Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Format tontonan web series makin disukai pemirsa.
Web series bisa ditonton di mana pun dan kapan pun, jumlah episodenya tak sebanyak sinetron.
Selain Layangan Putus, setidaknya ada 100 web series lokal tayang tahun lalu.
ARIS, Kinan, dan Lidya. Belakangan, siapa yang tak kenal nama-nama ini? Ketiganya adalah tokoh fiksi dalam serial web (web series) “Layangan Putus” yang hadir di platform over-the-top We TV. Kisahnya berpusat pada konflik rumah tangga: Aris yang sudah menikah dan mempunyai anak dengan Kinan berselingkuh dengan Lidya. Plot yang sederhana. Menjadi menarik karena saking ngetop-nya tayangan 10 episode itu, linimasa sempat penuh oleh narasi tentang “Layangan Putus”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Media sosial tak hanya berisi sumpah serapah atas kelakuan Aris, tapi juga meme jenaka berisi pelesetan kalimat-kalimat ikonik Kinan. Bejibun juga video parodi dari warganet yang memelintir fragmen di “Layangan Putus”. Tiba-tiba saja ketiga karakter ini menjadi tokoh penting yang tak boleh dilewatkan. Adegan yang paling dieksploitasi warganet untuk meme adalah saat tokoh Kinan (diperankan Putri Marino) membongkar perselingkuhan suaminya, Aris (Reza Rahadian), dengan Lidya (Anya Geraldine). “It’s my dream, Mas! Not hers!”, kalimat Kinan itu amat deras menghujani dunia maya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akun media sosial yang membahas keuangan pun ikut-ikutan membicarakan urusan rumah tangga Aris dan Kinan. Begitu pun akun psikologi membahas aspek kesehatan jiwa tokoh-tokoh “Layangan Putus”. Tak hanya menjadi sumber hiburan, adegan epik Kinan dan Aris juga digubah untuk konten promosi dan jualan. Tak sedikit juga bahasannya menjurus serius, hingga ke persoalan pajak yang harus dibayar Aris perihal penthouse yang ia beli untuk selingkuhannya. Berbagai kegilaan itu membuat tagar dan percakapan tentang “Layangan Putus” lama merajai daftar trending topic di media sosial. Jumlah penonton serial arahan sutradara Benni Setiawan ini pun diklaim We TV mencapai 15 juta dalam sehari penayangannya.
Dalam tiap episode, fantasi dan emosi penonton dikelola untuk berpihak kepada tokoh protagonis. Hitam-putih penokohan ini sebenarnya formula lama yang kerap kita jumpai di sinetron televisi. Ada Kinan, ibu rumah tangga yang lurus-lurus saja hidupnya. Oh, tentu penonton “Layangan Putus” amat bersimpati kepadanya. Sementara itu, Aris adalah sosok suami yang bisa jadi ditakuti oleh kebanyakan istri: ia sempurna di rumah, kariernya mengkilat, tapi ternyata berkhianat. Sedangkan sosok Lidya merekam segala stereotip perempuan simpanan: cantik, gairahnya semacam terus menyala, dan yang pasti mudah saja menjadi racun yang membuat penonton geregetan dan banyak mengumpat.
Pendekatan itu pasti tak asing, terlebih menilik latar belakang “Layangan Putus” yang berangkat dari kisah nyata penulisnya. Sebelum diangkat menjadi serial web, cerita yang ditulis Eka Nur Prasetyawati alias Mommy ASF ini sudah populer di media sosial. Namun, sayangnya, lini naskah versi serial webnya kurang digali lebih dalam. Walau disokong akting gaspol dari Putri Marino dan Reza Rahadian, ada sejumlah hal yang mengganggu karena belum terjawab hingga episode terakhir.
Misalnya tak ada pendalaman cerita untuk menjelaskan alasan perselingkuhan Aris secara utuh. Ini yang kemudian membuat jalan cerita berujung klise. Pada akhirnya pilihan untuk meninggalkan penjelasan-penjelasan itu justru mengikis kompleksitas problem relasi dalam perselingkuhan. Sementara pihak lelaki berakhir sebagai si hidung belang saja, ada stigma lain yang dilanggengkan: perseteruan antarperempuan, glorifikasi maskulinitas, dan sosok perempuan yang dependen—tak mampu melepaskan relasinya dari lelaki karena sejumlah alasan.
•••
SEBELUM “Layangan Putus” membubung tinggi, sejumlah serial web lokal beberapa kali menjadi obyek pembahasan warganet. Di antaranya tayang di YouTube, tapi ada pula yang langsung menjamah platform over-the-top. Misalnya “My Lecturer, My Husband”, “Little Mom”, “Antares”, “Hitam”, “Sianida”, dan “Imperfect the Series". Untuk yang terakhir, itu berangkat dari film bertajuk sama yang lebih dulu tayang di bioskop. Walau genre romansa lebih dominan, tak sedikit yang memilih komedi, thriller, juga misteri.
Serial web adalah versi episodik dari cerita yang tayang di platform dalam format video. Hal ini menjadi fenomena setelah sejumlah platform, seperti VIU, GoPlay, Klik Film, dan We TV, merilis serial web lokal dengan tema-tema segar yang lebih relevan dengan keseharian. Mereka membaca kecenderungan pemirsa muda yang mulai meninggalkan televisi karena kebiasaan dan sikap kritis akan konten yang diasup. Tahun lalu saja sedikitnya ada seratus serial web yang dirilis di YouTube dan platform over-the-top.
Pelangga tengah menikmati layanan tv berbayar di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Gawai dan Internet tak hanya menjadi sarana untuk mengonsumsi produk hiburan, tapi juga untuk memproduksinya. Menurut dosen studi film di Universitas Multimedia Nusantara, Umi Lestari, ada kesadaran bahwa karya serial web bisa ditonton di mana saja, baik di layar kecil maupun besar. Format ini seperti kudapan yang bisa dinikmati kapan saja, baik di dalam transportasi umum, saat menunggu ojek online, maupun saat senggang. “Alasan ini terkait dengan perkembangan teknologi. Ditambah mobilitas masyarakat yang makin tinggi,” ujarnya, Jumat, 28 Januari lalu.
Pandemi tentu saja membawa pengaruh dalam popularitas serial web. Sebab, banyak pemirsa yang memilih platform over-the-top sebagai alternatif saluran menonton. Para penonton ini tak hanya terbiasa menonton kapan pun di layar gawai kecil. Faktor lain yang ikut andil dalam tersohornya serial web adalah jumlah episodenya yang lebih ringkas. Jauh beda ketimbang sinetron Indonesia yang bisa mencapai ribuan episode. Sejauh ini, “Tukang Ojek Pengkolan” menjadi sinetron terpanjang di Indonesia dengan jumlah episode lebih dari 3.000.
Namun, dalam sejumlah hal teknis, format serial web dan sinetron disebut Umi cenderung mirip. Misalnya, dalam drama romansa, banyak teknik close up yang dipakai untuk membikin penonton mudah larut dan terharu. “Bedanya, saat menonton sinetron, kita mesti menyesuaikan jadwalnya di televisi. Tapi, untuk serial web, kita bisa mengatur sendiri kapan akan menontonnya. Tak jarang juga orang yang biasa menonton semua episode serial web dalam semalam,” kata Umi. Ini seperti revolusi dalam melahap konten hiburan. “Kalau merasa ceritanya klise, kita juga bisa ambil kendali dengan mempercepat laju filmnya, he-he-he...,” Umi menambahkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo