Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 1994, saya bersama Suteja Neka (pemilik Museum Neka, Ubud, Bali) dan Kwok Kian Chow (Direktur Singapore Art Museum) berkunjung ke Istana Bogor, Jawa Barat. Di satu dinding, ada karya Antonio Blanco. Neka terpesona melihat lukisan berukuran kecil itu. Setelah mendekat, ia setengah berpekik, "Ini repro cetak!” Setelah itu, ia merayap melihat lukisan-lukisan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa tahun kemudian, terbit berita tentang polisi menangkap pencuri rusa totol di Istana Bogor. Bersamaan dengan terungkapnya kasus rusa, terbongkar perkara pencurian sejumlah lukisan. Modus yang digunakan si pencuri: lukisan yang akan dicuri dibikin dulu reproduksi alias repro cetaknya dalam ukuran yang sama, kemudian repro tersebut dipasang dalam pigura yang tetap pada gantungan dan lukisan aslinya dibawa pulang. Polisi hebat, berhasil menangkap si pencuri! Setelah mengembalikan semua lukisan curian, si begundal dibui beberapa bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan Antonio Blanco berjudul Portrait of Balinese Girl yang dilelang online oleh Masterpiece.
Pada 1-15 April 2023, biro Masterpiece di Jakarta menggelar lelang online. Salah satu lukisan yang dilego adalah karya Antonio Blanco, Portrait of a Balinese Girl (53 x 45 sentimeter). Bentuk dan ukurannya sangat mirip dengan lukisan yang dulu tergantikan oleh repro cetak itu. Setelah dikemas dengan pigura baru khas Blanco, lukisan apik ini ditawarkan Sin$ 31-44 ribu. Katalog menyertakan catatan bahwa lukisan itu ada dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Sukarno (LPKS) volume III tahun 1964. Dalam kolom provenance (asal kepemilikan lukisan) tertulis nama Sukmawati Soekarnoputri.
Bersama lukisan tersebut, muncul karya Rudolf Bonnet, Balinese Girl (51 x 43 sentimeter), yang juga ditulis sebagai koleksi Sukmawati. Lukisan Bonnet ini ada dalam buku LPKS volume IV. Lukisan ini ditawarkan seharga karya Blanco. Ada pula lukisan Basoeki Abdullah, Girl of Thailand (100 x 75 sentimeter), yang dicatat sebagai koleksi Hartini Soekarno. Lukisan yang ditawarkan Sin$ 27-40 ribu ini tertera dalam buku LPKS volume III. Tiga lukisan itu terbuat dari cat minyak di kanvas.
Mencermati provenance dan merujuk pada buku LPKS, masyarakat pemerhati seni jadi bertanya-tanya: mengapa koleksi Sukarno yang telanjur diimajinasikan sebagai milik negara bisa jatuh ke tangan orang lain? Tanda tanya itu lantas memancarkan pandangan kritis terhadap biro Masterpiece yang secara terbuka dan riang menjual barang yang diduga sebagai aset negara.
Terdapat tulisan milik Ir Sukarno dibalik lukisan Antonio Blanco, Portrait of Balinese Girl, yang dilelang Masterpiece. Masterpiece Auction House
Dan pandangan kritis itu wajar tumbuh ketika diberangkatkan dari wacana demikian. Pada 1977, Kepala Rumah Tangga Istana Kepresidenan Joop Ave mengatakan koleksi Sukarno yang ada dalam buku LPKS adalah milik Istana Kepresidenan. Dengan begitu, koleksi tersebut harus dipajang (dan disimpan) di istana-istana presiden. Ide ini disepakati oleh Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo lewat berbagai kebijakan signifikan atas koleksi Istana.
Namun semangat melindungi koleksi Istana ini kurang dipahami masyarakat. Sebab, Istana memang belum menerbitkan “Surat Ketetapan Keberadaan Benda Seni Koleksi Istana Presiden”, atau “buku putih” berkekuatan hukum yang diundang-undangkan secara luas. Karena itu, lukisan pun, dengan berbagai dalih, punya celah untuk berpamitan ke luar Istana. Sedangkan aturan umum mengatakan lukisan yang sudah berada di luar Istana boleh didistribusikan lewat cara apa saja. Salah satunya lelang.
Tapi ihwal koleksi Sukarno sejak dulu memang berada dalam posisi longgar, terutama dalam hal kepemilikan yang berkaitan dengan keluarga besar Sukarno. Sebab, keluarga Sukarno—yang untungnya jauh dari sikap serakah—memiliki kartu truf untuk mengajukan klaim. Beberapa tahun lalu, Ratna Sari Dewi Soekarno mengatakan ada lukisan dalam buku LPKS yang sesungguhnya miliknya pribadi. "Lukisan itu lama menemani saya dan Bapak (Sukarno) di Wisma Yaso,” katanya. Syahdan, ketika Sukarno wafat pada 1970, dan Dewi terusir, lukisan itu “pindah rumah”.
Lukisan Basoeki Abdullah berjudul Girl of Thailand yang dilelang online oleh Masterpiece. Agus Dermawan T
Nun jauh bertahun-tahun sebelumnya, Guruh Soekarno Putra menyimak katalog biro lelang Christie’s Singapura edisi Maret 1995. Guruh terkejut karena dalam katalog itu ada lukisan Ida Bagus Made Poleng, Kehidupan di Bali, dan lukisan pastel Basoeki Abdullah, Gadis Bali Berdoa. "Lukisan-lukisan ini koleksi saya, pemberian Bapak. Ada dalam buku LPKS,” ujarnya.
Guruh bercerita bahwa dua lukisan itu berbelas tahun terpajang di rumahnya di Jalan Sriwijaya, Jakarta. Pada 1972, Guruh meninggalkan Tanah Air untuk mempelajari arkeologi di Amsterdam, Belanda. Sepulang ke Jakarta pada 1974, Guruh merasa ada dinding yang kosong. Ternyata dua lukisan kesayangannya raib.
Ketika pameran lelang Christie’s digelar di Hotel Hyatt Regency, Singapura, datanglah pengacara Guruh. Ia diutus untuk mengambil lukisan Ida Bagus Made Poleng dan Basoeki Abdullah itu. Tentu saja Christie’s tak mengizinkan. Pihak Guruh meminta dipertemukan dengan penyetor lukisan (owner). Christie’s juga menolak permintaan itu. Sebab, dalam kode etik yang dijaga ratusan tahun, owner harus dipisahkan dari buyer atau bidder atau para pihak tamu lelang.
Terdapat tulisan milik Ir Sukarno dibalik lukisan Basoeki Abdullah berjudul Girl of Thailand yang dilelang Masterpiece. Masterpiece Auction House
Christie’s akhirnya melakukan withdrawn atau pembatalan lelang. Namun dua lukisan itu tidak balik ke pangkuan Guruh lantaran oleh Christie’s dikembalikan kepada owner. Alasannya: Guruh tidak punya surat laporan kehilangan dari kepolisian. “Saya memang tidak lapor. Semua tahu bagaimana risiko anak Sukarno melapor ke polisi pada tahun-tahun itu,” ucap Guruh, merana.
Beberapa hari setelahnya, saya tak sengaja bertemu dengan Guntur Soekarnoputra di Bandar Udara Changi, Singapura. Saya menceritakan perkara koleksi Guruh itu. Guntur tersenyum. “Harus diperiksa cermat. Jangan-jangan lukisan itu memang sudah dijual oleh anggota keluarga yang lain, ketika Guruh sedang tak ada di rumah.”
Lukisan Rudolf Bonnet berjudul Balinese Girl yang dilelang online oleh Masterpiece. Agus Dermawan T
Raibnya lukisan koleksi Istana Presiden warisan Sukarno akhirnya menjadi peristiwa klasik, dan hadir sebagai bahan pergunjingan. Apalagi pada akhir-akhir ini, menjelang kepindahan Istana Presiden ke Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur. Untuk menambah kehati-hatian, barangkali publik perlu mengetahui angka-angka ini: pada 1968, lukisan koleksi Sukarno di Istana berjumlah 2.100; pada 2004, menurut hitungan Sanggar Lukisan Istana, jumlahnya tinggal 1.776.
Yang sering dilupakan, koleksi Sukarno didapatkan dengan berbagai cara. Hal itu akan memposisikan hak kepemilikan. Yang dibeli dengan uang pribadi Sukarno harus dan bisa diklaim sebagai milik Sukarno (dan keluarga). Yang dibeli dengan uang negara diklaim sebagai milik Istana Kepresidenan. Sedangkan yang diperoleh dari pemberian bisa berada dalam dua wilayah klaim: milik pribadi apabila diperuntukkan bagi Sukarno dan milik Istana jika pihak pemberi serta Sukarno menghibahkan lukisan tersebut kepada negara.
Lukisan Antonio Blanco berjudul Portrait of Balinese Girl yang dilelang online oleh Masterpiece. Agus Dermawan T
Saya memahami betapa susah melacak dokumen pembelian, pemberian, dan kepemilikan itu, yang kocar-kacir administrasinya akibat kekacauan politik 1965. Maka, sementara para pengelola koleksi Istana bekerja keras memburu, membongkar, dan menata arsip yang ditemukan, biro lelang dengan bangga—sekaligus sangat waswas—menjual lukisan Istana yang tercecer itu. Satu demi satu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo