Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA Sabtu malam hingga Ahad pagi (1-2 April 2023), klub Arkaoda di Berlin, Jerman, bermandi cahaya kemerahan. Pusat perhatian para pengunjung bertumpu pada dua sosok yang memainkan berbagai peralatan bunyi. Ada yang menghasilkan bunyi secara digital, ada alat tiup yang lebih mirip mainan anak-anak, juga sejumlah alat yang dibuat dari bahan-bahan tak umum seperti pipa paralon dan kantong plastik.
Mereka adalah Ariel William Orah dan Mo’ong Santoso Pribadi. Dalam rangkaian acara CODEX CLUB x Arkaoda tersebut, kedua pemusik asal Indonesia ini mengusung konstelasi duo bernama RANGKA. RANGKA tampil memukau penonton dari pukul satu dinihari. Mereka membawakan komposisi eksperimental dan menawarkan pengalaman bunyi yang sulit dikategorikan dalam satu genre yang kaku.
Duo RANGKA memang baru berusia beberapa bulan, tapi perjalanan berkesenian Ariel dan Mo’ong sudah cukup lama. Ariel tinggal di Berlin, sedangkan Mo’ong berdomisili di Vilnius, ibu kota Lituania. Sejarah Ariel dengan Jerman berawal pada 2007. Ariel saat itu mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung, yang terlibat program pertukaran mahasiswa di sebuah universitas di Erfur, kota yang terletak sekitar 300 kilometer barat daya Berlin.
Sesudah program di Erfurt selesai, Ariel pulang ke Indonesia untuk menyelesaikan skripsinya. Lulus dari Universitas Padjadjaran, ia bekerja di Bandung lalu Jakarta.“Tahun 2012 saya ‘kabur’ ke Berlin,” ia berkisah. Ariel mendapat beasiswa di Steinbeis University di bidang sustainability. Pada tahun kedua, Ariel juga memperoleh beasiswa untuk mempelajari human-centered design di Hasso-Plattner Institut di Potsdam sehingga ia menjalani dua program ini secara paralel.
Di samping kuliah, Ariel berkesenian. Meski tidak pernah mengecap pendidikan seni secara formal, Ariel bermusik sejak masih tinggal di Bandung dan Jakarta. Ia pernah bergabung dalam band bernama Vincent Vega yang mengeluarkan album pada 2008. Di Berlin, ia mulai berkenalan dengan komunitas pelajar asal Indonesia yang berkumpul atas kesamaan minat pada seni alternatif.
Pada 2014, salah satu tugas kuliah yang harus ia selesaikan adalah mengorganisasikan sebuah inisiatif nirlaba. Untuk tugas ini, Ariel menggagas gerakan bertajuk Indonesian Initiative atau INN bersama kawan-kawan asal Indonesia yang sedang belajar fashion di Berlin. Pada saat Berlin Fashion Week berlangsung, INN mengadakan event paralel dengan tema slow fashion. “Di situlah saya mulai mengumpulkan teman-teman diaspora Indonesia (di Berlin) untuk membuat event,” Ariel mengenang. “Kami mulai memetakan anak-anak Indonesia di sini sedang belajar apa saja dan melakukan apa saja.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegiatan selama dua hari itu terdiri atas beraneka ragam acara, dari pertunjukan musik, tato, pameran, hingga pemutaran film. Dalam kegiatan pemutaran film, INN bekerja sama dengan PIJAR, sebuah kolektif Indonesia yang memusatkan kegiatannya pada pemutaran film. Selama dua hari itu pula INN menjual hidangan khas Indonesia.
Dengan dana yang dikumpulkan secara patungan, mereka menyewa lokasi acara di bilangan Wedding, Berlin. INN juga mendapat sponsor dari sebuah merek pakaian asal Bandung yang mengirim sejumlah produknya untuk dijual pada acara tersebut. Yang menarik, pemasukan terbesar justru diperoleh dari penjualan makanan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesudah lulus pada 2017, Ariel terus berkesenian, antara lain dengan membantu membuatkan komposisi untuk film tugas kuliah dari beberapa kawan asal Indonesia yang pada saat itu sedang menekuni studi film di Babelsberg, dekat Potsdam. Ia kemudian juga terlibat dalam penataan musik pada beberapa produksi teater. Makin lama ia makin sadar bahwa ada pola tertentu pada acara-acara yang ia rancang, yaitu menggabungkan pengalaman berkesenian dengan kuliner. Model ini kemudian menjadi ciri khas Soydivision, kolektif seni yang kemudian ia dirikan.
Ariel mengadakan serangkaian acara yang ia namakan “Soy & Synth” setiap dua bulan sekali sejak musim panas 2018. Formatnya pertunjukan musik dan penyajian hidangan kuliner Indonesia yang direinterpretasi. Momen ini pula yang dilihatnya sebagai titik lahir Soydivision. Awalnya Ariel mengerjakan segalanya sendirian. Ia memasak dan menata makanan, kemudian tampil membawakan komposisi musik eksperimental sesudah itu. “Lalu ini ternyata mulai menarik anak-anak Indonesia yang lain. Karena ada makanan,” ujar Ariel, kemudian tertawa.
Perkembangan selanjutnya berlangsung seperti bola salju. Beberapa pemuda Indonesia yang tinggal di Berlin mulai bergabung dalam acara-acara “Soy & Synth” yang digagas Ariel sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing. Ada yang menangani tata cahaya, kemudian ada yang kemudian menggelar pertunjukan disc jockey set. Masih banyak lagi yang berkolaborasi dengan Ariel dalam “Soy & Synth”.
Akhir 2018, ia pulang ke Indonesia. Kebetulan saat itu di Yogyakarta berlangsung Nusasonic, festival musik eksperimental oleh Goethe-Institut bekerja sama dengan CTM Festival Berlin. Di situ berhimpun 43 pemusik eksperimental dari Thailand, Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Ariel melihat bagaimana mereka mengeksplorasi keindonesiaan dan kenusantaraan dalam eksplorasi bermusik. Ini menjadi pengalaman yang membekas bagi Ariel. Sebab, ia mengenal beberapa penampil di festival tersebut sejak mereka sama-sama bergiat di ranah musik underground pada akhir 1990-an dan awal 2000-an.
Sejak saat itu, wawasan Ariel terbuka. Setelah kembali ke Berlin, kesadaran baru ini mulai dipertimbangkan dengan serius dalam narasi perencanaan event Soydivision. Dengan Soydivision, Ariel melihat bahwa ia akan mampu memberikan sumbangsih unik. Di Eropa ia merasa lebih leluasa mengeksplorasi tema-tema seperti peristiwa 1965, isu gender, dan rasisme terhadap komunitas minoritas. Tersedia infrastruktur untuk merealisasinya, termasuk dalam bentuk dana publik yang disediakan untuk kegiatan berkesenian di Berlin dan negara-negara Uni Eropa.
(dari kiri) J. Mo’ong Santoso Pribadi dan Ariel William Ora, di Porto, Portugal, Maret 2023. Pisitakun Kuntalaeng
Ariel mengatakan tidak mudah mengakses dana publik yang disediakan pemerintah kota Berlin atau negara Jerman bagi kegiatan berkesenian. Sebab, ia tidak pernah mengenyam pendidikan seni secara formal. Namun satu hal yang kemudian membuka jalan baginya adalah pandemi Covid-19. Pada Agustus 2019, Ariel resmi mendaftarkan Soydivision sebagai entitas hukum unternehmergesellschaft atau perusahaan bisnis dengan deskripsi sebagai organisasi seni dan budaya yang memiliki lisensi katering.
Pada Februari 2020, Ariel dan komunitas yang dihimpunnya di bawah Soydivision memperoleh kesempatan untuk memusatkan kegiatannya di Sari-Sari, ruang co-working yang dikelola oleh Pepe Dayaw, seniman diaspora asal Filipina. Saat hampir semua restoran tutup, mereka mengadakan kegiatan masak bersama di dapur Sari-Sari.
Hasil modus eksplorasi dan riset di Sari-Sari ini kemudian membuahkan sejumlah produksi selepas pandemi berangsur reda, antara lain pertunjukan teater dan instalasi pameran bertajuk “Aryati” (2022), pertunjukan multisensori berjudul “Kiamat” (2022), serta "Kaum”, sebuah festival pertunjukan dan film alternatif Indonesia (2021).
Kegiatan-kegiatan tersebut terlaksana berkat berbagai pendanaan yang disediakan, baik oleh pemerintah kota Berlin, Republik Federasi Jerman, maupun Uni Eropa, untuk merevitalisasi kehidupan seni dan budaya pada masyarakat pasca-pandemi. Kemudian perkenalan dengan Ballhaus Naunynstrasse, pusat kesenian yang berfokus pada isu-isu dekolonialisme dan pascamigran, membuahkan sejumlah kolaborasi seni, termasuk pertunjukan teater “SCAR-CITY.”
•••
PERJALANAN J. Mo’ong Santoso Pribadi mengikuti jalur yang berbeda dengan Ariel. “Sejak awal saya tidak pernah terpikir akan tinggal di Eropa,” tutur Mo’ong. Ia meniti karier di Yogyakarta sebagai komposer dan menata musik produksi teater. Mo’ong melihat posisi berkesenian di Yogyakarta itu membuat akses jaringan lebih mudah karena banyaknya seniman dan kurator internasional yang datang ke Yogyakarta. “Saya bertemu dengan seniman dari Eropa, kemudian membuat proyek-proyek bersama,” katanya.
Ia bisa tampil di sejumlah acara musik di Eropa. Sosoknya mulai muncul dan diperhitungkan di kancah musik dunia pada 2015. Saat itu Mo’ong terpilih sebagai salah satu Young Emerging Composers pada IRC+ (International Rostrum of Composers) di bawah naungan UNESCO. Pada saat itu karyanya sempat disiarkan di lebih dari 30 negara.
Perjalanan bermusik Mo’ong berawal dari menekuni musik klasik Barat. Mula-mula ia mempelajari gitar klasik, kemudian berfokus pada kontrabas. Namun hal ini tidak memuaskan baginya. “Saya merasa saya dibentuk untuk menjadi bukan diri saya sendiri,” dia mengungkapkan. “Konsep bermain itu hilang. Kebebasan berekspresi itu hilang.”
Akhirnya ia kembali ke akar dan menekuni musik tradisional. Mo’ong menyelesaikan jenjang S-1 Jurusan Pendidikan Musik Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Selepas itu, ia kuliah S-2 di Institut Seni Indonesia Surakarta, Jawa Tengah, karena ingin berguru kepada (almarhum) Rahayu Supanggah. “Saya belajar banyak dari beliau, bagaimana menyikapi kesenian lokal itu supaya tidak menjadi sebuah obyek semata,” ujar Mo’ong.
Salah satu praktik Mo’ong dalam bereksplorasi dan bermain ia wujudkan pada 2015 melalui proyek yang dinamai Limbah Berbunyi. Ia membangun alat-alat musik dari materi-materi bekas dan sampah. Mo’ong lalu mengembangkan pendekatan Limbah Berbunyi sesudah ia pindah dan bermukim di Lituania. Ia berhasil memperoleh kesempatan residensi di Nida Art Colony dengan didanai oleh Helsinki International Artists’ Program dari Finlandia dan diluncurkan di Riga Art Biennale di Latvia. “Project ini bernama Power of Tools, yang bertujuan membangun metode alternatif untuk edukasi, tapi dari perspektif seniman kontemporer,” Mo’ong menjelaskan.
Saat bersamaan, Mo’ong tetap bermusik di bawah payung Raja Kirik bersama komposer Yennu Ariendra yang tinggal di Yogyakarta. Mereka mengeksplorasi tema-tema dekolonisasi dengan budaya lokal yang dibawa ke ranah global. Ini tecermin antara lain dalam album pertama mereka, Jaranan Buto, dan Rampogan, album kedua yang merefleksikan adu manusia dengan harimau di Kerajaan Mataram selama periode penjajahan.
Produksi terbaru Raja Kirik akan mengusung tema “Jawa War,” tepatnya perang Diponegoro melawan Belanda pada 1825-1830. “Ini bukan album ketiga, melainkan sebuah album spesial yang lebih ke arah pertunjukan. Intinya kami mengkritik penjajahan Belanda dan sistem feodal dalam masyarakat kita sendiri.”
Kini Mo’ong menawarkan pembacaan terhadap persoalan-persoalan pascakolonialisme, dekolonialisme, diaspora, dan pascamigran dengan perspektif yang khas sebagai pegiat seni asal Indonesia yang tinggal di Eropa. “Sekarang saya tinggal dan menetap di Vilnius ini karena pandemi,” Mo’ong menambahkan.
Indrė, istri Mo’ong yang memiliki latar di bidang seni tari, berasal dari Lituania. Mereka bertemu ketika Indrė mengikuti program beasiswa Darmasiswa dan kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Setelah menikah, keluarga baru ini tetap tinggal di Yogyakarta. Pada akhir 2019 hingga musim semi 2020, Raja Kirik dijadwalkan tur konser di sejumlah kota di Eropa. Mo’ong beserta istri dan anak mereka memutuskan ke Eropa. Indrė dan anak mereka berangkat ke Vilnius dan Mo’ong ke London untuk memulai program yang sudah dijadwalkan di sana. Mo’ong pulang sebentar ke Yogyakarta, lalu kembali ke Eropa pada Januari 2020.
Sesudah itu, seperti yang kini kita tahu, pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia hingga lockdown di banyak negara. Semua rencana konser Raja Kirik di Eropa batal dan Mo’ong bertahan di Vilnius bersama keluarganya selama masa pandemi. “Saat ini saya melihat lebih relevan untuk menetap di sini dulu,” kata Mo’ong. Sejak tinggal di Vilnius, Mo’ong malah menerima lebih banyak undangan untuk tampil. Sebab, bagi para organizer festival-festival di Eropa, biaya perjalanan Mo’ong lebih terjangkau dibanding tiket pesawat dari Yogyakarta. Dalam sebuah event yang mengundang Raja Kirik, mereka hanya perlu membelikan satu tiket dari Indonesia untuk Yennu. Sedangkan Mo’ong cukup membutuhkan tiket lokal dalam kawasan Uni Eropa.
Menurut Mo’ong, Lituania menarik karena negara yang relatif baru, masih melakukan nation-building, dan memiliki isu-isu yang menarik untuk dibawa ke dalam eksplorasi berkesenian dari perspektifnya sebagai imigran. “Kalau selama ini saya sering berkarya seputar isu pascakolonialisme, di sini isunya pasca-Soviet. Berbeda dan menurutku menarik,” tuturnya.
Mo’ong merasa masih perlu mempelajari sejarah Lituania secara lebih dalam. Mo’ong melihat perbedaan antara penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia dan pendudukan Soviet di Lituania. “Budaya kita masih kuat sampai sekarang karena Belanda sebenarnya hanya tertarik memeras sumber daya (alam) kita. Beda dengan Soviet, yang secara sistematis berusaha menghancurkan budaya Lituania, termasuk bahasanya.”
Sebenarnya sudah banyak ide yang muncul, tapi ia tidak ingin gegabah mengingat dirinya bukan orang asli Lituania. “Saya kan agak hati-hati, harus lebih mendalami dulu,” dia menjelaskan. Ia tetap memegang mimpi untuk menghasilkan karya-karya dari sudut pandang orang Indonesia yang tinggal di Lituania. Dia berharap dalam waktu dekat akan ada waktu yang lebih leluasa untuk melakukan hal ini.
•••
ARIEL dan Mo’ong, dengan membawa nama RANGKA, sudah tampil dalam tiga kesempatan di Eropa. Kesempatan pertama datang pada Desember 2022 dalam rangkaian acara Kompresone di Ideas Block, Vilnius, Lituania. Penampilan kedua RANGKA mereka bawakan di Aleste Gallery di Porto, Portugal, pada Maret lalu. Penampilan ketiga mereka bawakan pada Sabtu-Ahad, 1-2 April lalu, di Arkaoda, Berlin.
Menurut Mo’ong, musik eksperimental yang mereka hasilkan bersama bersifat teatrikal. Hal ini tentu tidak lepas dari latar belakang pengalaman Ariel dan Mo’ong dalam menata musik untuk pertunjukan teater. “Bagaimana RANGKA akan berkembang ke depan, ya, kami biarkan mengalir saja,” tuturnya. Hal ini tergantung pada bagaimana mereka mengalami dan menyikapi kehidupan berkesenian pascamigran ini.
Mereka juga tetap menggelar proyek berkesenian masing-masing dan kadang berkolaborasi, tapi di luar konteks RANGKA. Saat ini Mo’ong sedang menyiapkan sejumlah proyek seni, termasuk kolaborasi lanjutan dengan meLê, sambil terus mengolah pertarungan narasi pascakolonialisme bersama Raja Kirik.
Sementara itu, Ariel sedang berada di Indonesia selama enam minggu untuk menelusuri jejak-jejak darah Yahudi dalam keluarganya sendiri, khususnya dari ayah yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Ariel memperoleh dana untuk penelitian ini dari pemerintah Jerman. “Idenya bermula saat Documenta 15. Pada saat itu saya tersadar bahwa sebagai orang Indonesia saya belum tahu banyak tentang komunitas Yahudi. Pada saat yang sama, saya sudah beberapa kali mendengar bahwa di keluarga besar ada kemungkinan memiliki darah campuran Yahudi. Saya ingin menggali ini,” ucap Ariel.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo