Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

White Stone Dan Silat Madura

Hari Ghulur menyuguhkan tari White Stone. Memadukan ekspresi emosional pesilat dan penari, mendekonstruksi stigma “kerasnya” orang Madura.

4 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA bising mirip deru mesin pemotong batu memecah keheningan Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, yang gelap-gulita pada Ahad malam, 28 April lalu. Setelah beberapa menit, suara tak berirama itu berhenti, bersamaan dengan nyala lampu yang mengguyurkan cahaya kuning pucat ke tubuh enam penari yang berdiri tegap mematung. Dalam senyap, dua penari lelaki dan empat penari perempuan berkostum serba hitam itu berjalan pelan ke tengah arena membentuk formasi bertumpuk dalam posisi tengkurap. Setelah penari di posisi paling bawah berupaya membebaskan diri, formasi itu pun terberai. Mereka jatuh berguling-guling.

Sejak itu, kegaduhan kembali tercipta. Namun sumbernya bukan musik pengiring seperti dalam pembuka, melainkan dengus napas dan entakan kaki para penari yang bergerak acak memperagakan bermacam jurus silat yang telah terdistorsi oleh metode sang koreografer, Hari Ghulur, seniman tari asal Madura yang mendirikan Sawung Dance Studio pada 2012.

Enam penari muda itu juga menampilkan berbagai gerak bebas sekuat tenaga yang sekilas tampak spontan dan diulang-ulang dalam tempo cepat. Selama sekitar 40 menit, karya yang menguras keringat tersebut sama sekali tanpa musik pengiring kecuali suara bising mirip mesin pemotong batu.

TEMPO/Dinda Leo

Ide koreografi White Stone muncul saat Hari Ghulur mengikuti International Choreography Residency (ICR) American Dance Festival di Durham, North Carolina, Amerika Serikat, pada Juli 2018. Selama dua bulan residensi di ICR, alumnus jurusan sendratari Universitas Negeri Surabaya itu mendapatkan banyak ilmu seputar metode penciptaan karya. Hari tertantang untuk mengaplikasikan metode-metode tersebut. “Saya ingin menjajaki hal baru. Sepulang dari Amerika, Agustus 2018, saya mulai menggarap White Stone,” kata dosen di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya, dan di program studi tari Universitas Negeri Malang itu.

Sejak kecil, Hari mempelajari belasan jurus pencak silat Pamor asli Pamekasan, Madura. Ia pun bereksperimen menggali ekspresi-ekspresi tubuh para penarinya dari gerakan pencak silat Pamor. Awalnya, Hari sempat kesulitan mewujudkan gagasannya membuat karya menggunakan ekspresi tubuh yang baru berbasis gerakan silat Pamor. Sebab, tubuh keenam penarinya sudah “tercetak” dengan tradisi masing-masing. Meski sama-sama berstatus mahasiswa jurusan seni tari, enam penari itu memiliki latar belakang berbeda, di antaranya cheerleader dan break dancer. Hanya ada satu atlet pencak silat unggulan Jawa Timur asli Madura, yaitu M. Rusdi.

“Transisi-transisi gerakan tubuh dari penari dan pesilat itulah yang dieksplorasi dan ditampilkan dalam White Stone,” ujar Hari. Meski sebagian jurus silat itu masih tampak kental, Hari menjelaskan, gerakannya sudah terdistorsi oleh kekayaan gerak para penari, ditambah arahan dari dirinya selaku koreografer.

Ihwal pemilihan judul White Stone yang diartikan sebagai batu kapur, Hari melanjutkan, inspirasinya bersumber dari kondisi geografis Pulau Madura yang gersang dan tandus karena terdiri atas bukit kapur. Bagi Hari, batu kapur juga menjadi simbol stigma yang telanjur melekat pada orang Madura, yaitu berperangai keras. “Kerasnya orang Madura itu dalam etos kerja, dalam meraih prestasi. Seperti batu kapur, keras tapi mudah dibentuk, ditata menjadi dinding-dinding rumah di Madura,” ucap Hari.

Meski berangkat dari nilai filosofis batu kapur dan kehidupan orang Madura, Hari tidak berniat menjadikan White Stone sebagai karya yang mengusung hal-ihwal Madura. Karena itu, dia sengaja tidak membuat narasi atau menyusun koreografinya berdasarkan bangunan cerita. “Biar narasi itu tercipta dengan sendirinya lewat eksplorasi gerak tubuh para penari. White Stone tidak lagi bicara soal bentuk, tapi lebih pada penekanan emosional dan impresifnya,” katanya.  

DINDA LEO LISTY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus