Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti Institut Teknologi Bandung berhasil mengembangkan bensin dari minyak sawit yang memiliki bilangan oktan di atas 100.
Bensa dihasilkan dari proses perengkahan atau reaksi pemotongan molekul senyawa berdasarkan rumus kimianya dengan bantuan katalis.
Katalis yang dipakai berbasis zeolit yang dinamakan Katalis Merah Putih.
DUA mobil hatchback alias sedan tanpa ekor dengan tangki bahan bakar terisi penuh bersiap menempuh rute Kudus-Bandung. Delapan peneliti tim Pusat Rekayasa Katalisis Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menumpang mobil itu hendak menjajal bahan bakar buatan mereka pada Rabu, 12 Januari lalu. Bensa, nama bahan bakar itu, berasal dari minyak sawit. “Tak ada kendala selama perjalanan. Seperti memakai bensin fosil saja,” kata Melia Laniwati Gunawan, salah satu peneliti, Selasa, 18 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang Kota Bandung, lampu indikator bahan bakar di speedometer menyala. Tak khawatir, tim menepi ke stasiun pengisian bahan bakar umum di area istirahat jalan tol untuk mengisi tangki dengan bensin. Tak ada masalah mencampur bensa yang terbuat dari minyak sawit dengan bensin yang berasal dari nafta—bensin berat hasil distilasi minyak bumi pada suhu 70-140 derajat Celsius. “Yang dipakai kemarin bensa 93,” ujar Melia. Bensa 93 adalah campuran bensa yang memiliki bilangan oktan (RON) 105-112 dengan nafta yang mempunyai RON 70-80.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uji kendaraan memakai bensa itu juga mereka lakukan bersama Divisi Keteknikan PT Pura Barutama di Kudus, Jawa Tengah, sehari sebelumnya. Bensa diujicobakan pada sebuah sepeda motor dan mobil. Penelitian bensa masuk daftar program strategis nasional di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Demonstrasi pada Selasa, 11 Januari lalu, itu sedianya akan disaksikan Menteri Energi Arifin Tasrif, tapi dia batal hadir. “Kami bisa mengabarkan bahwa bensa sudah bisa diproduksi,” tutur Melia.
Dalam serangkaian uji coba sebelumnya, tim peneliti tidak mengubah kondisi kendaraan. Di skala laboratorium, bensa telah diuji dengan sepeda motor pada 2019. Kemudian pada medio 2021 seorang anggota tim menguji bensa dengan mobilnya yang menempuh perjalanan Kudus-Bandung. Tim menyamakan senyawa kimia penyusun bensa dengan bensin fosil sehingga saat dibakar hasilnya serupa. Perbedaannya ada pada gas buang. “Karena dari minyak sawit, tidak ada sulfurnya,” ucap Melia.
Pengajar pada Kelompok Keahlian Teknologi Reaksi Kimia dan Katalisis Fakultas Teknologi Industri ITB itu menjelaskan, bahan baku bensa adalah minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang diolah menjadi minyak sawit industrial (IVO). Pengolahan CPO menjadi IVO, kata Melia, tidak selengkap pengolahan minyak goreng. Sebagai bahan pangan, minyak goreng diperoleh dari pembersihan CPO melalui tiga tahap: refining untuk menghilangkan getah, bleaching untuk menghilangkan warna, dan deodorizing untuk menghilangkan bau. Hasilnya dinamai refined bleached deodorized palm oil.
•••
RISET bensa dimulai pada 1982, tapi kemudian dihentikan karena tidak ada yang mendanai. Salah satu peneliti awal bensa adalah Subagjo, yang kini memimpin tim riset. “Beliau melakukan penelitian, namanya perengkahan stearin,” tutur Melia Laniwati Gunawan. Stearin adalah gliserida dari asam stearat. Tim riset bensa ini kolaborasi Pusat Rekayasa Katalisis ITB, Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalis ITB, serta Program Studi Teknik Bioenergi dan Kemurgi ITB.
Perengkahan adalah reaksi memotong-motong molekul senyawa berdasarkan rumus kimianya dengan bantuan katalis. “Kunci untuk semua reaksi kimia adalah katalis,” kata Melia. Zat kimia itu berfungsi mempercepat dan mengarahkan reaksi kimia. Dengan katalis dan kondisi proses yang berbeda, dari minyak sawit bersih bisa dihasilkan bahan bakar diesel biohidrokarbon dan bioavtur untuk pesawat.
Hasil riset sejak 1982 (dari kiri) IVO (industrial vegetable oil), katalis, dan bensin sawit. (Dok.Tim)
Saat diwawancarai Tempo pada 1985, Subagjo menjelaskan bahwa dalam percobaan tim menggunakan katalis berbasis zeolit—senyawa kimia kelompok alumino silikat terhidrasi dengan unsur utama terdiri atas kation natrium, kalium, dan barium—alam yang diambil dari Bayah, Lebak, Banten; dan zeolit komersial (sintetis). Hasilnya, menurut Subagjo, dibandingkan dengan zeolit komersial, zeolit alam mengandung lebih banyak kelemahan, misalnya terlalu besar kemungkinan terbentuk karbon.
Sejak 2005, penelitian tim katalis di ITB mulai berorientasi pada industri. Berduet dengan tim Research and Technology Innovation PT Pertamina, mereka melahirkan Katalis Merah Putih pada 2011. Katalis itu, menurut Melia, digunakan untuk membersihkan belerang dan nitrogen dalam nafta. Uji pemakaian katalis dilakukan di kilang Pertamina di Dumai, Riau. “Pengujian bagus, bahkan lebih baik dari katalis impor,” ujar Melia. Katalis itu kini dipakai di hampir semua kilang Pertamina dan Trans-Pacific Petrochemical di Indonesia.
Katalis Merah Putih perdana yang dibuat dan dipakai oleh Pertamina bervolume lebih dari 200 ton. “Setelah itu kami punya kepercayaan diri, ternyata hasil penelitian bisa sampai komersial,” ucap Melia. Lanjutan kerja sama itu melahirkan katalis-katalis lain. Pada 2020 resmi dipopulerkan katalis untuk mengonversi minyak sawit bersih menjadi bahan bakar diesel biohidrokarbon, lalu pada 2021 untuk bioavtur yang telah dipakai dalam uji terbang.
•••
BARU pada 2016 inovasi bensa bangkit dari “lembah kematian”. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyokong biaya riset bensa setelah proposal tim lolos seleksi Grant Riset Sawit. “Totalnya bisa lebih dari Rp 10 miliar,” kata Melia Linawati Gunawan. Sejauh ini tim belum bisa mengungkap rinci katalis dan pembuatan bensa karena hasil riset sedang dalam proses pendaftaran hak atas kekayaan intelektual.
Kepala Divisi Program Pelayanan BPDPKS Arfie Thahar menerangkan, setiap tahun sejak 2015 pihaknya membuka pendaftaran proposal riset sawit untuk didanai. Pada 2021, ada 400-an proposal yang diajukan. Namun hanya 25 topik yang lulus seleksi komite penelitian dan pengembangan BPDPKS. Badan itu mengutamakan riset sawit yang hasilnya bisa segera diterapkan, seperti bensa. “Kita danai riset yang potensi pemanfaatannya besar,” ujar Arfie, Senin, 17 Januari lalu.
Tim memulai riset bensa dari pembuatan katalisnya di laboratorium yang berada di Gedung Laboratorium Teknik X ITB. Dari skala kecil, katalis dalam ukuran gram, bensa yang dihasilkan cuma beberapa mililiter. Pada 2019, tim merancang dan membangun reaktor berkapasitas 0,5 liter bensin biohidrokarbon per jam. Setelah itu, tim merencanakan produksi ke skala yang lebih besar. Reaktornya bisa mengolah 1.000 liter IVO per hari dengan hasil bensa 400-500 liter.
Kini, bekerja sama dengan PT Energy Management Indonesia, tim riset bensa merancang konsep pabrik yang lebih besar. Produksi katalis untuk bensa dilakukan di ITB. Dalam sekali produksi dihasilkan 40-50 kilogram bensa. Adapun untuk mengolah CPO menjadi IVO, dibangun pabrik dengan kerja sama PT Kemurgi Indonesia, Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia, dan PT Pura Barutama serta dukungan Pemerintah Kabupaten Musi Bayuasin, Sumatera Selatan. Kapasitas pabrik itu 6-7 ton per jam.
Menurut Arfie, produksi bensa hendak memanfaatkan tandan buah segar dari kebun rakyat. Caranya: membuat minyak sawit di pabrik-pabrik berskala kecil di sentra perkebunan sawit dari Aceh hingga Lampung, dari Kalimantan sampai Papua. “Artinya, mereka bisa punya pabrik sendiri, misalnya dengan kapasitas 5 ton per hari,” katanya. Ihwal harga jual bensa, nilai ekonominya masih dihitung oleh tim riset. “Kita ingin harganya tidak terlalu tinggi dari bensin yang ada,” ucap Melia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo