Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran seni rupa perupa Australia, Patricia Piccinini, yang menghadirkan karya-karya patung makhluk imajiner di Museum MACAN.
Karya-karya patung hiperealisnya mengedepankan tema kepedulian, welas asih, cinta kasih, dan harapan.
Karya-karya patung hiperealis didasarkan pada banyak elemen yang mempengaruhi kehidupan manusia, seperti emosi, harapan, lingkungan, teknologi, dan gaya hidup.
Masyarakat telah mengenal beragam makhluk khayali atau hibrida yang hidup dalam narasi kisah di layar lebar, buku cerita, atau mitologi secara turun-temurun. Kali ini perupa asal Australia, Patricia Piccinini, menyajikan sebuah pameran kuat di Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara, Jakarta, mengenai imajinasinya akan rekayasa genetika yang liar di masa depan. Manusia-manusia setengah hewan, makhluk-makhluk dengan tampilan fisik pra-Homo sapiens, dan spesies-spesies hibrida yang aneh hadir di tengah keluarga, menjadi anak, suami, istri, kerabat dekat, atau pasangan. Digambarkan antara sosok manusia yang normal dan mereka masih memiliki hubungan welas asih dan tali kepedulian. Sebuah pameran tentang arti kasih yang lain daripada yang lain.
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya seni berjudul 'Prone' di pameran ‘Patricia Piccinini: Care’ di Museum MACAN, Jakarta, 21 Mei 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOSOK bayi itu berbaring beralas handuk putih di atas lemari penyimpanan. Posisinya seperti sedang belajar tengkurap dengan kepala tegak, kedua tangannya menopang badannya yang agak miring. Posisinya seperti berancang-ancang merangkak. Tampilan sosok ini boleh dikatakan tak biasa. Matanya bulat hitam menatap ke depan, hidungnya bercuping dengan tiga lubang, telinganya berlubang agak besar dengan daun telinga mirip telinga kucing, seperti berkerut. Jari-jari tangan dan kakinya lima, tapi tak proporsional letaknya. Seluruh tubuhnya yang telanjang ditumbuhi bulu pirang seperti rambutnya.
Sosok itu berada di ruang bertirai manik-manik. Tak jauh darinya, ada sesosok bocah berbaju biru dan bercelana cokelat. Tangan kirinya memegang seekor burung hijau berekor agak panjang. Sekilas tak ada yang aneh pada sosok bocah ini, kecuali mukanya yang hampir menyerupai konstruksi wajah kera. Jari dan punggung tangannya panjang, tampak kurang proporsional.
Sosok-sosok ini adalah dua dari setidaknya 40 karya Patricia Piccinini yang tengah dipamerkan di Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara atau Museum MACAN, Jakarta, bertajuk “Care” selama 23 Mei-6 Oktober 2024. Seniman yang lahir di Sierra Leone itu mengajak para pengunjung museum memasuki “dunia” lain. Kurator Tobias Berger memperkenalkan praktik artistik dan perjalanan kuratorial di balik pameran perdana Piccinini di Indonesia ini. “‘Care’ adalah pengalaman seni visual yang imersif dalam berbagai aspek, sebuah perjalanan melalui ruang-ruang imajinatif, alam, dan ide-ide yang dihidupkan oleh sang perupa,” ujar Berger.
Pameran ini mengeksplorasi tema universal tentang hubungan dan keintiman yang bisa dirasakan oleh audiens di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pameran ini menyelami isu-isu global yang mendesak seputar ekologi, keanekaragaman hayati, dan bioteknologi. “Melalui pameran ini, kami mengajak pengunjung merenungkan bentuk-bentuk kehidupan imajiner hibrida, menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia terkait dengan spesies-spesies yang terancam punah,” ucap Venus Lau, Direktur Museum MACAN.
Di area depan ruang pamer, pengunjung disuguhi sebuah karya seperti bayi makhluk berbulu yang tampak tertidur lelap melipat tubuhnya di sebuah keranjang berbalut kain tebal. Lalu tampak sesosok perempuan berambut ikal panjang menggendong “bayinya” dan makhluk bermuka manusia dengan telinga seperti babi. Tubuhnya seperti babi yang berkulit tebal dan berambut pirang. Keduanya terlihat sangat hangat.
Kehangatan juga tampak pada figur laki-laki berkulit kecokelatan yang memanggul sesosok makhluk bertangan dan berkaki seperti umbi atau akar. Dalam pembuatan karya berjudul Sapling (2020) ini, Piccinini terinspirasi gerakan yang dipimpin masyarakat lokal Wurundjeri untuk menyelamatkan sebuah pohon yang tumbuh di stasiun pengisian bahan bakar umum di Melbourne, Australia. Ia mengeksplorasi konsep hubungan yang kuat serta pemberdayaan antara tumbuhan dan manusia. Pohon di sini menjadi metafora nilai alam dan lingkungan buatan, sementara sosok laki-laki yang merawat tumbuhan atau hewan secara positif memperlihatkan keterhubungan antara manusia dan alam.
Karya seni berjudul 'Sapling' di pameran ‘Patricia Piccinini: Care’ di Museum MACAN, Jakarta, 21 Mei 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Berlatar keindahan alam bawah laut dengan beragam terumbu karang dan ikan, sosok makhluk hibrida dengan kepala seperti lumba-lumba yang bertelinga manusia dan berpayudara, dengan tangan dan kaki berjari, merengkuh hangat gadis kecil di pangkuannya. Gadis kecil itu terlihat damai dan tenteram dalam pelukan. Dari karya berjudul No Fear of Depths (2019) itu, pengunjung tak hanya bisa merefleksikan kehangatan kasih ibu, tapi juga kecintaan terhadap lingkungan yang diwujudkan dalam makhluk hibrida ini. Sosok gadis kecil itu adalah Roxy, putri sang perupa. Ide penciptaan makhluk hibrida ini berasal dari lumba-lumba punggung bungkuk, salah satu spesies satwa yang tergolong rentan.
Ide senada bisa dilihat dalam karya tiga sosok serupa orang utan berkulit putih dengan rambut dan bulu pirang. Ibu orang utan yang wajahnya mendekati rupa manusia memeluk salah satu bayi dan menggendong bayi yang lain. Seperti kita ketahui, orang utan salah satu spesies mamalia besar di hutan tropis Kalimantan dan Sumatera yang berstatus terancam punah. Riset menunjukkan asam deoksiribonukleat atau DNA orang utan 96,4 persen serupa dengan DNA manusia.
Karya seni berjudul 'The Couple' di pameran ‘Patricia Piccinini: Care’ di Museum MACAN, Jakarta, 21 Mei 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Dalam karya berjudul Kindred (2018) itu, Piccinini ingin mendekonstruksi kekerabatan kuno bahwa manusia secara fundamental berbeda dengan hewan. “Stereotipe ini yang menjadi akar kehancuran ekologi dengan habitat alami dihancurkan demi keuntungan kita. Salah satu contohnya adalah orang utan yang menjadi korban penggundulan hutan,” demikian tertulis dalam keterangan karya.
Piccinini menampilkan banyak karya tiga dimensi yang ia bentuk dari beragam material sintetis, seperti silikon, serat kaca, dan plastik akrilonitril butadiena stirena atau ABS dengan bahan organik. Ia pun memakai rambut manusia asli yang disematkan secara manual dalam karya-karyanya. Karya-karya makhluk khayali tak hanya terbentuk dari manusia, binatang, atau tetumbuhan. Bahkan pengunjung dapat melihat makhluk baru dalam dunia Piccinini, seperti sosok sepatu bot dan sepatu pantofel. Ia menisbikan jenis kelamin dalam beberapa karyanya. Pesan cinta kasih, welas asih, perhatian, dan empati sangat lekat dalam karya yang cukup intim.
“Ada keindahan dalam setiap karyaku. Mereka menggambarkan makhluk yang sangat rentan,” ujar Piccinini dalam video di balik layar pembuatan karyanya dari akun YouTube Qagoma, galeri ternama di Melbourne, enam tahun lalu.
Karya seni berjudul 'No Fear Of Depths' dipamerkan dalam pameran ‘Patricia Piccinini: Care’ di Museum MACAN, Jakarta, 21 Mei 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Ada banyak karya Piccinini yang menampilkan pesan welas asih. Sang perupa mewujudkannya dalam beragam makhluk hibrida yang aneh di mata kita saat ini. Makhluk hasil perpaduan banyak elemen. Dalam dunia pop saat ini, kita bisa menemukan makhluk-makhluk hibrida semacam itu dalam kisah Frankenstein atau film Avatar besutan sutradara James Cameron. Juga dalam film Men in Black yang melambungkan nama aktor Tommy Lee Jones dan Will Smith serta film lain yang menampilkan monster atau makhluk seperti itu.
Mata pengunjung tak hanya disuguhi tampilan tiga dimensi sosok-sosok makhluk tanpa nama itu. Ada makna dari gestur, ekspresi, barang, tumbuhan, dan binatang yang menjadi inspirasi dan pesan yang tersirat dari karya itu. Isu kerusakan lingkungan serta perubahan dan rekayasa genetika mewujud dalam karya Piccinini yang menimbulkan empati. Beberapa karya diwujudkan dalam medium fotografi dan video yang memberi efek “hidup” pada makhluk itu.
Yang menarik dari serangkaian karya yang dihadirkan, Piccinini juga menampilkan nuansa lokalitas Indonesia. Sebuah ruangan didesain seperti rumah di Indonesia. Berdinding anyaman bambu dengan jendela kayu, dapur dan ruang keluarga menyatu di ruangan itu. Benda-benda lawas, seperti bangku, kompor, radio, televisi tabung, cangkir, termos, dan stoples kerupuk, menghiasinya. Di situ, di sebuah ranjang besi tua, sepasang makhluk berpelukan intim berselimut kain putih. Sepasang kaki berbulu lebat dan berbulu panjang menyembul dari selimut putih itu. Judulnya The Couple (2018).
Karya seni berjudul 'Kindred' di pameran ‘Patricia Piccinini: Care’ di Museum MACAN, Jakarta, Selasa, 21 Mei 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Piccinini memberi keterangan dalam karya itu bahwa ia menampilkan monster dalam Frankenstein—novel karangan Mary Shelley—dengan akhir kisah berbeda yang bahagia. Karya ini menjungkirbalikkan narasi fiksi ilmiah klasik itu, yang menceritakan monster ciptaan Victor Frankenstein tersebut kabur dari laboratorium dan mendapat akhir yang tragis. Dalam karya ini, sang monster mendapatkan cinta, kemesraan, dan rumah yang nyaman. Cinta dan kenyamanan juga diwujudkan dalam Foundling (2008) yang menampilkan sesosok bayi bermata hitam besar di sebuah keranjang bayi di meja tak jauh dari tempat peraduan sepasang makhluk itu.
Karya-karya Piccinini ini seperti hidup dari gestur, ekspresi, serta tampilan fisik—dari kulit (meski hampir sebagian besar berkulit putih), warna mata, hingga warna rambut yang disematkan. Proses pembuatan karyanya turut ditampilkan dalam sebuah bagian. Di akun YouTube Qagoma, diperlihatkan bagaimana ia berkarya di studionya, seperti ketika menggambar lalu mendiskusikan gambarnya dengan kolaborator yang juga suaminya, Peter Hennessey, serta para seniman dan artisan yang membantunya, dari fotografer, desainer grafis, pembuat cetakan, pembuat patung, penata gaya dan warna, hingga pemasang rambut dan mata. Setiap karya dibuat sangat detail dalam waktu yang cukup lama.
•••
HAL menarik lain dari proses kreatif Patricia Piccinini adalah, ketika berkarya, ia tak sekadar membuat bentuk makhluk yang aneh. Ia menghubungkan setiap karya dengan banyak elemen. Ia menjabarkan karya dan elemen itu dalam sebuah peta. Perwujudan patung hiperealis menampilkan perpaduan antara spesies, mitologi, dan budaya populer yang didukung temuan ilmiah yang telah mengubah kehidupan manusia. Setiap karya terhubung dengan berbagai elemen yang dikaitkan dengan beraneka warna benang dan kluster teks, seperti asa, perhatian, keanekaragaman hayati, perkembangan budaya, mitologi, dan bioteknologi. Kluster itu kemudian dibagi lagi dalam banyak teks. The Couple, misalnya, dihubungkan dengan beberapa benang yang berujung pada teks tentang Frankenstein, teks mengenai harapan, studi anatomi, sastra, empati, makhluk mitologi, cerita leluhur, dan lain-lain.
Demikian juga karya La Brava (2021) yang berwujud makhluk seperti berbadan sepatu tapi bermuka kelelawar dengan rambut panjang terurai. Gayanya bak penyanyi Amerika Serikat yang ekspresif. Elemen karyanya antara lain keanekaragaman, perkembangan modern, ikon musik, dan mode fashion. Benang beraneka warna pada setiap karya yang bersilangan menunjukkan elemen-elemennya.
Karya instalasi seni 'Celestial Field' di pameran ‘Patricia Piccinini: Care’ di Museum MACAN, Jakarta, 21 Mei 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Tak semua karya Piccinini yang ditampilkan adalah karya baru. Sebagian merupakan karya lamanya yang dibuat pada 2011-2018. Ia sudah menampilkan karyanya di banyak galeri di berbagai negara dengan judul pameran berbeda.
Sesungguhnya selama ini makhluk hibrida, khayali, setengah manusia setengah binatang, atau paduan benda dengan tumbuhan atau binatang, sudah dikenal dalam narasi-narasi mitologi kuno. Dalam mitologi Yunani, misalnya, ada Centaur (manusia setengah kuda) dan Medusa (manusia berambut ular). Dalam mitologi Hindu-Buddha, ada putra Dewa Syiwa, Ganesha atau Lembuswana—makhluk berbelalai dan bertaring panjang dengan tanduk dan mahkota di kepala, bertubuh seperti lembu, dan bersayap. Makhluk mitologi ini adalah penjaga Kerajaan Kutai Kartanegara.
Karya seni berjudul 'La Brava' di pameran ‘Patricia Piccinini: Care’ di Museum MACAN, Jakarta, 21 Mei 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Dalam wujud karya estetika modern, Piccinini menyuguhkan dunia lain dari wujud makhluk hibrida atau makhluk khayali yang mungkin bisa terwujud di masa mendatang karena perubahan situasi dan lingkungan dengan dukungan teknologi. Sebuah pameran yang layak dikunjungi karena menarik secara estetik, juga lantaran pesan moral yang terkandung dalam setiap karya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Seni Rupa dan Renungan Dunia Transgenik".