Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nila Tanzil memulai gerakan Taman Bacaan Pelangi di Kampung Reo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pada 2009.
Taman Bacaan Pelangi saat ini sudah hadir di 206 sekolah dasar.
Travels Sparks Indonesia menawarkan wisata di Indonesia timur sekaligus menjadi relawan Taman Bacaan Pelangi.
PEGIAT literasi dan penulis Nila Tanzil mengenang saat dia melihat sebuah rumah berdinding warna merah jambu dengan halaman luas dan pohon rindang di Kampung Roe, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, 13 tahun lalu. Dia tanpa ragu turun dari ojek, lalu masuk ke pelataran dan mengetuk pintu rumah tersebut. Padahal ia tak mengenal siapa pun di desa kecil yang terletak di pegunungan tersebut.
Perempuan 46 tahun ini memang tengah membulatkan hati untuk membangun sebuah taman baca di desa tersebut. Dia mencari sebuah rumah atau tempat yang bersedia menjadi perpustakaan kecil. Pada saat bersamaan, dia pun sedang melobi sejumlah perusahaan percetakan di Jakarta untuk menyumbangkan buku bacaan anak.
Seorang pria asli Flores membukakan pintu dan menyambut ide pembuatan taman baca tersebut. Pria bernama Advent itu ternyata kepala sekolah yang memiliki istri seorang guru. Keduanya bekerja di Sekolah Dasar Katolik Reo—sekolah yang menjadi penyulut keprihatinan Nila terhadap pendidikan dan literasi di Indonesia timur. Tak hanya menyediakan lokasi, dia juga berkomitmen membuatkan sendiri rak buku berbahan kayu.
“Ketika melihat rumah itu, saya langsung membayangkan bagaimana nanti anak-anak Desa Roe bisa membaca buku di pelataran dan halaman rumah. Pasti menyenangkan. Dan semesta mendukung,” kata Nila saat berbincang melalui sambungan video jarak jauh, Jumat, 6 Januari lalu.
Perpustakaan pada rumah dengan kertas dinding bermotif bunga itu adalah Taman Bacaan Pelangi pertama yang berdiri pada 5 Desember 2009. Saat itu Nila berhasil mendapatkan potongan harga sehingga bisa membeli 200 eksemplar buku anak dengan harga Rp 5 juta. Nila mendapatkan beberapa jenis buku, antara lain komik, ensiklopedia, cerita rakyat, dan buku bergambar lain.
Sejak itu, saban siang puluhan anak datang dan membaca buku di lokasi tersebut. “Melihat kegembiraan yang tampak pada wajah mereka, saya makin serius pada gerakan taman bacaan ini,” ujarnya.
Nila pun berhasil mendirikan satu taman baca baru tiap bulan pada tahun pertama. Sebagian besar taman baca didirikan di desa-desa yang berdekatan dengan Kampung Reo. Dia mendapat permintaan bantuan dari orang-orang desa tersebut untuk membuat Taman Bacaan Pelangi di sana.
Saat itu, kata dia, pasokan buku bacaan anak masih sangat terbatas. Dia pun menciptakan sistem untuk merotasi koleksi buku di tiap lokasi ke lokasi lain saban tiga bulan. Harapannya, anak-anak bisa menikmati lebih banyak buku dan tak bosan. Hasrat ingin atau minat baca pun terus terpelihara.
Awal Mula Taman Bacaan Pelangi
Awalnya Nila Tanzil sebenarnya berada di Nusa Tenggara Timur karena mendapat proyek dari sebuah perusahaan. Dia harus menyelesaikan tugasnya tersebut dengan tinggal selama dua bulan di kawasan Labuan Bajo. Konsultan komunikasi ini mengambil pekerjaan tersebut karena merasa bisa bekerja sambil berlibur.
Sebagai pehobi menyelam, Nila menyediakan waktu khusus setiap akhir pekan untuk menikmati panorama bawah laut yang terkenal di Labuan Bajo. Namun dia mulai merasa bosan karena hobi tersebut perlahan menjadi rutinitas.
Salah satu perpustakaan Taman Bacaan Pelangi di Flores, Nusa Tenggara Timur. Dok. Pribadi
Nila pun memulai kegiatan baru, yaitu mengunjungi daerah perdesaan, terutama sekolah-sekolah. Salah satunya saat dia menjadi penerjemah seorang kapten kapal pesiar yang ingin membagikan donasi kebutuhan harian ke sejumlah desa, termasuk Kampung Roe. Dalam kegiatan itu, dia prihatin terhadap kondisi fisik dan minimnya fasilitas sekolah dasar di tiap lokasi tersebut.
Menurut Nila, dinding sekolah banyak yang kotor dan bercampur lumpur. Beberapa sisi bangunan tampak reot dan rentan runtuh. Sekolah pun tak memiliki meja dan kursi yang cukup untuk jumlah siswanya. Selain itu, mayoritas murid bekerja mencari kayu di hutan setelah jam sekolah.
“Beda dengan masa kecil saya yang bisa asyik baca buku ketika pulang sekolah. Saya merasa tak adil kalau mereka tak bisa merasakan apa yang saya rasakan hanya karena terlahir di wilayah yang minim akses literasi,” ucap Nila.
Hal ini juga yang membuat dia memutuskan gerakan Taman Bacaan Pelangi berfokus pada pembangunan literasi di wilayah Indonesia timur, terutama Nusa Tenggara Timur. Saat ini, kata dia, ada 206 Taman Bacaan Pelangi yang tersebar di 20 pulau. Hampir semuanya berada di Indonesia timur, seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi Tenggara. Hanya ada empat lokasi yang berada di wilayah Indonesia barat, yaitu Jambi.
Nila mengatakan, sesuai dengan penelitian USAID 2012-2015, kemampuan baca anak-anak di Indonesia masih di bawah batas standar, yaitu 60 kata per menit. Kemampuan baca di beberapa provinsi dengan tingkat literasi tinggi sebanyak 59 kata per menit. Berdasarkan data yang sama, kemampuan baca anak-anak di sebagian besar wilayah Indonesia timur bahkan hanya 29 kata per menit.
Taman Bacaan Pelangi pun pernah mengadakan tes atau sampling pada siswa kelas V sekolah dasar di sejumlah lokasi. Beberapa dari mereka bahkan mengalami kesulitan dan hanya mampu membaca 10 kata per menit.
“Itu baru soal baca. Belum lagi soal memahami apa yang dibaca. Ini sesuai dengan cerita dari para guru bahwa hasil ujian eksakta siswa di Indonesia timur itu lumayan. Tapi, kalau sudah soal cerita, mayoritas salah jawab,” tutur Nila.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sempat merilis data indeks Alibaca Nasional 2019—tingkat literasi Indonesia yang saat itu masih terbagi menjadi 34 provinsi. Hasilnya, rata-rata indeks Alibaca Nasional berada pada kategori aktivitas literasi rendah dengan angka 37,32. Indeks ini disusun dengan memperhitungkan sejumlah aspek, terutama rata-rata lama bersekolah, angka melek huruf, dan kebiasaan membaca di keluarga.
Bahkan, berdasarkan data yang sama, tak satu pun provinsi yang mengantongi angka indeks kategori literasi tinggi atau setara dengan nilai 60,01-100. Hanya sembilan provinsi dengan nilai indeks sedang atau antara 40,01 dan 60. Mayoritas provinsi masuk kategori literasi rendah dengan nilai indeks berada di antara 20,01 dan 40. Satu provinsi dengan kategori literasi sangat rendah di bawah 20 adalah Papua, dengan nilai indeks 19,90.
Persebaran nilai literasi rendah sendiri tak terjadi di satu wilayah saja. Beberapa provinsi di Pulau Jawa pun mencatatkan angka indeks Alibaca kecil, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan nilai 33,30 dan 33,19. Meski demikian, semua provinsi yang berada pada pembagian waktu Indonesia timur memang masuk kategori literasi rendah dan sangat rendah.
Kementerian Pendidikan mencatat nilai indeks Papua Barat hanya 28,25. Demikian pula Provinsi Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur dengan nilai antara 29,83 dan 33,64.
Hal ini selaras dengan indeks dimensi akses atau ketersediaan berbagai bahan literasi di lingkungan masyarakat setempat; sekolah, rumah, atau perpustakaan umum. Hanya tiga provinsi yang berada pada kategori sedang dan 16 provinsi pada kategori rendah. Sebanyak 15 provinsi lain berada pada grafik merah dengan kategori sangat rendah. Provinsi Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur memiliki indeks masing-masing 19,04 dan 16,52. Sedangkan Papua Barat hanya memiliki nilai indeks 11,94 dan Papua mempunyai nilai indeks 9,00.
Salah satu solusi untuk meningkatkan dimensi akses sebagai fondasi literasi adalah ketersediaan perpustakaan dan taman baca. Pemerintah juga menyambut positif keberadaan taman baca yang digagas masyarakat dan kelompok nonpemerintah.
Sistem Taman Baca
Seiring dengan waktu, Nila Tanzil mulai mempunyai tim hingga bisa membangun Yayasan Taman Bacaan Pelangi pada 2013. Mereka menyusun sistem agar taman baca atau perpustakaan tersebut bisa berkelanjutan. Salah satunya dengan memindahkan taman baca dari rumah penduduk ke sekolah. Pola ini lebih baik karena pengawasan serta pengelolaan buku dan tempat baca berada di bawah sekolah. Maka semua Taman Bacaan Pelangi kini berada di 206 sekolah dasar.
Status gerakan yang sudah memiliki badan hukum berupa yayasan pun memudahkan pertumbuhan taman baca. Sebagai lembaga nirlaba, mereka bisa menerima dana bantuan dari pemerintah daerah, perorangan, dan perusahaan untuk membangun perpustakaan serta membeli koleksi buku yang lebih banyak.
Nila Tanzil (tengah) di Papua. Dok. Pribadi
“Tapi kami tak mau menerima donor dari partai politik, perusahaan rokok, perusahaan tambang, perusahaan oil and gas, dan yang ada hal tertentu sesuai dengan concern kami,” ujar Nila.
Selain menerima donor, Nila mendirikan sebuah perusahaan perjalanan bernama Travel Sparks Indonesia yang seluruh keuntungannya menjadi sumber pembiayaan Taman Bacaan Pelangi. Perusahaan travel ini khusus menyediakan paket liburan di wilayah Indonesia timur, terutama sekitar lokasi Taman Bacaan Pelangi. Selain mempromosikan panorama, yayasan menawari klien-kliennya terlibat dalam pemberian edukasi di taman baca. Para klien itu bisa sekadar berbagi cerita tentang kehidupan mereka atau kemampuan khusus, seperti fotografi dan tari.
Beberapa duta besar dan guru besar dari sejumlah universitas ternama dunia pernah terdaftar sebagai pemesan paket tur tersebut. Bahkan sebagian dari mereka justru ingin menghabiskan waktu lebih banyak sebagai relawan di perpustakaan Taman Bacaan Pelangi.
Meski punya dana, Nila ternyata cukup tegas dalam memilih lokasi sekolah yang bisa menerima pembangunan perpustakaan dan sumbangan sekitar 1.250 eksemplar buku. Dia mengklaim biasa terjun langsung untuk mengumpulkan profil sekolah, kepala sekolah, dan guru di calon lokasi. Dia beberapa kali harus membatalkan rencana ketika menemukan informasi kepala sekolah dan guru tak memiliki keseriusan terhadap pengelolaan perpustakaan.
Manajemen Buku
Yayasan Taman Bacaan Pelangi tak hanya mendirikan perpustakaan dan memberi buku di sekolah-sekolah. Mereka juga memiliki program pendidikan dan pelatihan terhadap guru yang ditunjuk sebagai pengelola harian. Selain melatih cara mengelola buku, mereka membagikan pembekalan tentang manajerial baca pada anak.
Salah satunya pengelompokan buku sesuai dengan usia dan tingkat baca anak. Mereka berupaya menghindarkan anak dari pengalaman sulit dalam membaca. Maka anak dengan kemampuan kata sedikit akan diarahkan pada buku yang lebih banyak berisi gambar.
Nila juga melarang pengelola memarahi anak-anak yang datang dengan alasan apa pun. Pengelola juga tak boleh memberikan denda atau hukuman kepada anak kalau terlambat mengembalikan buku.
Menurut dia, Taman Bacaan Pelangi tak hanya memancing semangat dan minat membaca. Perpustakaan itu perlahan membentuk ekosistem baru bagi anak-anak di wilayah tersebut. Mereka mulai lebih menyukai berada lama di perpustakaan sepulang dari sekolah. Para siswa juga memiliki rasa ingin tahu besar dengan terus meminjam buku baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo