Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sutradara Palestina, Mohanad Yaqubi, dan filmnya.
Berfokus pada arsip dan menyusun film militan.
Film untuk menyuarakan perjuangan.
BERSAMAAN dengan penayangan film R 21 AKA Restoring Solidarity karya Mohanad Yaqubi dalam pembukaan Festival Film Internasional Madani 2023, konflik pecah di Gaza, Palestina. Hamas menyerang Israel. Hari-hari berikutnya, mereka berbalas kekerasan. Selama di Jakarta, Yaqubi gelisah. Sesegera mungkin ia menghubungi keluarganya—ayah, ibu, dan saudara-saudaranya—di kawasan Gaza.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yaqubi menempuh pendidikan sinematografi di London dan kini tinggal di Belgia. Bagi dia, film bisa menyuarakan perjuangan rakyat Palestina meraih kemerdekaan. Menurut dia, sejak kelahiran sinema, Palestina selalu dipinggirkan. Ia mencontohkan, ketika perusahaan film Lumiere Brothers pada 1889 ditugasi gereja memfilmkan Palestina, mereka menisbikan keberadaan orang Palestina. Dalam film itu dinyatakan "tanah tanpa orang-orang untuk orang-orang tanpa tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai produser, Yaqubi telah menangani beberapa film layar lebar: Infiltrators (Khaled Jarrar, 2013), Suspended Time (beberapa sutradara, 2013), Ambulance (Mohamed Jabaly, 2016), Ouroboros (Basma Sharif, 2017), Ibrahim: A Fate to Define (Lina Alabed, 2019), As I Want (Samaher Alqadi, 2021), serta Chopped (Karam Ali dan Casey Asprooth-Jackson, 2023).
Tempo mewawancarai Yaqubi di sela-sela diskusi filmnya. Matanya berkaca-kaca ketika ia mengingat beberapa potong adegan arsip video. Matanya kembali basah ketika wawancara diakhiri. “Sangat berat menjadi orang Palestina," tuturnya.
Bagaimana Anda mendapatkan arsip video dokumentasi tentang perjuangan Palestina?
Saat itu saya sedang memutar film Off Frame di Tokyo. Setelah pemutaran selesai, seseorang mendatangi saya dan bercerita tentang sederet arsip film tentang Palestina. Ada sekitar 20 film yang berada di rumah Profesor Awe Tanami. Arsip film ini tersimpan di rumahnya, tapi dia pun tak tahu asal-muasalnya. Arsip tersebut sudah teronggok sekian lama dan tak ada pengetahuan tentang film ini karena dia bukan pembuat film. Saya lalu mengambil sekitar 20 film itu, lalu saya bawa ke kantor saya di Belgia.
Setelah itu?
Saya lalu memindai, mendigitalkan, merestorasinya, membuat takarir, memberikan kredit film, dan sebagainya.
Bagaimana Profesor Tanami mendapatkan arsip ini?
Saat muda, dia bagian dari gerakan solidaritas Palestina. Tatkala dia menempuh studi PhD-nya di kota lain, rumah keluarganya kosong. Dia rela rumahnya dipakai untuk menyimpan sejumlah arsip dokumen, film, poster.
Arsip-arsip itu sangat berarti, ya?
Itu bukan hanya arsip Palestina, tapi juga arsip tentang gerakan sosial-politik dan gerakan solidaritas Jepang terhadap Palestina. Gerakan di Jepang juga banyak diserang dan kemudian hilang.
Untuk apa saja material dan arsip-arsip ini sebelumnya di Jepang?
Mereka memutar film itu, dari kelompok mahasiswa sampai serikat pekerja. Dengan format 16 milimeter, film itu mudah diputar di universitas-universitas. Memudahkan semua orang menonton dan dibawa ke desa-desa.
Berapa lama Anda mengkopi dan mendigitalkan arsip video ini?
Tiga-empat tahun, termasuk mengumpulkan uang untuk mendigitalkan, mengedit, memberi takarir, dan sebagainya.
Apa kesulitan Anda ketika melakukan digitalisasi ?
Sutradara asal Palestina Mohanad Yaqubi (kiri) saat sesi diskusi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 11 Oktober 2023. Dok.Madani International Film Festival
Kami terus dalam perjalanan mencari dan mencari arsip, memindai. Itu membuat proses lebih panjang dan sulit. Kami berusaha menyimpan ingatan agar generasi berikutnya bisa mengaksesnya.
Apakah Anda membuat film fiksi, selain dokumenter?
Saya kira tidak ada bedanya antara fiksi dan dokumenter. Sebab, film fiksi tetaplah dokumentasi tindakan atau akting. Masih menangkap apa yang terjadi dari kamera dan kemudian diedit. Seperti R 21, itu juga fiksi meski berbasis dokumenter atau dokumentasi karena konstelasi film ini tidak nyata. Sinema bagi saya adalah kemampuan mengambil situasi kini ke situasi di sana, di kemudian hari. Masa depan atau masa lampau bagian dari hari ini, bagian dari puisi, gambar dari dokumenter atau fiksi. Saya akan tetap berkomitmen di sini.
Kapan Anda meninggalkan Palestina?
Saya bekerja dan mengajar di Belgia sejak 2018. Tapi setiap tahun saya pasti pulang ke Tepi Barat, Ramallah, Gaza. Jarak tempat-tempat itu tidak jauh.
Anda kini tinggal di Eropa. Ada kendala?
(Diam sejenak) Sulit bagi kami untuk hidup di Eropa karena kami harus bersembunyi. Faktanya begitu. Seperti ketika terjadi peristiwa di Kassel, Jerman, dalam acara Documenta 15, Ruangrupa dan beberapa kolektif Indonesia diserang karena mereka memilih bersama komunitas Palestina. Dapat Anda bayangkan, jika Eropa hendak menyerang kolektif Indonesia, bagaimana dengan kami, kolektif Palestina? Kami harus menyembunyikan identitas. Orang Palestina di Jerman tidak dapat menyebutkan mereka berasal dari Palestina. Jika memakai bendera Palestina, Anda akan masuk penjara. Anda tidak bisa mengekspresikan diri sebagai orang Palestina. Banyak akademikus, seniman Palestina di Eropa menderita karena konstelasi politik lantaran mereka orang Palestina. Situasinya sangat mengerikan. Ketika Anda duduk di restoran dan memesan hammush, yang sesungguhnya dari Palestina, banyak orang Eropa berpikir itu milik Israel. Itu propaganda yang dibuat Israel. Bukan situasi yang mudah baik di Eropa maupun di Amerika Serikat.
Apa film Anda berikutnya?
Ada rencana proyek film pribadi, tentang keluarga saya. Kakek saya harus lari dari kotanya, menjadi pengungsi. Ayah saya menjadi pengungsi dan saya, anak-anak saya, juga masih menjadi pengungsi. Keluarga saya berasal dari Maroko, lari dari kolonialisme Prancis, di abad ke-18. Mereka di Palestina selama dua generasi hingga Israel mengokupasi dan kami harus lari lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sejak Kelahiran Sinema, Palestina Selalu Dipinggirkan"