Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU kali di tahun 2016, saya tertegun ketika diminta menuliskan bahan diskusi presiden Profesor Hariadi Kartodihardjo di Sajogyo Institute, Bogor, Jawa Barat. Guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University itu meminta saya menulis “Paradigma ilmu kehutanan sekarang warisan kolonial abad ke-19 yang menjadi benih dehumanisasi dan antisosial”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Maaf, Pak Haka, apa benar seperti ini yang mau ditulis?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ya, harus. Kenyataannya begitu.”
Bagi masyarakat akademik, pernyataan itu terlalu tajam dan menohok. Ketika seorang guru besar membuat rumusan dalam sebuah forum akademik, rumusan itu bisa menjadi semacam fatwa. Pernyataan itu bisa menyinggung banyak orang, dari ilmuwan hingga birokrat. Tapi begitulah Pak Haka—panggilan akrab Hariadi Kartodihardjo yang diambil dari akronim namanya. Selama 10 tahun saya mengenalnya secara dekat, dia guru yang tak pernah gentar menyatakan apa yang ia yakini benar.
Kepada siapa saja, juga mereka yang datang ke rumahnya di Darmaga, Bogor, untuk sekadar mengobrol ataupun berdiskusi serius, Pak Haka akan selalu menganjurkan berpikiran terbuka dan konsisten. Tanpa keduanya, ilmu pengetahuan akan beku. Kita akan tumpul melihat ketidakadilan dan kerusakan lingkungan yang makin masif atas nama pembangunan.
Ketika hendak menerbitkan buku Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktik Kehutanan di Indonesia pada 2013, Pak Haka meminta saya terlibat menyunting tulisan-tulisannya. Di situ saya paham bahwa ia menolak terjebak dalam “hegemoni pengetahuan”. Maka tak ia segan melontarkan kritik terhadap penyalahgunaan konsep pendidikan, keilmuan, dan posisi para guru di universitas dalam menelurkan kebijakan publik.
Bagi Pak Haka, yang menempuh semua studi akademiknya di IPB, jalan lurus tak berarti berbentuk fisik, melainkan satu abstraksi agar kita menghindari jalan berliku yang berkepanjangan untuk mengatasi persoalan-persoalan kehutanan. Modal utama untuk mencapai jalan lurus itu bukan materi atau kekuasaan, melainkan pembaruan kerangka berpikir dengan meluaskan khazanah ilmu pengetahuan.
“Tindakan dimulai dari pikiran,” katanya suatu kali. “Kalau pikirannya sesat, tindakannya juga pasti akan sesat.” Kerangka berpikir itu penting bukan hanya bagi ilmuwan, tapi juga untuk para pembuat kebijakan. Tanpa kerangka berpikir yang ajek, yang berangkat dari keadaan dan fakta lapangan, akan lahir kebijakan di atas kertas yang kian menjauhkan solusi dari persoalan.
Salah satu bukunya, Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan, berisi esai-esai reflektif tentang problem kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam. Menurut dia, pengelolaan sumber daya alam yang melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan serta ekstraksi yang merusak lingkungan terjadi akibat salah kaprah pemakaian ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang baru sebatas asumsi dipakai untuk merumuskan kebijakan. Padahal kebijakan mesti berangkat dari masalah di lapangan.
Dengan cara berpikir seperti itu, Profesor Hariadi berulang kali menganjurkan dosen tak melulu terbebani oleh administrasi. Ia berpendapat para peneliti tak perlu menghiraukan jurnal berskala Scopus karena menjauhkan ilmu pengetahuan dari masalahnya. Bagi dia, para peneliti seharusnya menulis karya-karya ilmiah dalam bahasa lokal, tempat obyek studi mereka. Dengan begitu, penelitian-penelitian itu berguna bagi mereka yang diteliti. Sekarang, dengan studi yang ditulis dalam bahasa asing, problem dan solusi yang diajukan para ilmuwan hanya dibaca segelintir orang. Ilmu pengetahuan pun makin jauh dari masyarakat.
Hariadi, tentu saja, sedang berbicara tentang ilmuwan sebagai advokat masyarakat. Akarnya adalah ilmuwan sebagai aktivis yang harus berkubang dengan masalah-masalah yang dihadapi orang banyak. Karena itu, tak mengherankan ia menjadi guru para aktivis. Rasanya tak ada aktivis lingkungan yang pemikirannya tak bersinggungan dengan dia.
Selain ilmuwan, birokrat dan politikus menjadi area kritik Hariadi. Ketiganya berkait dalam penciptaan paradigma pengelolaan kehutanan yang kemudian menjadi hegemoni pengetahuan yang mempengaruhi kebijakan. Karena itu, ia meyakini ilmu pengetahuan—meski netral—tak bisa bebas nilai. Pengetahuan juga bersifat politis karena digerakkan oleh aktor-aktor yang punya kepentingan. Maka, bagi dia, para ilmuwan wajib saling mengkritik untuk menghasilkan diskursus yang matang.
Hariadi sudah lama mempertanyakan kebijakan serapan anggaran sebagai alat ukur kinerja birokrasi. Menurut dia, alat ukur itu tak masuk akal karena birokrat akan menempuh pelbagai cara untuk menghabiskan anggaran, tak peduli anggaran tersebut menghasilkan solusi bagi problem masyarakat atau tidak. “Jebakan administratif ini yang membuat pengelolaan lingkungan kita tak bisa adil dan berperikemanusiaan,” ucapnya.
Kritik itu ia ulang dalam banyak artikel yang muncul tiap Senin di web ForestDigest.com. Ini situs web yang berisi analisis kebijakan kehutanan dan lingkungan yang digerakkan oleh alumnus Fakultas Kehutanan IPB. Selama lima tahun ia tak pernah absen menulis setiap pekan. Ia senang karena situs itu adalah jelmaan ilmuwan yang juga aktivis yang bertugas memberi pencerahan kepada masyarakat.
Selain tak terjebak dalam kuasa administrasi dalam mengukur kinerja kebijakan, Pak Haka selalu mewanti-wanti kita agar tak melihat sebuah pokok perkara hanya dari satu keilmuan. Ia menganjurkan “transdisiplin”. Maka para rimbawan perlu mempelajari ilmu sosial, komunikasi, politik, dan ekonomi hingga antropologi. Sebab, problem di masyarakat tak dikotakkan berdasarkan satu kotak disiplin ilmu. Kolaborasi adalah kunci mewujudkan transdisiplin.
“Konglomerasi kehutanan di Indonesia sejak 1970-an menunjukkan adanya ‘komunitas kebijakan’ yang mengendalikan pengaturan investasi sumber daya alam. Dampak yang masih terasa hingga kini adalah lambatnya pemanfaatan akses bagi masyarakat lokal dan adat akibat pola dan infrastruktur ekonomi yang terbangun cenderung untuk usaha besar daripada usaha masyarakat. Di sini pentingnya kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang tak hanya harus adil, juga memihak.”
Saya cuplik kalimat-kalimat itu dari artikel di rubrik Surat dari Darmaga di ForestDigest.com edisi 8 Mei 2023 berjudul “Kebijakan yang Adil dan Berpihak”. Menurut Hariadi, mereka yang menjadi anggota “komunitas kebijakan” itu bertanggung jawab atas kerusakan alam akibat kebijakan pembangunan di masa lalu. Paradigma yang tak membuka pintu bagi pandangan lain itu pun terkena silo dan titik buta yang membuat kebijakan tak mempertanyakan apa yang tak terlihat dari sepatu para pembuat kebijakan.
Sorotan lain kritik ilmuwan yang lahir dan besar di Jombang, Jawa Timur, ini adalah jaringan korupsi yang mengakar di sektor kehutanan dan lingkungan. Ia selalu memakai istilah “state capture corruption” ketika jaringan korupsi itu sampai bisa mengendalikan kebijakan sehingga menguntungkan mereka dan kelompoknya. Menurut Hariadi, ini jenis korupsi yang paling mematikan karena membentuk struktur yang tak mudah digoyahkan dan memerlukan multisolusi untuk mengurainya.
Sebab, menurut Pak Haka, kita terbagi ke dalam dua dunia: dunia akademik yang teoretik dan ngawang-ngawang serta dunia riil yang belepotan dengan ketidakadilan dan ketimpangan. Dua dunia ini tak menyatu sehingga kita seperti bingung menyelesaikan banyak masalah yang menjerat kita hari-hari ini.
Sebagai akademikus, ia mencoba menjembataninya dengan mendirikan banyak lembaga penting di sektor kehutanan, dari Lembaga Ekolabel Indonesia hingga Forest Watch Indonesia. Selain menjadi dosen, ia adalah pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup. Dia lalu menjadi penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Apakah ada dunia ketiga?” saya menggodanya.
“Ada. Dunia yang melampaui keduanya, dunia yang menghubungkan urusan dan tanggung jawab kita dengan Pencipta.”
Ahad pagi, 2 Juni 2024, Profesor Hariadi Kartodihardjo, Pak Haka, guru dan teman diskusi kami semua, memasuki dunia ketiga di usia 66.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Eko Cahyono, pegiat dan peneliti Sajogyo Institute dan mahasiswa doktoral IPB University di bawah bimbingan Profesor Hariadi Kartodihardjo. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Dunia Ketiga Profesor Haka".