Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Elly Kasim menghasilkan 100 lebih album lagu Minang hingga akhir hayatnya.
Hampir semua album Elly sukses di pasar.
Lazimnya penyanyi diorbitkan oleh pencipta lagu, tapi Elly justru yang mempopulerkan nama pencipta lagu-lagunya.
SEJAK awal 1960-an, nama Elly Kasim sudah berkibar di belantika musik Minang lewat lagu "Si Nona" (ciptaan Syamsul Arifin) serta "Bareh Solok" dan "Lamang Tapai" (ciptaan Nuskan Syarif). Tapi, tatkala tampil di Gedung Nasional Bukittinggi awal 1964, ia bingung ketika penonton memintanya menyanyikan sebuah lagu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, setiap Elly menyelesaikan satu lagu, penonton masih bersorak: "Tambuah, tambuah!" Mereka meminta Elly menyanyi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Mau lagu apa lagi?" katanya.
"’Bugih Lamo’!" teriak penonton.
Elly baru pertama kali mendengar judul lagu tersebut. "Lagu siapa itu?"
"Tarun, Tarun!" jawab penonton.
Akhirnya Tarun—nama lengkapnya Syahrul Tarun Yusuf—naik ke panggung atas permintaan Elly Kasim. Diiringi gitarnya, anak muda sebaya Elly itu pun melantunkan "Bugih Lamo" ciptaannya yang sebelumnya biasa dinyanyikan saat ia berkumpul dengan sesama anak muda Bukittinggi.
Elly sangat terkesan pada lagu berirama riang gembira itu. Tarun pun ia minta pindah ke Jakarta dan menciptakan lagu untuknya. Masa itu lagu-lagu Minang mulai naik daun di Ibu Kota menyusul sukses Orkes Gumarang pimpinan Asbon Madjid mengorbitkan Nurseha dengan "Ayam Den Lapeh".
Tak lama kemudian, muncullah album Elly Kasim bertajuk Bugih Lamo, disusul Tinggalah Kampuang—keduanya ciptaan Tarun—yang meledak di pasar. Pada 1996, "Bugih Lamo" meraih anugerah HDX untuk "lagu daerah sepanjang masa".
Di awal masa jayanya, kebanyakan lagu yang melambungkan nama Elly Kasim diciptakan oleh Tarun dan Masrul Mamudja. Sekitar 350 lagu ciptaan Tarun dan 300-an gubahan Masrul kebanyakan didendangkan Elly Kasim.
Dicatat pengamat musik dan pencipta lagu-lagu Minang, Dr Agusli Taher, dalam bukunya, Perjalanan Panjang Musik Minang Modern (2016), Elly Kasim adalah penyanyi yang unik. Lazimnya seorang penyanyi diorbitkan oleh pencipta lagu. Tapi Elly Kasim justru sebaliknya, dia yang mempopulerkan nama pencipta lagu-lagunya.
Agar bisa merekam banyak lagu, Elly "memarkaskan" Tarun dan Masrul di paviliun rumahnya di Jalan Kembang Pacar, Senen, Jakarta. Markas itu mereka sebut "Sarang Karya". Kedua pencipta dia minta berkompetisi membuat lagu sebanyak-banyaknya. Tapi hak memilih lagu yang akan direkam ada di tangan Elly.
Pada masa itu, setiap dua-tiga bulan Elly harus pergi ke Singapura atau Hong Kong untuk merekam suara ke piringan hitam. Sekali proses rekaman biasanya untuk empat-lima album sekaligus. Dia pernah mendapat telex dari manajernya yang sedang mempersiapkan rekaman di Singapura: "Jadwal rekaman makin dekat, minta Tarun buat lagu sebanyak-banyaknya".
"Saya pernah membuat 57 lagu hanya dalam dua minggu karena harus segera dibawa rekaman ke Singapura," kata Tarun seperti dicatat Agusli Taher. Meskipun hasil "kejar tayang", hampir semua album Elly sukses di pasar. Sebutlah "Ampun Mandeh", "Kasiah Tak Sampai", dan "Bapisah Bukannyo Bacarai" ciptaan Tarun atau "Pantai Padang" gubahan Masrul.
***
ELLY Kasim lahir dengan nama Elimar di Tiku, Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 27 September 1943. Ayahnya bernama Ali Umar dan ibu bernama Emma Effendi. Ketika Elly berusia setahun, orang tuanya berpisah. Ibunya merantau ke Pekanbaru, lalu menikah lagi dengan pria asal Minang juga, Mohammad Kasim, yang bekerja di PT Caltex Pacific Indonesia.
Elly kecil diasuh neneknya, seorang guru sekolah dasar. Masa kecilnya dihabiskan bersama sang nenek yang berpindah-pindah mengajar dari Tiku, Bukittinggi, dan Jakarta. Menurut Elly, darah seni mengalir dari ayahnya yang penggemar sandiwara. Tapi bakatnya terasah berkat asuhan pamannya, Yanuar, penggila musik yang pernah masuk sekolah biola. Di rumah mereka ada alat musik seperti biola, gitar, dan armonium. Sejak usia anak balita, Elly sudah diajar menyanyi. Pada umur 4 tahun ia telah lancar melagukan "Indonesia Subur", "Boneka", "Doa Restumu", atau "Andai Aku Pandai Bernyanyi" diiringi gitar atau biola Yanuar.
Bakatnya terus diasah sang paman sampai Elly pindah ke Jakarta mengikut neneknya. Tamat SD, Elly pindah ke Rumbai, Pekanbaru, tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Keduanya mendukung bakat Elly. Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama di Rumbai, ia sering tampil di RRI untuk menyanyi seriosa atau keroncong dan membaca puisi. Kerap menjadi juara baca puisi, pada 1958 ia terpilih menjadi Bintang Radio RRI Pekanbaru.
Meski tinggal terpisah, Yanuar tetap memperhatikan perkembangan Elly. Setiap libur Elly diajak ke Jakarta. Satu kali, pada 1959, Elly dibawa Yanuar menonton pertunjukan Orkes Gumarang di Gedung Kesenian Jakarta. Setelah menyaksikan penampilan Gumarang dengan vokalis Asbon Madjid dan Nurseha, yang sudah menjadi diva musik Minang di Jakarta, Elly pun tergila-gila untuk menjadi penyanyi lagu Minang.
Tamat sekolah menengah atas di Pekanbaru, Elly pindah ke Jakarta. Mulanya untuk kuliah di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Tapi, karena sudah kepincut berdendang, ia hanya sampai sarjana muda. Yanuar mengenalkan Elly kepada Syamsul Arifin, pemimpin Orkes Ganto Rio yang juga teman sekerjanya di Angkasa Pura. Bersama Ganto Rio, Elly mulai dikenal karena sering tampil mengisi berbagai acara. Pada 1961 itu bergabung pula dengan Ganto Rio pemusik multitalenta dari Padang, Nuskan Syarif, yang dikenal dengan julukan Si Gitar Maut—karena kehebatannya bergitar. Nuskan yang diserahi memimpin Ganto Rio—lalu mengganti nama orkesnya menjadi Kumbang Cari atas usul Elly Kasim—melihat bakat besar penyanyi muda ini dan membawanya ke dapur rekaman.
Album pertama Elly dengan dua lagu ciptaan Nuskan Syarif, "Bareh Solok" dan "Lamang Tapai", langsung meledak di pasar. Di album perdana itulah pertama kali ia menggunakan nama Elly Kasim—mengambil nama panggilannya dan nama ayah tirinya. Penggantian nama itu atas usul Nuskan karena nama asli Elly, Elimar, dianggap kurang komersial.
Setelah merilis album pertama, popularitas Elly Kasim melejit. Didukung kemampuan olah vokal dan karakter suaranya yang khas dengan cengkok (lekuk-liku) tiada banding, permintaan rekaman membanjir. Nuskan tak sanggup lagi sendiri menciptakan lagu baru. Akhirnya Elly mencarter dua pencipta lagu hebat—Tarun dan Masrul Mamudja—untuk albumnya yang dirilis nyaris setiap dua bulan.
Ada dua penyanyi Minang hebat sezaman dengan Elly Kasim, Nurseha dan Lily Syarif. Tapi hanya Elly yang bertahan. Nurseha banting setir menjadi wartawan, terakhir bekerja di majalah Detik Jakarta sampai meninggal pada usia relatif muda akibat penyakit lever pada 1984. Sedangkan Lily Syarif meninggalkan dunia musik setelah menikah dengan Abdurrahman Sayuti, kelak menjadi Gubernur Jambi selama sepuluh tahun. Tanpa pesaing, selama dua dekade hingga 1980-an, Elly Kasim bersinar sendirian sebagai artis Minang paling melegenda.
Elly Kasim tidak hanya setia berkarier dan memperkenalkan musik Minang ke seluruh Indonesia hingga Malaysia. Dia juga sukses mengelola Sanggar Tari Nasional (Sangrina) Bunda, yang ia asuh bersama Titiek Puspa. Sangrina Bunda, yang didirikan pada 1978, berjasa memperkenalkan kesenian Minangkabau dan Nusantara sampai ke mancanegara: pernah tampil di lebih dari 50 kota di 38 negara di 5 benua. Bersama suami sekaligus manajernya, Nazif Basir, Elly juga menjalankan usaha wedding organizer, yang jasanya banyak dipakai kalangan atas Jakarta sekitarnya.
Malang melintang di belantika musik Minang lebih dari 60 tahun, Rabu dinihari, 25 Agustus lalu, Elly Kasim meninggal di Rumah Sakit MMC Jakarta karena komplikasi penyakit lambung. "Kutilang Minang" yang sudah menghasilkan lebih dari 100 album solo itu telah terbang ke dunia abadi, menemui Sang Khalik, pada usia menjelang 78 tahun.
Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Elly Kasim pergi meninggalkan nama harum dan jasa yang akan selalu dikenang. "Elly Kasim tidak hanya berjasa menaikkan marwah musik Minang. Kiprahnya sejak awal juga telah mengangkat kembali marwah orang Minang yang sempat terpuruk setelah Peristiwa PRRI akhir 1950-an," kata H Basril Djabar, tokoh masyarakat Sumatera Barat yang juga kerabat Elly Kasim.
Proklamator Bung Hatta pernah ditanyai tentang sosok H Agus Salim setelah sang diplomat wafat pada 1954. Jawabnya, "Haji Agus Salim adalah jenis manusia yang dilahirkan hanya satu dalam satu abad." Dengan segala kelebihan dan keistimewaannya, Elly Kasim mungkin juga termasuk jenis manusia yang dilahirkan hanya satu dalam satu abad.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo