung datang, selain masyarakat sekitar. Benteng yang terletak di Desa Nusantara, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, itu tengah direnovasi. Karena itu, pengunjung masuk lewat belakang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak jauh dari Benteng Nassau, hanya berjarak selemparan batu, ada benteng lain yang masih berdiri kokoh juga. Itulah Benteng Belgica. Rahmad, pemuda Banda yang ditemui Tempo, menyebutkan Benteng Nassau tidak seramai Benteng Belgica padahal waktu tempuhnya sekitar lima menit dengan berjalan kaki. Benteng Belgica memang dijadikan tujuan wisata karena lokasinya di atas bukit. Baik wisatawan lokal maupun mancanegara memilih Belgica yang berbentuk pentagon untuk mengabadikan keindahan tempat itu. Halamannya lebih luas dari Nassau. Benteng Nassau lebih banyak dikunjungi para peneliti yang tengah meneliti sejarah genosida Banda. Benteng itu dijadikan cagar budaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Desa Nusantara, berjarak 50 meter dari Benteng Nassau terdapat Monumen Perigi Rante. Konon, Perigi Rante merupakan tempat dibuangnya 40 orang Banda. Perigi diresmikan pada 27 April 2003 secara adat. Dua tiang berdiri di antara perigi, yang banyak ditumbuhi belukar dan lumut di mulut sumur. Ada enam pasak tiang setinggi lutut orang dewasa di sebelah kanan dan kiri sumur. Nama-nama tahanan politik Belanda dan 40 orang Banda diabadikan di dinding bagian belakang sumur. Delapan sesepuh menjalani hukuman potong. Lima orang lainnya adalah orang kaya Banda yang lolos bersama 300 orang yang lain. Mereka dijemput dengan kora-kora—sebutan perahu tradisional Banda dari Seram Timur. Kelima orang itu adalah Watimena (Lautaka), Umbaratu (Lonthor), Makatita (Syahbandar Ratu), Ringi-ringi (Selamon), dan Tatu (Ortata).
Garnisun tentara Belanda di Benteng Belgica, pada 1868. KITLV
Bukan hanya Kota Nira, Pulau Banda Besar—tepatnya di Desa Selamon—merupakan lokasi pembantaian. Isra Prasetya Idris, Ketua Perkumpulan Banda Muda (Perbamu) yang juga berasal dari desa itu, menceritakan dulu ada sebuah benteng bernama Selamon. Namun saat ini benteng itu sudah tak dikenali, berubah menjadi rumah warga. “Bangunannya sudah tidak ada lagi,” ucap Isra.
Benteng Selamon Orantata tak diketahui persis lokasinya. Orantata merupakan sebuah tempat yang berada di tengah-tengah Pulau Banda Besar. Lokasi persisnya masih diperdebatkan. Tapi referensi yang ada menyebutkan tempat itu berada di antara Desa Kumber dan Walang. Dalam peta Belanda, Orantata, kata Isra, ditulis “Oer Tatang”.
Di Rumah Budaya Banda Neira, jejak Belanda di Banda masih terpampang. Sembilan lukisan menempel di dinding ruang dalam ruangan utama. Lukisan Jan Pieterszoon Coen dipasang di sebelah kanan pintu masuk bangunan persegi panjang. Lukisan itu bersebelahan dengan lukisan pembantaian orang Banda pada 1621. Di sebelah kirinya terpampang lukisan Pieter Both, mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Di sudut lain di ruangan itu ada lukisan ilustrasi kapal Belanda ketika datang ke Banda.
Di bawahnya terdapat ilustrasi gambar pelabuhan dan kapal-kapal yang berlabuh, juga ada peta maritim Banda Neira. Peninggalan lain dari koleksi di Rumah Budaya di antaranya sejumlah lonceng dengan teks Belanda, berbagai jenis meriam mini, alat musik, keramik Tiongkok, dan uang kuno yang dipajang di dalam lemari kaca. Rumah Budaya merupakan bangunan milik Des Alwi, sejarawan Indonesia. “Banyak wisatawan ke sini ingin tahu sejarah Banda karena banyak koleksi yang masih ada,” tutur Ikbal Baadila, penjaga Rumah Budaya Banda, pada Kamis, 22 Februari 2024.
Benteng Nassau dengan latar belakang gunung api Banda, di Desan Nusantara, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Tempo/Khairiyah Fitri
Rahmad mengatakan tak banyak anak muda yang mengetahui sejarah kelam itu. Banda saat ini hanya dikenal dunia lewat keindahan alamnya. Rahmad merasa, sebagai orang Banda, ia harus mengenalkan sejarah Banda yang tersohor dengan rempahnya. “Banyak yang tidak tahu sejarah itu dengan lengkap, hanya kalangan mahasiswa, pemandu wisata, atau pelaku pariwisata dan kebudayaan di Banda yang tahu,” katanya.
Dalam peringatan peristiwa 400 tahun genosida di Banda pada 8 Mei 2021, sejumlah pemuda, tokoh adat, latupati (raja), dan masyarakat menggelar upacara di Monumen Perigi Rante. Upacara peringatan itu diinisiasi oleh Perbamu. Dalam upacara tersebut, mereka mengeluarkan tuntutan terhadap pemerintah Belanda agar memberikan kompensasi kepada rakyat Banda.
Menurut Ketua Perbamu, Isra Prasetya Idris, peringatan peristiwa genosida menjadi catatan penting bagi masyarakat Banda untuk membangun memori kolektif bahwa peristiwa sejarah tak boleh dilupakan. Terutama untuk anak muda, baik yang masih di Banda, anak-cucu asli Banda yang meninggalkan Banda, maupun orang Wandan di Pulau Kei atau Pulau Seram, juga buat dunia karena telah terjadi kekejaman di sana. Karena itu, perkumpulan ini mengajukan sejumlah tuntutan kompensasi kepada pemerintah Belanda. “Akhirnya katong (kita) harus sadar ternyata sejarah itu penting sebagai identitas, sebagai bangsa,” ujar Isra kepada Tempo.
Monumen Perigi Rante di Desa Nusantara, Kecamatan Neira, Maluku Tengah. Tempo/Khairiyah Fitri
Lebih dari setahun kemudian, pada 16 Juni 2022, sebuah peristiwa penting terjadi untuk masyarakat Wandan. Mereka kembali pulang ke Banda. Sebuah perjalanan Laskar Muhiba Budaya Jalur Rempah Nusantara dilakukan pada 19-21 Juni 2022 di Banda Neira. Dalam kegiatan yang bertajuk “Persaudaraan Sejati” itu, orang-orang Wandan disambut para raja dan masyarakat Banda dengan isak tangis setelah 400 tahun lamanya meninggalkan Banda.
Rombongan masyarakat Wandan (Banda Ely-Elat) yang dipimpin Raja Banda Ely, “Rat Waer Ohoitel” Basar Almudin Latar; imam Masjid Al-Mukaramah Banda Ely, “Rahan Leb” Tunggala Salamun; tokoh masyarakat; dan tokoh agama ikut serta dalam perjalanan jalur rempah tersebut. Momentum ini juga menegaskan bahwa Fukardan adalah nama Banda Neira. “Pertemuan sakral ini pertama kali untuk menjaga persaudaraan dan kebudayaan orang-orang Banda,” ucapnya.
•••
RUANGAN di belakang Museum Sejarah, Jakarta, pada akhir Januari 2024 penuh oleh peserta diskusi. Hujan gerimis yang cukup lebat sejak pagi tak menyurutkan langkah mereka yang datang. Sepanjang setengah hari itu mereka mendiskusikan buku yang ditulis sejarawan Belanda, Marjolein van Pagee, berjudul Genosida Banda: Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterszoon Coen. Buku terbitan Komunitas Bambu tersebut diluncurkan pada akhir Januari itu dan didiskusikan bersama sang penulis, sejarawan, dan pengajar hukum Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso dan Hadi Purnama.
Tarian wanare dipertunjukkan dalam peluncuran dan bedah buku di ruang audiovisual Museum Sejarah. Tarian itu diiringi syair berbahasa Melayu dan Wandan. Yang menarik, terdapat syair yang menyebut Jan Pieterszoon Coen: “Piter Sukun e merampas buah pala hasil Wandan e”. Sebuah koreografi yang dilakukan oleh beberapa pemuda laki-laki berpakaian gamis panjang menutup acara. Kegiatan ini mempertemukan para diaspora masyarakat Wandan di Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi.
Dalam literatur yang ada, Jan Pieterszoon Coen dianggap sebagai pahlawan yang mendatangkan keuntungan besar bagi Belanda dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Ia berhasil menaklukkan masyarakat Kepulauan Banda. Tak ada lagi orang Banda yang selamat. Dengan demikian, mereka menguasai serta memonopoli bunga dan buah pala di Banda.
Sampul buku Genosida Banda: Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterszoon Coen
Tapi Marjolein van Pagee menawarkan sesuatu yang baru dari buku yang ditulisnya. Dalam buku tersebut, sebagai alternatif atau tandingan narasi yang ada, ia menuliskan genosida yang dilakukan Jan Pieterszoon Coen tidak sepenuhnya berhasil menumpas orang Banda. Ternyata ada orang Banda yang tersisa dan keturunannya masih bisa ditemui. Meski demikian, ia mengakui masih mempunyai daftar beberapa pertanyaan yang harus diverifikasi lagi.
Marjolein van Pagee mulai menulis bukunya ini pada 2020, lebih dari 400 tahun setelah penguasaan VOC dan sejarahnya di Hindia Belanda. Van Pagee juga menuliskan pertemuannya dengan tiga orang keturunan Wandan, orang Banda yang menjadi diaspora di Belanda, yakni Marcel Matulessy, Ridhwan Ohorella, dan Lukas Eleuwarin. Salah satu dari mereka berkerabat dengan orang-orang keturunan Banda—disebut masyarakat Wandan di Kepulauan Kei—yang masih hidup.
Pertemuan itu membuka mata Van Pagee bahwa sejarah yang ada selama ini tidak akurat. Narasi selama ini yang menyebutkan terjadi genosida di Banda, sebanyak 14-15 ribu orang Banda dibunuh atas perintah Coen, bahwa tak ada lagi yang tersisa dari penduduk Banda, terbantahkan. Tidak sepenuhnya penduduk kepulauan itu dimusnahkan.
“Beberapa di antaranya masih ada yang selamat! Mereka memiliki versi sejarah sendiri. Beberapa hal jauh berbeda dari yang ditulis di buku sejarah kolonial soal genosida,” tulis Van Pagee dalam bukunya. Ia menyampaikan bahwa komunitas asli Wandan adalah benang merah buku ini yang secara struktural juga meninggalkan jejak di Indonesia.
Suasana di Museum Rumah Budaya Banda Neira, Jalan Nusantara, Kecamatan Banda, Maluku Tengah. Tempo/Khairiyah Fitri
Van Pagee menuliskan pemikirannya dalam enam bab buku dilengkapi beberapa gambar peta Kepulauan Banda pada masa lampau. Juga foto-foto modern sejumlah tokoh dan narasumber serta ilustrasi tentang kegiatan perdagangan. Ia memulainya dengan penjelasan asal muasal penguasaan dan pendudukan, lalu dilanjutkan dengan awal mula Belanda berlayar menuju Banda, pusat rempah-rempah. Selain itu, upaya-upaya memonopoli pala, lada, dan cengkih. Heeren Zeventien menyebut Kepulauan Banda sebagai “sasaran utama yang kami bidik” dalam surat bertarikh 1608.
Selanjutnya ia menjelaskan awal mula pelayaran VOC menemukan rempah-rempah. Dengan dua kapal pada Maret 1599, pendahulu VOC, yakni Compagnie van Verre yang dipimpin Laksamana Muda Jacob van Heemskerck, menuju Kepulauan Banda dan singgah di Banten dan Ambon. Dari kedatangan awal hingga kemudian kedatangan ketiga, mereka merangsek untuk menguasai perdagangan pala dengan berbagai tindakan, termasuk kekerasan dan pembunuhan.
Kekerasan yang berujung pembantaian dimulai setelah kedatangan ketiga VOC pada 21 April 1621. Sebanyak 44 orang kaya Banda yang semula menandatangani kerja sama dengan VOC dibunuh oleh Komisi Martinus Sonck atas perintah Jan Pieterszoon Coen. Ia juga memerintahkan penghancuran dan pemusnahan penduduk di Selamon dan Lonthor. Ratusan orang ditangkap dan dikirim ke Batavia. Coen mengklaim korban tewas sekitar 15 ribu. Tapi itu merupakan perkiraan kasar. Jumlah populasi Banda saat itu lebih rendah, sekitar 5.000 orang. “Klaim Coen membunuh sebanyak 15 ribu penduduk Banda tidaklah benar. Tapi jelas Coen bertanggung jawab pada depopulasi Banda Besar pada 1621,” tulis Van Pagee di halaman 191.
•••
DALAM kesempatan berbeda, Tempo menemui Burhan Borut dan Ahmad Irso Kubangun, dua pemuda dari Wandan. Burhan tumbuh besar di Ambon, leluhurnya dari Kei-Banda Ely. Sedangkan Irso tumbuh di Kei. Kekerabatan mereka erat. Burhan masih mengingat, hingga saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, dia tak pernah punya kamar sendiri karena kamar yang ada diperuntukkan bagi kerabat yang datang dari Wandan. Ketika di Jakarta pun ada rumah kerabat yang selalu jadi tujuan awal ketika anak-anak Wandan merantau.
Bagi Burhan dan Irso, buku Marjolein van Pagee sangat berarti. Buku ini memperjelas asal-usul mereka sebagai orang Wandan yang tak banyak disebut dalam sejarah. “Kami tidak perlu menjelaskan lagi, kalau dari Maluku, Maluku mana, Wandan, dan sebagainya,” ujar Burhan.
Tradisi pemasangan tiang alif pembangunan Masjid Al-Mukarramah oleh masyarakat Bandan, di Desa Banda Eli, Kecamatan Kei Besar Utara Timur, Kabupaten Maluku Tenggara, Oktober 2023. Wandan Culture/Hafiedz Khaulani Uar
Kedua pemuda ini mengenal sekelumit asal-usul leluhur mereka dari tuturan orang-orang tua mereka yang mendapatkannya secara turun-temurun. Leluhur mereka adalah orang-orang Banda yang berhijrah—untuk menyelamatkan agama dan akidah. Leluhur mereka, kata Burhan, juga berhijrah untuk menghindari upaya pemaksaan berpindah agama. Tapi baik Burhan maupun Irso tak mengetahui kepastian waktu perpindahan moyang mereka dari Banda ke Kei. “Kami tidak tahu apakah sebelum ada pembantaian atau setelahnya. Cerita-cerita yang ada dari para tetua ini kan sudah campur-campur. Memori kolektif yang tercabik-cabik,” ucapnya.
Burhan mengatakan kedatangan orang Wandan ke Kei dan sekitarnya tidak berlangsung sekaligus, tapi bertahap. Dari cerita leluhur mereka, orang Wandan terus dikejar Belanda, meski tidak spesifik disebutkan sebelum atau sesudah pembantaian. Terdapat puluhan marga di Kei dan masing-masing mempunyai memori kolektif sendiri. Tapi Burhan menyatakan ada dua tempat yang secara spesifik menyebutkan lokasi kedatangan, yakni grup 30 dan 80, yang kemudian dikenal sebagai Kampung Futelu (30) dan Futualu (80). Burhan mengatakan asal-usul neneknya konon dari Uwaer (Fer), sementara kakeknya keturunan Lakar. Tapi, setelah 1609, kedua kampung itu tak lagi ada di peta.
Keunikan lain yang dijumpai di Kei, kata Burhan dan Irso, terdapat bahasa yang berbeda dengan bahasa Kei. Bahasa itu merupakan bahasa masyarakat Wandan yang disebut Turwandan. Sayang, kini bahasa ini mulai punah, hanya tetua yang menggunakannya. Sementara itu, anak-anak mudanya menggunakan bahasa Indonesia. Mereka pun masih mengingat tradisi Islam yang kuat, juga tarian yang biasanya dipertunjukkan saat acara resmi atau upacara pembangunan masjid dan penyambutan. Yang menarik, tarian wanare bernuansa islami tapi diiringi musik dan syair yang menyebut Jan Pieterszoon Coen sebagai perampas rempah-rempah orang Wandan: “Piter Sukun e merampas buah pala hasil Wandan e”. Memori kolektif mereka juga muncul dari sandiwara tentang asal muasal Wandan dan kekerasan Belanda yang pernah mereka lihat saat kecil.
Raja Banda Ely Basar Almudin Latar (berikat kepala kuning), saat menerima kedatangan Laskar Rempah di Pelabuhan Banda Neira, Maluku Tengah, Maluku, Juni 2022. Dok.Kemdikbud
Masyarakat Wandan mayoritas beragama Islam. Leluhur mereka menyebutkan Islam dibawa ke Banda oleh Tuan Abubakar. “Cerita leluhur yang ada seperti itu. Tapi kami tidak tahu Tuan Abubakar ini apakah sahabat Nabi itu,” ujar Burhan. Sebagian besar penduduk Wandan adalah muslim dengan tradisi tarekat yang kuat. Perdagangan kaum muslim di Banda dengan saudagar Arab dan Cina ada kemungkinan terjadi jauh sebelum kedatangan Belanda. Hal ini dibuktikan dengan penemuan sejumlah artefak dalam sebuah ekskavasi. Ditemukan kepingan keramik dan material yang usianya sangat tua—mungkin dari perdagangan dengan pedagang Cina dan Arab.
•••
DALAM buku Marjolein van Pagee di halaman 70 disebutkan bahwa Belanda membawa 789 orang Banda ke Batavia. Jan Pieterszoon Coen mencatat kelompok yang dibawa itu terdiri atas 287 laki-laki, 256 perempuan, dan 246 anak-anak. Selama perjalanan, 176 orang meninggal diduga karena penyakit. Sebelumnya, mereka dipisahkan dari para pemimpin mereka. “Mereka kemudian ditempatkan di Kampung Bandan, sebelah timur Kota Batavia, di dekat Ancol sekarang. Tadinya kan disebut Kampung Banda, tapi karena lidah Betawi jadi Bandan,” tutur sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso.
Menurut Bondan, Belanda menempatkan orang-orang Banda seperti orang dari tempat lain, seperti Bugis, Makassar, Ambon, Bali, Buton, dan Manggarai, yang membentuk kampung-kampung di sekitar Batavia. Mereka diberi tanah untuk berkebun sebagai sumber penghidupan. Belanda atau VOC mengambil penduduk di daerah yang diperangi untuk dibawa ke Batavia. Tujuannya, kata Bondan, untuk mengisi atau membentuk Kota Batavia. Mereka memilih mengambil orang-orang dari tempat yang jauh untuk keamanan. “VOC pernah dua kali diserang Mataram dan hampir hancur. Pengambilan penduduk dari luar Jawa disebut sebagai strategi bertahan,” ujar Bondan, yang menulis disertasi tentang penduduk Batavia dan dibukukan dengan judul Ommelanden: Perkembangan Masyarakat dan Ekonomi di Luar Tembok Kota Batavia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Seno Joko Suyono dan Khairiyah Fitri dari Banda berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Genosida Coen dan Kisah Orang Wandan"