Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Ketika Dinas Rahasia Membuka Diri

Badan intelijen siber Inggris GCHQ menerbitkan buku sejarah resmi saat memasuki usianya yang ke-100. Mengikuti jejak MI5 dan MI6. Bagian dari upaya mendapatkan kepercayaan publik.

18 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah buku mengenai sejarah badan intelijen Inggris dan Australia terbit.

  • Apa saja yang diungkap oleh buku-buku itu?

  • Mengapa organisasi rahasia ini akhirnya membuka diri?

BADAN intelijen punya doktrin keras dan kuat tentang kerahasiaan. Dengan alasan melindungi keamanan nasional, mereka menutup peluang kebocoran informasi dan mencegahnya diketahui publik melalui cara halus persuasi atau gugatan ke pengadilan. Di Inggris, semuanya berubah setelah muncul skandal dan pengungkapan oleh media pada 1980-an.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sir Jeremy Fleming, pemimpin Markas Besar Komunikasi Pemerintah Inggris (Government Communications Headquarters/GCHQ), mengatakan sebagian besar misi badan intelijen siber ini dilakukan secara rahasia, tapi ada dorongan kuat untuk lebih transparan. “Bersikap terbuka tentang 'apa' yang kami lakukan, bahkan saat kami tidak dapat menjelaskan dengan tepat di mana fokus kami, atau bagaimana kami melakukan operasi, sangat penting untuk mempertahankan lisensi kami untuk beroperasi,” kata Fleming dalam kata pengantar Behind the Enigma: The Authorised History of GCHQ, Britain's Secret Cyber-Intelligence Agency, buku sejarah resmi GCHQ, yang genap berusia 100 tahun pada 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini buku sejarah resmi ketiga yang disusun badan intelijen Inggris. Dua lainnya adalah MI6: The History of the Secret Intelligence Service, 1909-1948 (2010) tentang badan intelijen luar negeri (SIS) atau MI6 dan The Defence of the Realm: The Authorized History of MI5 (2009) mengenai badan intelijen dalam negeri (MI5).

Kesamaan ketiga buku itu ada pada latar belakang penulisnya, yaitu akademikus yang punya rekam jejak panjang sebagai peneliti di bidang intelijen, perang, atau diplomasi. Behind Enigma ditulis John R. Ferris, profesor di departemen sejarah University of Calgary, Kanada. Buku MI6 adalah karya Keith Jeffery, profesor sejarah di Queen's University Belfast, Irlandia Utara. Adapun buku MI5 ditulis oleh Cristopher Andrews, profesor emeritus sejarah modern dan kontemporer di University of Cambridge, Inggris.

Behind The Enigma

Penerbitan buku sejarah MI6 dan MI5 memiliki semangat yang sama. Saat memberi kata pengantar, Kepala MI6 saat itu, John Sawers, menulis bahwa tujuan penerbitan buku sejarah resmi ini adalah “meningkatkan pemahaman publik tentang SIS dengan menjelaskan asal-usul dan peran kami dalam sejarah yang keras, yang dapat diakses oleh khalayak seluas mungkin tapi tidak membahayakan keamanan nasional”.

•••

JOHN R. Ferris, saat menulis Behind Enigma, mendapat akses ke ruang arsip GCHQ yang berada di akhir koridor di lantai dasar kantor GCHQ di Cheltenham, Inggris. Di balik pintu yang diamankan secara khusus itu terdapat ruangan persegi panjang yang didominasi rak-rak yang menampung ribuan kotak dokumen. Jumlah artefaknya jutaan. Dia boleh membuka sejumlah arsip penting badan siber ini.

Ferris mengakui memang ada pertanyaan mengenai independensinya saat ia menulis buku ini. Ia mempertaruhkan reputasinya. Selain itu, ucap dia, sebagian besar bahan tersebut nantinya bisa diuji oleh orang lain karena akan dibuka kepada publik melalui Badan Arsip Nasional Inggris setelah buku ini terbit, meskipun beberapa file masih ditahan dan lainnya disunting dengan berbagai variasi. “Buku ini memakan waktu sekitar empat tahun untuk penelitian dan penulisannya,” tutur Ferris dalam wawancara dengan wartawan Tempo pada Jumat, 17 Juni lalu.

Sir Jeremy Fleming, pemimpin badan intelijen siber Markas Besar Komunikasi Pemerintah Inggris (GCHQ), memberi kuliah di London, Inggris, 2021. GCHQ

GCHQ didirikan pada 1 November 1919 dan awalnya merupakan unit analisis kriptografi dalam militer. Meski berdiri di awal 1900-an, badan ini punya akar sejarah yang panjang. Ferris mengeksplorasi bagaimana intelijen dikumpulkan dan digunakan pada periode awal era Victoria. Setelah itu, intelijen ini tumbuh, berubah, dan memudar pada akhir era tersebut sebelum muncul kembali di awal Perang Dunia I.

Dalam buku setebal 831 halaman ini, Ferris menjelaskan perkembangan kriptologi di masa-masa awal sebelum Perang Dunia II dan perkembangannya kemudian. Ketika Perang Dunia II pecah, lembaga ini, yang beberapa kali berganti nama, dapat memanfaatkan teknologi dan keterampilannya untuk memecahkan sandi musuh, dari Ultra hingga Enigma, mesin sandi Jerman. Keberhasilan memecahkan sandi Enigma membuat Inggris bersama sekutunya dapat lebih cepat mengakhiri perang.

Selain membahas perkembangan intelijen sinyal (signals intelligence atau sigint) dan intelijen komunikasi (communications intelligence atau comint), buku ini mengulas asal muasal sejarah Five Eye, kerja sama badan intelijen Inggris, Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Ini adalah kemitraan intelijen sinyal paling penting dalam sejarah. Aliansi ini menjadi sorotan dan skandal global setelah konsultan keamanan Edward Snowden membocorkan operasi pengintaian Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA) dan sekutunya pada 2013.

Ruang operasi di Markas Besar Komunikasi Pemerintah Inggris (GCHQ) di Cheltenham, Gloucestershire, Inggris, November 2015. REUTERS/Ben Birchall

Bagi pembaca Indonesia, salah satu yang menarik perhatian adalah bagaimana peran intelijen sinyal dalam membantu Operasi Claret, nama sandi untuk operasi lintas batas Inggris di masa konfrontasi Indonesia-Malaysia. Ferris menulis 20 halaman mengenai topik tersebut. Ferris mengaku memberi porsi cukup besar kepada periode konfrontasi ini untuk menunjukkan bagaimana intelijen sinyal membantu Inggris pada masa krisis. Intelijen bisa membaca rencana-rencana Indonesia untuk melakukan penyusupan dan serangan ke wilayah Malaysia serta mengarahkan militer Inggris dan Malaysia guna menghentikannya.

Selain memuat kisah sukses, buku itu mengungkap skandal yang mengguncang GCHQ. Menurut Ferris, sejak kelahirannya sampai 1970, GCHQ sebenarnya masih tidak banyak diketahui. Kalaupun muncul, beritanya hanya ada di media pinggiran. Semuanya berubah sejak 1976, ketika jurnalis Duncan Campbell dan Mark Hosenball menulis tentang operasi pengintaian Inggris dan Amerika Serikat. Meski membuat masyarakat aman, operasi itu berpotensi membuat negara ini menjadi negara polisi.

Berita itu membuat risau pemerintah Inggris karena bisa mengancam keamanan dan mempermalukan sekutunya. Pemerintah kemudian mendeportasi Hosenball, jurnalis berkebangsaan Amerika. Namun laporan dua jurnalis itu malah membuat mantan ahli sinyal John Berry menawarkan cerita rinci mengenai GCHQ. Berry dan Campbell kemudian ditangkap dan diadili dengan Undang-Undang Rahasia Resmi 1911, kasus yang kemudian dikenal sebagai “ABC Affair”. Kasus itu, meski akhirnya disetop, membuat GCHQ menjadi sorotan.

Satelit komunikasi di depan Markas Besar Komunikasi Pemerintah Inggris (GCHQ) di Cheltenham, Gloucestershire, Inggris. GCHQ

GCHQ juga membetot perhatian publik saat Duncan Campbell mendapat tugas dari BBC pada 1985 untuk membuat film seri dokumenter Secret Society. Dalam film itu, Campbell mengungkap program satelit sinyal Inggris baru dengan nama sandi Zircon. Liputan itu menuduh proyek yang diniatkan untuk memantau komunikasi dari Uni Soviet tersebut disembunyikan dari pengawasan parlemen. Pemerintah kemudian meminta acara Secret Society dihentikan dan BBC mematuhinya. Namun Campbell mengungkap rincian liputannya di majalah New Statesman. Polisi lantas menggerebek rumahnya dan kantor BBC di Skotlandia pada Januari 1987. Acara BBC itu akhirnya tetap ditayangkan setahun kemudian.

Sorotan terhadap GCHQ juga muncul saat Geoffrey Prime, agen kriptografinya, terungkap sebagai mata-mata Uni Soviet setelah Prime pensiun. Selain terlibat kasus spionase, Prime diadili karena perundungan seksual terhadap anak. Dia dihukum 38 tahun penjara pada 1982.

Menurut Ferris, pada periode tersebut bukan hanya GCHQ yang menjadi sorotan karena skandal. MI5 menghadapi masalah yang sama. Agen MI5, Michael John Bettaney, ditangkap dan diadili karena memberikan dokumen rahasia kepada Uni Soviet dan menjadi agen lapangan.

Kasus lain adalah dugaan bahwa direktur MI5 saat itu, Roger Hollis, adalah mata-mata Soviet. Tuduhan itu dikemukakan jurnalis investigasi Chapman Pincher yang dituangkan dalam buku Their Trade is Treachery (1981).

Kisah Hollis ini juga menjadi bagian dari buku Peter Wright, mantan perwira dan asisten direktur MI5, Spycatcher: The Candid Autobiography of a Senior Intelligence Officer (1987). Inggris berusaha menghentikan penerbitan buku itu di Inggris dan berhasil. Tapi Wright, yang menulis buku itu bersama Paul Greengrass, menerbitkannya di Australia. Upaya Inggris meminta Australia menghentikan penerbitan buku itu tak membuahkan hasil.

Menurut Ferris, peristiwa tersebut mengakhiri kultus kerahasiaan GCHQ. Setelah sejumlah kasus tersebut, GCHQ berupaya mengubah statusnya dari organisasi rahasia menjadi seperti departemen. Keinginan itu menjadi kenyataan pada 1994, saat lahir Undang-Undang Badan Intelijen. Undang-undang itu memberikan dasar hukum bagi MI6, MI5, dan GCHQ serta menjadi dasar terbentuknya Komite Intelijen dan Keamanan yang mengawasi organisasi rahasia ini.

Jessica Garrett-Harsch, sejarawan bidang kriptologi di NSA, menilai secara keseluruhan buku Behind the Enigma memberikan sejarah GCHQ yang informatif, rinci, dan kadang menarik. Buku ini akan menjadi panduan referensi bagi mereka yang tertarik memahami lebih dalam sejarah kriptologi Inggris.

Garrett-Harsch mengingatkan bahwa pembaca harus menyadari buku Ferris ini adalah karya ilmiah yang ditulis dengan gaya sejarah tradisional. “Buku ini bukan kumpulan kisah sukses operasi GCHQ yang menarik dibaca layaknya film thriller mata-mata seperti yang diharapkan banyak orang,” ujarnya dalam Studies in Intelligence, jurnal yang diterbitkan Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA).

Dengan kata lain, jangan membayangkan Anda bisa menikmati buku itu seperti membaca kisah seru spionase dalam buku The Spy and the Traitor: The Greatest Espionage Story of the Cold War karya Ben Macintyre atau Argo: How the CIA and Hollywood Pulled Off the Most Audacious Rescue in History yang ditulis Antonio J. Méndez dan Matt Baglio. Buku The Spy mengisahkan bagaimana MI6 menangani agen gandanya, Oleg Gordievsky, dan mengeluarkannya dari Rusia saat dalam bahaya. Argo berkisah tentang operasi CIA untuk menyelamatkan staf Kedutaan Besar Amerika Serikat di Iran yang lolos dari penyanderaan pada 1979.

Buku Ferris memang banyak membahas sejarah dan transformasi GCHQ, badan intelijen siber yang kapasitasnya hanya bisa disaingi oleh NSA. Soal skandal ditulis sangat ringkas dalam lima halaman. Richard J. Aldrich dalam GCHQ: The Uncensored Story of Britain's Most Secret Intelligence Agency (2010) menulis lebih panjang tentang skandal badan itu, yakni mengenai “ABC Affair” dan kasus Geoffrey Prime masing-masing sebanyak 20 halaman dari total 666 halaman bukunya.

Prajurit Inggris saat beroperasi di Kalimantan pada masa Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Agustus 1964. Wikipedia

Menurut peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN), Diandra Megaputri Mengko, ada sejumlah perkembangan yang mendorong keterbukaan di badan intelijen yang bisa ditandai dengan penerbitan buku sejarah atau perilisan dokumen yang sudah lewat masa retensinya. Menurut dia, banyak akademikus yang kini tertarik pada kajian intelijen. Pembukaan informasi kepada publik juga bisa menimbulkan efek gentar karena membuat orang lain mengetahui kemampuan lembaga itu.

Selain itu, Diandra menambahkan, badan intelijen membuka diri agar bisa dievaluasi. “Tidak ada badan intelijen yang tidak gagal. Tapi yang penting ada proses belajar agar kegagalan tidak terulang, agar agen-agen muda tak melakukan kesalahan yang sama,” kata penulis buku Intelijen dan Kekuasaan Soeharto itu pada Jumat, 17 Juni lalu.

Selain GCHQ, badan intelijen yang menerbitkan buku sejarah resminya adalah Organisasi Intelijen Keamanan Australia (ASIO). Sejak 2015, ada tiga buku yang diterbitkan dan semuanya ditulis oleh akademikus, yakni The Spy Catchers: The Official History of ASIO, 1949-1963 (2014); The Protest Years: The Official History of ASIO, 1963-1975 (2016); dan The Secret Cold War: The Official History of ASIO 1975-1989 (2017).

Dalam pengantar The Spy Catchers disebutkan bahwa munculnya buku sejarah MI5 dan MI6 menjadi preseden bagi badan intelijen lain untuk mempublikasikan sejarahnya. Di luar itu, ada alasan lain. Sebagai organisasi rahasia, organisasi intelijen ini diwarnai banyak mitos yang berkembang dan hal itu cukup merusak. Penulisan buku itu menjadi alasan pembenar atas keberadaan mereka guna mendapatkan kepercayaan publik dan parlemen Australia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus