Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelukis Hardi meninggal.
Dia salah satu tokoh Gerakan Seni Rupa Baru.
HARDI, atau Raden Soehardi Adimaryono, adalah sahabat, musuh, punakawan, pahlawan, dan ikon. Lima predikat yang disandangnya itu mendorong masyarakat seni rupa mendoakan dia agar selalu sehat dan berumur panjang. Sebab, dengan kehadirannya, dunia seni rupa Indonesia akan selalu diajak bergerak lewat berbagai kehebohan dan kejutan. Dengan kemunculannya di arena, jagat pemikiran seni rupa dihadang untuk selalu berada dalam lingkaran dinamika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun doa itu akhirnya terputus. Hardi, yang lahir di Blitar, Jawa Timur, 26 Mei 1951, wafat pada 28 Desember 2023 pagi hari setelah beberapa bulan dia menyandang komplikasi berbagai penyakit. Dan setelah ia dengan sekuat tenaga menahan impitan perasaan kehilangan sejak Susan Purba, istrinya, meninggal beberapa bulan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hardi disebut sahabat karena dia memang pribadi yang hangat dan selalu berusaha dekat dengan orang dari berbagai kalangan. Ia berteman dengan Munir sang tokoh Kontras—kependekan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Namun ia juga berdekat-dekat dengan Adnan Buyung Nasution, yang oleh Munir dianggap sebagai pelumpuh Lembaga Bantuan Hukum. Hardi berteman dengan Japto Soerjosoemarno dan Halimah Bambang Triatmodjo dari kalangan Orde Baru. Namun ia juga rekat dengan W.S. Rendra dan Pramoedya Ananta Toer, yang berada di seberang kedua tokoh tersebut.
Namun Hardi adalah makhluk yang kritis terhadap berbagai hal, sehingga persekutuannya dengan mereka dari berbagai jurusan itu umumnya tidak berumur panjang. “Sedikit saja mereka keliru, langsung saya seteru,” katanya. Hardi pun—yang sudah menjadi “musuh”—pergi dari lingkaran pergaulan. Dan ia mencari komunitas tandingan.
Meski terlepas dari komunitas yang dulu, Hardi selalu saja dirindukan para “musuh”-nya itu. Pasalnya, ia kerap hadir artikulatif dalam berbagai kesempatan, di sepanjang waktu. Sebagai pelukis yang suka menulis, Hardi selalu mengentak dengan artikelnya. Mencuri perhatian dengan uar-uar yang berkonten baru. Sebagai seniman yang pandai berbicara, ia acap menggegerkan acara seminar dan semacamnya. Gagasan-gagasannya yang sering nyeleneh dan radikal ia sampaikan dengan nada yang seru, lucu, sekaligus mendulang perkara. Ulah laku yang mengingatkan kita pada momen goro-goro punakawan dalam pementasan wayang kulit. “Saya memang Petruk,” ujar Hardi seraya tangannya melukis profil Petruk dengan kuasnya.
Sejak berkiprah dalam dunia seni rupa pada 1970, Hardi memang berusaha berada di depan. Sebagai orang Blitar yang merasa mewarisi semangat Bung Karno, Hardi mengharuskan diri untuk berani mati. Itu sebabnya ia membuat seni grafis cetak saring berjudul Presiden RI Tahun 2001: Suhardi. Seri karya yang sensitif untuk ukuran situasi sosial-politik pada masanya. Sebab, pada waktu itu Presiden Soeharto sedang memapankan kekuasaan, dengan penjagaan aparat di semua sisinya. Hardi mengaku bahwa keberaniannya menggubah karya itu diilhami oleh karya cetak saring Andy Warhol bertema Mao Tse Tung yang ia lihat di De Doom Gallery, Heerlen, Belanda.
Pada 1979, cetak saring Presiden RI Tahun 2001: Suhardi dipamerkan. Banyak orang yang menonton, dan tidak ada perkara. Namun di belakang ruang pameran muncul bisik-bisik bahwa karya tersebut menyindir pemerintah Indonesia, yang tidak bosan-bosannya mempertahankan presiden yang itu-itu saja. Hardi membaca makna “bisik-bisik” itu dan ia mengamini dengan sukacita. Hardi pun ditangkap oleh aparat Pelaksana Khusus Daerah Jakarta Raya. Pada 5 Desember 1979, Hardi dimasukkan ke bui, sekamar dengan teroris, sebelum akhirnya dibebaskan atas bantuan Wakil Presiden Adam Malik.
Hardi adalah martir hati nurani rakyat “yang memang sudah bosan”. Hardi pun kala itu disanjung sebagai “pahlawan”.
Hardi memang figur yang tak habis-habisnya mewarnai seni rupa Indonesia. Pada 1970, sekeluar dari sekolah menengah, ia mencoba hidup di Bali sebagai pelukis. Di sana ia bersahabat dengan pelukis Anton Kustia Widjaja dan W. Hardja. Kedua sahabatnya itu menyuruh Hardi belajar secara akademis saja. Maka pergilah Hardi ke Surabaya dan menempuh studi di Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera). Namun ia merasa bahwa metodologi di Aksera tak jauh dari cara sanggar. Maka, pada 1971, ia pun masuk ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) “ASRI” Yogyakarta, Jurusan Seni Lukis.
Di STSRI “ASRI”, Hardi menonjol sejak awal. Ia menjadi “King” dalam masa prabakti mahasiswa. Pada tahun pertama, ia sudah menjadi pendebat dalam forum pelajaran seni lukis atau apresiasi sastra. Di tahun kedua, ia sudah diminta memberikan ceramah oleh Dewan Mahasiswa. Pada tahun ketiga, ia mulai menampakkan radikalitas keseniannya, dengan mengetengahkan proyek abstrak. Pada kurun ini, ia menggelar pameran berlima bersama Siti Adiyati, Nanik Mirna, B. Munni Ardhi, dan F.X. Harsono.
Pada saat pameran 1973 itu, ia menyadari bahwa sesungguhnya kesenian tidak boleh lepas dari gelora masyarakat. Kesenian harus sanggup mengusik persoalan-persoalan sosial. Ia pun berhenti melakukan “onani artistik”, istilah khasnya untuk menyebut seni abstrak.
Pada 1974, saat penerimaan Hadiah Seni Lukis Terbaik Biennale Seni Lukis Jakarta, terbit kehebohan. Para perupa muda memprotes hadiah seni yang dianggap tendensius itu. Mereka menaruh krans bertulisan “Ikut Berduka Cita Atas Matinya Seni Rupa Indonesia” di panggung upacara penghargaan. Hardi adalah salah satu penanda tangan surat protes itu. Ia pun diskors oleh STSRI “ASRI”.
Lukisan Petruk karya Hardi. Tempo
Hardi beruntung. Di tengah kegalauan menjalani skors, dia mendadak mendapat tawaran studi ke Jan van Eyck Academie, Maastricht, Belanda, pada 1975. Ia berangkat dengan modal nyaris nol, dalam keuangan ataupun bahasa Inggris, apalagi bahasa Belanda. Tapi ia bisa berguru intensif, di antaranya kepada Profesor Hans Seur dan Profesor Pieter de Fesche. Di sini ia banyak belajar seni grafis. Maka, ketika Pameran Seni Rupa Baru Indonesia 1975 diadakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, karyanya terikutkan.
Sepulang ke Indonesia pada 1977, Hardi mengadakan “gerakan seni kartu pos foto berlukis”, yang ia sebut sebagai action photo. Gambar kartu pos ini berkonten situasi sosial dan kesadaran terhadap lingkungan. Menurut dia, kartu pos ini diilhami oleh karya Klaus Staeck, seniman Jerman. Atas penerbitan itu, ia berkata, “Jauhkan seni rupa dari penyakit mati rasa. Bangunkan masyarakat yang mengkerut dengan seni yang menghasut.” Kartu pos, bagi Hardi, adalah seni yang bisa “menghasut” banyak orang. Apalagi kartu pos produknya bisa terjual 24 ribu lembar.
Sambil mengerjakan itu, Hardi tak henti menyelenggarakan puluhan pameran tunggal dan mengikuti ratusan pameran bersama. Di antaranya bersama Himpunan Pelukis Jakarta yang ia dirikan. Pada suatu masa, ia menempa keris dan menciptakan jangker, yang menggabungkan bentuk kujang (senjata masyarakat Sunda) dengan keris Jawa. Di masa lain, dia mencipta karya yang beraroma silat, karena ia bergabung dalam Perkumpulan Gerak Badan Bangau Putih, Bogor, Jawa Barat. Dalam setiap pameran dan penciptaan itu, sosok Hardi selalu eksistensial dan bahkan vokal.
Memasuki dekade kedua tahun 2000, ia membuat video mengenai seni orang lain dan seninya sendiri. Gaya bicaranya yang bagus menjadikan video yang disiarkan di media sosial itu menarik. Bahkan, pada kurun ini, ia menerbitkan tulisan-tulisannya dalam bentuk buku. Di antaranya buku Lintas Pikiran Pelukis Hardi: Seni Uang Rakyat.
Hardi selalu ada dalam 50 tahun seni rupa. Ia pun menjadi ikon.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pelukis Hardi Telah Pergi"