Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Membela Mereka yang Berbeda

Catatan pengalaman Ahmad Najib Burhani dalam membela Ahmadiyah. Menyodorkan empat argumen pembelaan terhadap kaum minoritas.

4 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kaum minoritas agama merupakan pokok soal yang diungkai Ahmad Najib Burhani dalam buku ini. Minoritas memiliki spektrum makna yang luas dan kelompok yang beragam. Lazimnya, minoritas dimaknai secara numerik atau berdasarkan posisi. Memaknai minoritas semata berdasarkan jumlah tentu tidak memadai. Karena itu, Najib memaknai minoritas sebagai “mereka yang secara objektif mengalami disadvantages dalam masyarakat”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penggunaan istilah minoritas boleh jadi meneguhkan polarisasi yang rentan dipakai bagi misi tertentu. Sebaliknya, keengganan menggunakan istilah minoritas bisa menutupi adanya praktik diskriminasi atau menganggap seakan-akan sama sekali tak ada persoalan. Menurut Najib, kalangan minoritas merupakan fakta yang patut dibela karena mereka kerap tak mampu melakukannya sendiri. Karena itu, atas saran Pendeta Martin Sinaga, Najib memberi bukunya tajuk Menemani Minoritas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Najib, pembelaan terhadap kaum minoritas bisa didasarkan pada posisi mereka yang “tertindas, mengalami minorisasi, marjinalisasi dan terdiskriminasi”. Secara rinci, ia menyodorkan empat argumen pembelaan terhadap minoritas. Pertama, memberikan keseimbangan wacana yang selama ini didominasi kalangan mayoritas. Kedua, secara psikologis, minoritas senantiasa dalam tekanan. Ketiga, kebajikan dan panggilan keagamaan agar menyayangi minoritas. Keempat, bobot demokrasi ditakar dari perlindungan terhadap kaum minoritas. 

Munculnya kaum minoritas agama di Indonesia tak lepas dari ketentuan tentang “agama resmi” yang diakui pemerintah. Di luar enam “agama resmi” itu, berkembang agama asli antara lain Ugamo Malim, Kaharingan, dan Sunda Wiwitan, serta gerakan agama baru seperti Lia Eden, Gafatar, dan Brahma Kumaris. Menurut Najib, perlindungan terhadap kaum minoritas agama masih berhadapan dengan problem ideologis, yakni pemaknaan sila pertama Pancasila yang cenderung bias monoteis, makna “agama” yang cenderung diskriminatif, dan pemihakan pemerintah pada pemahaman agama yang ortodoks.  

Kendati sejumlah kalangan minoritas agama disinggung dalam buku ini, agaknya Ahmadiyah menempati porsi utama. Hal ini tak bisa dilepaskan dari studi doktoral Najib ataupun keterlibatannya dalam membela kalangan Ahmadi. Ia mencatat, kontroversi Ahmadiyah yang dulu hanya terjadi dalam tataran wacana kini berubah menjadi kekerasan fisik. Penye-babnya, fatwa Majelis Ula-ma Indonesia menyebutkan Ahmadiyah telah menodai agama.   

Lewat observasi langsung, Najib menjernihkan prasangka yang keliru terhadap kalangan Ahmadi. Ihwal Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi tanpa syariat, misalnya, ia menjelaskan bahwa syariatnya persis seperti yang dijalankan Nabi Muhammad. Lalu kitab suci kaum Ahmadi adalah Al-Quran, sementara Tazkirah merupakan kumpulan wahyu, ilham, dan ketetapan dari Mirza. Adapun Qadian adalah tempat penziarahan, bukan tujuan menunaikan ibadah haji Ahmadi. Najib tak menyebut Ahmadiyah sebagai “sesat”, tapi distingtif atau unik. 

Membela Mereka yang Berbeda/twitter.com/najibburhani

Semestinya, menurut Najib, negara tak mengurusi perkara teologi, tapi bertugas melindungi segenap warga negara dalam menjalankan ritual menurut keyakinan masing-masing. Dalam kesaksiannya pada sidang keenam judicial review terhadap Undang-Undang Pencegahan dan Penodaan Agama, 7 November 2017, Najib menyatakan perbedaan dalam penafsiran ajaran agama tidak bisa dimaknai sebagai penodaan. Jika hal ini dilakukan, pemeluk agama lain bisa menjadi korban undang-undang tersebut.     

Mengingat buku ini lebih sebagai catatan pengalaman Najib dalam melakukan pembelaan terhadap Ahmadiyah, pembaca tak banyak menemukan elaborasi konseptual tentang minoritas agama. Dalam wawancaranya, Najib mengaku menggunakan konsep homo sacer dari filsuf Italia, Giorgio Agamben, dalam melihat Ahmadiyah, tapi kurang kentara bagaimana konsep itu mewarnai analisisnya dalam buku ini. 

Selain itu, buku ini kurang diperkaya dengan analisis ekonomi-politik agar terhindar dari pandangan yang kelewat normatif. Berkelindannya kepentingan ekonomi dan hasrat politik bisa membantu melihat bekerjanya faktor struktural dalam perlakuan terhadap kalangan minoritas. Terlepas dari beberapa catatan, pesan buku ini memiliki resonansi yang kuat bahwa minoritas mesti dibela karena pembelaan itu menunjukkan esensi kemanusiaan kita. 

BUDI IRAWANTO, PENELITI TAMU PADA ISEAS-YUSOF ISHAK INSTITUTE, SINGAPURA.  

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus