Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIRNYA, Shinichi Ise bisa memutar karyanya dalam Festival Film Dokumenter Yogyakarta di Japan Foundation, Jakarta. Melalui filmnya yang berjudul Now is the Past - My Father, Java & the Phantom Films, laki-laki 73 tahun itu ingin masyarakat Jepang bisa melihat diri mereka sendiri. Ia telaten mengikuti perjalanan obyek yang didokumentasikan demi menangkap suara yang tak terucap itu.
Lahir di Tokyo pada 1949, sineas ini adalah putra pembuat film propaganda di era perang Asia-Pasifik, Chonosuke Ise. Shinichi telah membuat banyak film dokumenter, antara lain berjudul Home, Sweet Home, film tentang keluarga Nao yang digarap selama 35 tahun; Nao Chan, yang menceritakan seorang gadis difabel; Song of Entoko, mengenai kawan Shinichi yang mengalami cerebral palsy; Katawara, yang menyorot perjuangan seorang korban tsunami; Daijoubu, tentang seorang dokter yang menangani kanker anak dan puisi-puisinya; Shiba, tentang seekor anjing yang menjadi ikon Jepang; dan Dear Friend, yang mengisahkan perjalanan Eitetsu Hayasi dengan drumnya ke semua penjuru dunia.
Shinichi selalu mendokumentasikan obyek filmnya dalam jangka waktu yang panjang, belasan hingga puluhan tahun. Tak syak karya-karya Shinichi mendapat apresiasi dan penghargaan dari komunitas film. Film Nao Chan diputar di Cinema du Reel pada 1996. Home, Sweet Home dan Nishimura Family, karyanya yang digarap hingga 35 tahun, diputar dalam festival film di Taiwan, Korea, Rumania, dan Amerika Serikat.
Sejak kapan Anda menelusuri film-film karya ayah Anda?
Lebih dari 30 tahun lalu saya membuat film tentang para sineas film yang aktif sebelum, selama, dan sesudah Perang Pasifik. Mereka adalah sineas seangkatan ayah saya. Sewaktu saya memulai syuting film independen saya berjudul Nao Chan.
Anda mengetahui ayah Anda dulu membuat film di Jawa?
Ya, saya tahu beliau juga pernah dikirim ke Indonesia selama Perang Pasifik. Waktu itu ia memproduksi film propaganda tentara Jepang di Jawa. Tapi dia hampir tidak pernah bercerita tentang masa itu kepada saya secara langsung.
Apa tugas ayah Anda?
Beliau memproduksi film propaganda sebagai usaha menyebarluaskan “Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”.
Ayah Anda sama sekali tak pernah bercerita tentang hal itu?
Dulu ayah saya pernah tiba-tiba berucap, “Upaya-upaya Jepang di Indonesia bukanlah invasi, melainkan pembebasan.” Karena itu, kami bekerja sama dengan orang-orang Indonesia. Saya sedikit-banyak masih ingat gerutuan semacam itu. Sampai saat ini masih ada orang Jepang yang berkeyakinan bahwa pendudukan Jepang di Asia itu bertujuan memerdekakan bangsa Asia. Tapi sebaliknya, saat saya berbicara dengan orang-orang Asia yang pernah mengalami masa Jepang, banyak yang belum memaafkan perlakuan Jepang pada masa itu.
Bagaimana tentang film Pengadilan Tokyo karya ayah Anda?
Pada Januari 1949, ayah saya membuat film berita berjudul Berita Khusus: Pengadilan Tokyo, Vonis Abad Ini. Film ini ditayangkan di bioskop seluruh Jepang. Film itu ditutup dengan pesan kuat tentang perdamaian, yaitu dari Pasal 9 Konstitusi Jepang yang menyatakan Jepang meninggalkan perang. Konon, rakyat Jepang yang menghendaki perdamaian sesudah perang menerima berita khusus ini dengan penuh simpati.
Bagaimana Anda mengumpulkan data dan mengambil gambar sedemikian panjang untuk film ini?
Di luar pekerjaan saya sehari-hari, saya mengunjungi Indonesia, mewawancarai orang-orang dunia perfilman yang masih ingat kepada ayah saya atau karya-karyanya pada masa pendudukan Jepang. Selain itu, saya menemukan karya ayah saya yang diarsipkan di Belanda.
Dalam adegan di film, Anda memperlihatkan relief tentara Jepang memukul orang dengan senjatanya. Mengapa Anda mengambil itu?
Ya, itu saya temukan di gedung Produksi Film Negara waktu awal-awal saya ke Indonesia. Tapi, dalam kunjungan saya berikutnya, relief itu sudah tidak ada lagi. Mungkin sudah dihilangkan, meninggalkan kesan yang menyedihkan dan kemarahan dari penyiksaan.
Dalam film, Anda juga menemukan gulungan negatif film di sana. Apakah itu negatif film yang sezaman dengan karya ayah Anda?
Saya tidak tahu, mungkin bukan, tapi saya sedih sebagai sineas melihat negatif film terbuang begitu saja. Semestinya negatif film itu tetap dipelihara. Film apa pun itu bisa menjadi arsip atau dokumentasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo