Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Kelebat Budi Darma

Hidup, dalam karya-karya Budi Darma, seakan-akan penuh perangkap dan jebakan. Semuanya harus dihadapi dan dilawan dengan kecepatan, ketangkasan, kepekaan fisik ataupun mental, dan kepasrahan.

28 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Budi Darma jarang sekali menggambarkan latar cerita secara statis.

  • Karya-karyanya sangat padat dengan peristiwa, tindakan, proses, baik yang bersifat fisik maupun mental.

  • Kekuatan Budi Darma dalam mengidentifikasi watak, kapasitas, dan kelemahan manusia selalu tergambar dalam karya-karyanya.

TAHUN 1970-an adalah tahun terjadinya eksperimentasi estetik yang luar biasa di Indonesia, yang dimungkinkan antara lain oleh semacam ekspresi kebebasan yang melimpah segera setelah masyarakat pada umumnya serta dunia sastra dan seni pada khususnya keluar dari dominasi (partai) politik di era sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentu saat itu bukan periode yang di dalamnya sastra dan seni sepenuhnya bebas dari politik. Hanya, politik pada masa awal Orde Baru tersebut cenderung lebih terpusat pada negara sehingga masyarakat sipil tidak terlibat lagi dalam konflik-konflik politik dan ideologis yang horizontal dan karena itu begitu hiruk-pikuk. Pada 1970-an itulah muncul beberapa sastrawan dari berbagai genre yang menonjol, yang menjadi pembicaraan banyak orang, yaitu Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada masa itu pula, persisnya pada 1976, saya menjadi mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seperti anggota masyarakat sastra pada umumnya, saya pun terlibat dalam berbagai perbincangan mengenai ketiga tokoh tersebut sehingga, misalnya, buat karya tulis untuk gelar sarjana muda dan tesis untuk gelar sarjana, saya memusatkan perhatian pada karya Iwan Simatupang dan beberapa kali menulis bagi media massa tentang Putu Wijaya. 

Di manakah Budi Darma? Bagi pembaca Horison, majalah sastra yang waktu itu dianggap sebagai tolok ukur bagi pelegitimasian seorang penulis sebagai sastrawan nasional, tentu Budi Darma bukan nama yang asing.

Dia terus berkelebat di sela-sela pembicaraan mengenai ketiga tokoh utama itu. Dia dikenal sebagai sastrawan yang mempunyai dunia sendiri, yang dinamakan “dunia jungkir-balik Budi Darma”, sesuai dengan judul tulisannya yang diterbitkan pada 1969.

Kritikus Adinan, nama tokoh yang menjadi judul sebuah esai panjangnya, bisa dikatakan sebagai pemeo pada masa itu. Apalagi di lingkungan Fakultas Sastra UGM. Budi Darma sebagai alumnus fakultas tersebut selalu menjadi pembicaraan dan kebanggaan, bersama W.S. Rendra dan Subagio Sastrowardoyo.

Bakdi Soemanto, salah seorang mahasiswa sekaligus dosen yang disegani, menjadi anutan, dan tempat belajar mahasiswa junior seperti saya, sangat sering membicarakan Budi Darma. Bahkan cerita-cerita pendek absurdnya terkesan mendekati cerita pendek sastrawan “jungkir-balik” kita itu.

Tapi kehadiran Budi Darma di antara mahasiswa Fakultas Sastra UGM waktu itu benar-benar antara ada dan tiada. Bukan karena begitu kuatnya pesona tokoh-tokoh 1970-an tersebut, melainkan terutama lantaran memang dia, pada saat saya menjadi mahasiswa, sudah tidak ada di kampus itu.

Bagi kami, berbicara tentang Budi Darma adalah berbicara tentang seorang bapak, kakak, sekaligus idola, yang jauh di sana, yang melintas dan melesat di pucuk-pucuk daun yang menghitam dalam kegelapan malam. Persis seperti Olenka bagi Fanton Drummond yang digambarkan dalam Olenka, novel pertama Budi Darma yang fenomenal dan segera menjadi pembicaraan publik sastra. 

Memang, kadang-kadang sang idola itu muncul di kampus ketika menghadiri, misalnya, seminar sastra yang diselenggarakan Fakultas Sastra UGM. Tapi kami hanya berani melihatnya dari jauh. Apalagi melihat penampilannya yang tampak sangat mriyayeni, kelihatan begitu sopan, halus, penuh tata krama, saleh, dan berwibawa, meskipun sekaligus terkesan ramah.

Terlebih setelah dia berhasil menempati kedudukan sebagai rektor di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surabaya, tempatnya menjadi dosen pada waktu itu. Posisi saya dan teman-teman bisa dikatakan sekadar sebagai fan. Mungkin kami pernah bertegur-sapa, tapi hanya sekadarnya dan sambil lalu.

Seperti halnya Olenka bagi “kekasih gelap”-nya itu, bagi kami, Budi Darma adalah misteri. Kami sering terheran-heran, bagaimana mungkin seseorang yang penampilan dan kehidupan nyatanya tampak begitu tertata, halus, berpengertian, penuh tenggang rasa seperti beliau, bisa menghadirkan cerita dengan susunan yang seakan-akan tidak beraturan, bergerak dengan bebas dan cepat, melompat dan melesat dari satu teks ke teks lain, dari satu peristiwa ke peristiwa lain, dan dengan tokoh-tokoh yang begitu “liar”, bebas, “kasar”, dengan keterusterangan yang ekstrem, yang dalam komunikasi keseharian di kehidupan nyata pastilah akan menyakitkan, menyinggung perasaan. Bagaimana mungkin juga, dalam cerita dengan gambaran adegan seks secara metaforis tampak begitu bebas, liar, tiba-tiba terselip ayat-ayat tertentu dari kitab suci keagamaan (Islam)?

Bagi saya, pribadi kontradiksi itu sangatlah mengganggu, mengganggu batin saya, juga pikiran atau rasa keingintahuan yang tak kunjung usai. Karena itu, meskipun hiruk-pikuk kehidupan sastra Indonesia terus terjadi, isu-isu kesastraan silih berganti, dari soal eksperimentasi estetik ke sastra kontekstual, dari sastra kontekstual ke sastra pascamodern, pascakolonial, sastra koran dan sastra digital, Boemipoetera, Salihara, sampai puisi esai, Budi Darma terus berkelebat, selalu menampakkan diri meski hanya selintas dan sekejap, seperti mengundang, mengingatkan, juga menggoda dan menagih, utang saya yang belum terlunasi, janji yang belum terpenuhi, pertanyaan yang belum dijawab.

Kalau tidak salah, pada awal 1980-an, saya pernah terlibat dalam pergaulan yang sebenarnya juga tidak terlalu lama dengan Budi Darma ketika kami menginap di Wisma Pusat Bahasa, Rawamangun, Jakarta, dalam acara pelatihan tenaga teknis akademik sastra.

Saya lupa apakah saat itu saya berposisi sebagai peserta atau pelatih. Karena terobsesi pada Kota Jakarta, yang belum terlalu saya kenal kerumitannya, saya lebih banyak berjalan-jalan sendirian, mencoba mengalami kota itu melalui bus kota. Itulah sebabnya saya tidak banyak terlibat dalam percakapan di waktu sengggang.

Namun, dalam percakapan yang pendek itu, ada kata-kata beliau yang tidak bisa saya lupakan sampai sekarang. Kata-kata yang sangat pendek: “sense of location”. Hal itu beliau sampaikan sebagai komentar atas kenekatan saya menjelajahi kerumitan lalu lintas Ibu Kota dan berhasil dengan lancar. Sejak itu, saya mengidentifikasi diri saya demikian. Setiap kali hendak “bertualang”, saya ingat beliau dan merasa mendapatkan keyakinan bahwa saya bisa. Karena saya punya “sense of location yang kuat”, seperti kata beliau.

Begitu saya mendapat berita mengenai meninggalnya Budi Darma—berpulang 21 Agustus lalu pada usia 84 tahun—kelebatnya menjadi makin sering saya lihat. Mengingat apa yang beliau katakan tentang saya, segera saya merasa mengerti kekuatan pengarang tersebut dalam mengidentifikasi watak dan kapasitas, juga kelemahan manusia. Itulah yang selalu tergambar dari karya-karyanya. Hampir semua novelnya menggunakan nama tokoh sebagai judul yang, menurut saya, menunjukkan pusat perhatiannya.

Budi Darma jarang sekali menggambarkan latar cerita secara statis, sebagai sesuatu yang ada di luar tindakan manusia, di luar peristiwa. Karya-karyanya sangat padat dengan peristiwa, tindakan, proses, baik yang bersifat fisik maupun mental. Dan tindakan-tindakan tokoh menjadi sangat mencolok ketika ditampilkan dalam ekstremitasnya, pelanggarannya terhadap ruang, terhadap tatanan.

Fokus pada peristiwa, pada proses inilah, saya kira, yang membuat tokoh-tokohnya, termasuk bahkan keseluruhan dunia karyanya, seakan-akan selalu bergerak, terus bergerak, dan sulit dijinakkan. Tapi dinamika hanya mengesan dengan kuat justru ketika ia berlangsung dalam tekanan order atau tatanan yang tidak kalah kuatnya. Seperti tekanan yang dialami oleh Kritikus Adinan. 

Hidup, dalam karya-karya Budi Darma, seakan-akan penuh perangkap dan jebakan. Tapi hal itu tidak harus membuat orang memilih diam di tempat. Semuanya harus dihadapi dan dilawan dengan kecepatan, ketangkasan, kepekaan fisik ataupun mental, juga, tampaknya, kepasrahan. Inilah, saya kira, warisan Budi Darma untuk Indonesia, Asia, dan dunia. Warisan yang sampai sekarang belum tergantikan. Budi Darma akan terus berkelebat di sekitar kita, lahiriah ataupun batiniah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus