Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran bersama karya seni grafis berukuran mungil bertajuk Miracle at Jogja Gallery.
Pameran yang berlangsung di Jogja Gallery digelar oleh Miracle Prints.
Melibatkan para seniman dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara.
SENIMAN grafis Syahrizal Pahlevi memboyong studio tempat pembuatan karya grafisnya ke sudut ruang pamer Jogja Gallery di Jalan Pekapalan, Alun-alun Utara, Yogyakarta. Lembar-lembar karya seni grafis berwarna hitam, cokelat, dan merah yang dibuat menggunakan teknik cetak itu memenuhi sebagian dinding dan lantai sudut ruang. Sebagian lagi dibiarkan menggantung membentuk tirai sebuah ruang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas meja kayu kecil, peralatan “tempur” sebagai perupa grafis tampak dibiarkan berserak. Ada papan tripleks, alat cukil, pewarna, kuas, juga alat cetak grafis. Noda hitam membekas pada sisi papan tripleks. Bahkan kain lap dan celemek pun tak ketinggalan menjadi atribut wajib yang turut dipamerkan. “Seni grafis memang karya saya. Sesekali saya membuka workshop pada waktu-waktu tertentu,” kata Pahlevi di sela pembukaan pameran bersama seni grafis bertajuk “Miracle at Jogja Gallery” pada Sabtu, 11 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran seni bersama ini digelar oleh Miracle Prints atau Miracle, sebuah galeri yang merangkap art shop dan studio seni cetak grafis di Yogyakarta besutan Pahlevi. Dari karya instalasi dan pertunjukan sekaligus bengkel seni grafis yang ditampilkan dalam karya Pahlevi berjudul Artist Studio itu, orang bisa membayangkan seperti apa proses membuat sebuah karya seni grafis.
Bukan hanya bengkel seni grafis Pahlevi, sembilan belas seniman yang pernah berkolaborasi dengan Miracle atau masih berpameran di Galeri Miracle diajak turut serta dalam pameran ini. Pameran bersama ini boleh dibilang memindahkan sementara aktivitas mereka ke Jogja Gallery hingga 23 Juni 2022. “Miracle enggak ada keanggotaan. Bebas saja. Yang penting mengamati. Sesekali berpameran bersama di luar Galeri Miracle,” ujar Pahlevi.
Karya pegafris Reno Megy Setiawan berjudul "Kucing-kucing" dalam program Kecil Itu Indah dalam pameran Miracle at Jogja Gallery, Jogjakarta, 11 Juni 2022. TEMPO/Pito Agustin
Latar belakang para seniman itu beragam. Di antaranya seni lukis, patung, cukil kayu, grafis cukil kayu, instalasi, mixed media, dan pertunjukan. Mereka adalah Adi Gunawan, Agung “Pekik” Hanafi, Dedy Sufriadi, Agung “Tato” Suryanto, Alie Gopal, Angga Sukma Permana, Ariswan Adhitama, Aziz Nurtox, Bonny Setiawan, Didi Kasi, Dona Prawita Arissuta, Faisal Hamidy, Hanh, Komroden Haro, Koniherawati, Meuz Prast, Reno Megy Setiawan, dan Tina Wahyuningsih.
Para seniman itu menjadikan Jogja Gallery sebagai art shop, studio, dan workshop cetak grafis di ruang utama, yang meliputi ruang tengah dan sisi utara, untuk karya mereka. Misalnya patung gendut yang memperagakan gerakan yoga karya Adi Gunawan. Juga karya mixed media pada kanvas buatan Dedy Sufriadi yang berjudul Fragmented #6. Di atas kanvas berukuran 2 x 2 meter, Dedy membuat 56 panel lukisan abstrak yang dipenuhi citraan warna cokelat.
Dalam pameran ini, Miracle menggelar program pendamping. Pameran pendamping bertajuk “Kecil Itu Indah-MIRACLE #5” itu diikuti sejumlah seniman dari berbagai daerah di Indonesia dengan syarat khusus untuk karya yang ditampilkan: harus berukuran mungil, maksimal 30 x 30 sentimeter.
Satu dari ratusan karya mungil yang tampil dalam pameran pendamping itu adalah 20 lukisan berjudul Kucing-kucing. Lukisan-lukisan mungil karya Reno Megy Setiawan itu membuat mata cukup pegal untuk melihatnya karena mesti terus melotot dalam jarak amat dekat. Sekalipun ada bantuan kaca pembesar yang digantung di kiri dan kanan papan display, ternyata tak mudah melihat jelas guratan-guratan detail lukisan dalam bingkai dengan teknik cetak saring itu. Di antara ratusan karya, lukisan Reno Megy adalah yang termungil dengan ukuran masing-masing 3 x 3 sentimeter. Lukisan-lukisan mungil itu lebih tampak seperti tempelan prangko hitam dan merah.
Karya itu berbeda dengan lukisan wajah dua maestro seni lukis, Affandi dan Basoeki Abdullah, buatan seniman Hengki. Dalam lukisan itu, Affandi dengan rambut putihnya tampak menikmati rokok dalam pipa cangklong yang mengepulkan asap. Guratan-guratan usia tuanya tergambar jelas dalam lukisan akrilik di atas tripleks itu. Begitu pun lukisan Basoeki Abdullah dengan penampilan khasnya yang memakai topi pet hitam serta setelan jas dan kemeja putih yang bagian atasnya terbuka. Meski Hengki melukisnya dalam ukuran mini, yakni 30 x 30 sentimeter, karyanya itu masih bisa dilihat dengan cukup jelas. Lukisan Hengki itu adalah karya dengan ukuran maksimal di antara ratusan karya seni rupa dalam pameran pendamping “Kecil Itu Indah” tersebut.
Perupa Yuswantoro Adi yang didapuk memberikan tanggapan atas pameran itu menyatakan frasa “Kecil Itu Indah” ada dalam buku Small Is Beautiful: Economics As If People Mattered karangan E.F. Schumacher yang terbit pada 1973. Namun, bagi Yuswantoro, karya seni yang kecil tak sebatas soal ukuran, tapi juga dituntut untuk indah dan berkualitas guna menakar nilai ekonomisnya. “Jadi kecil bukan berarti murah. Itulah keajaiban dalam berkesenian, small is miracle,” kata Yuswantoro.
Sementara itu, di lantai atas tersaji karya-karya seniman finalis dan pemenang 4th Jogja International Miniprint Biennale dari berbagai negara. Karya-karya itu dibingkai dengan materi berukuran tak lebih dari 20 x 20 sentimeter. Setidaknya ada 121 miniprint dari 85 seniman asal 34 negara yang lolos sebagai finalis. Di antaranya tujuh pemenang, yaitu seniman grafis India, Polandia, dan Taiwan. Kemudian tiga pemenang unggulan Excellent Prize dari Bangladesh, Belgia, dan Italia. Lalu seorang pemenang National Emerging Printmaker, yakni Fakri Syahroni dari Yogyakarta.
Karya peraih Excellent Prize dari Italia, Silvana Martignoni untuk program 4th Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) dalam pameran Miracle at Jogja Gallery, Jogjakarta, 11 Juni 2022. TEMPO/Pito Agustin
Fakri Syahroni membuat karya grafis berjudul One Breath yang menggambarkan seekor kerbau yang terperangkap di dalam sumur. Pemenang unggulan Excellent Prize dari India, Tarun Sharma, menampilkan karya berjudul 70 Years of Waiting for Helps. Karya Sharma itu menggambarkan sosok berpakaian serba putih yang meringkuk di lorong berpagar besi. Kedua kakinya tampak menekuk seolah-olah menunggu pertolongan. Di sampingnya berdiri sosok perempuan tua.
Adapun salah satu karya unggulan peraih Excellent Prize dari Italia, Silvana Martignoni, mengangkat tema “Its Not Their Fault”. Karya Martignoni itu menggambarkan grafis kelelawar-kelelawar yang bergelantungan di dahan pohon. Seekor kelelawar mengepakkan sayap dengan moncong terbungkus masker.
A.A. Nurjaman dalam catatan pameran menyebutkan program pameran “Miracle at Jogja Gallery” tak sekadar memindahkan karya dari Galeri Miracle ke Jogja Gallery. Pameran itu juga bertujuan menumbuhkan wacana kritis melalui karya-karya seni grafis murni. “Sudah waktunya wacana kritis tak hanya menjadi milik seni lukis, tapi juga seni grafis murni. Biar publik tahu dan bisa membedakan seni cetak dengan seni lukis,” tutur Nurjaman.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo