Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Tiada Lagi Bung Salim

Salim Said meninggal pada 18 Mei 2024. Pengamat militer ini tokoh berlatar belakang akademis yang memiliki pengalaman komplet.

26 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Salim Said, 80 tahun, meninggal pada Sabtu, 18 Mei 2024.

  • Pengamat militer ini memiliki latar belakang akademis dan pengalaman yang lengkap, dari wartawan, doktor ilmu politik, kritikus film, hingga duta besar di Republik Cek.

  • Oleh teman-temannya, dia lebih suka dipanggil Bung, sonder gelar.

BUNG Salim, itu panggilan yang disukai Profesor Doktor Salim Said untuk dirinya, telah pergi selamanya. Media massa menyebut Sabtu, 18 Mei 2024, sebagai momen dunia pers dan film kita kehilangan lagi seorang pejuangnya yang tangguh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak sedikit bunga duka yang dikirim ke rumah nomor 149 di Jalan Redaksi, Cipinang Muara, Jakarta Timur, tempat tinggal almarhum bersama Herawaty, istrinya. Di antaranya bunga dari presiden terpilih Prabowo Subianto dan mantan pesaingnya, Anies Baswedan. “Lebih baik diambil, kasihan menderita. Barangkali sudah selesai tugasnya,” begitu kira-kira kata Herawaty yang tampak tabah itu seusai pemakaman suaminya di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pada Ahad siang, 19 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai penghormatan atas keterlibatan Salim Said di Dewan Film, Slamet Rahardjo memberikan ucapan perpisahan bahwa dunia film Indonesia ikut kehilangan. Almarhum adalah satu dari sedikit kritikus yang rajin menulis untuk membantu perkembangan perfilman nasional.

Menghampiri sore di akhir pemakaman yang dihadiri berbagai kalangan itu, langit mendung mulai meneteskan rintik hujan yang ragu-ragu. Kepergian selalu menyisakan kesedihan. Tapi di usia menjelang 81 tahun—lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 10 November 1943—Bung Salim meninggalkan banyak buku yang akan membuatnya tak pernah beranjak dari ingatan kita, di antaranya:

- Profil Dunia Film Indonesia;
- Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto;
- Dari Festival ke Festival: Film-film Manca Negara dalam Pembicaraan;
- Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak;
- Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia 1958-2000;
- Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian.

Masih tampak vokal di panggung Peringatan Hari Sastra di gedung Badan Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur, pada awal tahun, di pertengahan Mei, Bung Salim dikabarkan sedang “ditidurkan” di ruang perawatan intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, dan akan menjalani cuci darah. Kejutan itu memuncak pada Sabtu, 18 Mei 2024, pukul 19.33 dengan kabar duka bahwa beliau sudah tiada.

Akhir sebuah riwayat memang sukar diduga. Sosok cendekiawan pengamat militer ini kalau berbicara selalu menyala bagai seorang aktor. Maklum, Bung Salim pernah masuk Akademi Teater Nasional pada 1964-1965. Dia sempat bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan curhat: di era setelah reformasi ini jangan sampai militer dibiarkan berstatus dwifungsi lagi. Ia juga menyarankan, sebagai orang sipil, Jokowi tidak perlu memakai seragam militer ke mana-mana. Sebab, presiden adalah pejabat tertinggi negeri sehingga memang sudah seharusnya orang-orang memberi hormat.

Salim Said menenggak banyak ilmu dan pengalaman. Dia meraih gelar sarjana dari Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia pada 1977 serta master di Ohio University pada 1980 dan doktor ilmu politik di The Ohio State University, Amerika Serikat, pada 1985. Di dunia jurnalistik, ia pernah menjadi redaktur di beberapa media, di antaranya Pelopor Baru, Angkatan Bersenjata, dan majalah Tempo. Dia juga pernah menjadi anggota Dewan Film Nasional dan Dewan Kesenian Jakarta.

Sebagai anak muda yang “urung” menjadi aktor, Bung Salim kemudian tenggelam dalam ilmu sosial dan sering ngendon di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, bersahabat dengan para seniman kontemporer. Saat menjabat duta besar untuk Republik Cek pada 2006-2010, ia mengayunkan langkah yang jarang, bahkan mungkin belum pernah, dilakukan duta besar Indonesia yang lain. Dia tak hanya mengenalkan Indonesia sebagai gudang seni tradisi yang eksotik, tapi juga menunjukkan Indonesia punya seni kontemporer yang layak diperhitungkan. Pada 2007, misalnya, Bung Salim mengundang kelompok Teater Mandiri tampil di Praha. Bukan di kedutaan, melainkan di gedung pertunjukan umum.

Dengan seabrek amunisi di bagasi pikirannya, tak mengherankan jika Bung Salim mampu berbicara lantang, tajam, berani, cerdas, lucu, juga benar. Di acara bincang-bincang Karni Ilyas di TV One dia mengatakan, “Bagaimana you menjalankan Pancasila. Para pemimpin kita itu pelanggar sumpah. Ini negeri yang paling banyak melanggar sumpah adalah orang yang kita pilih.”

Salim Said melanjutkan omongannya, “Kenapa Indonesia tidak maju? Kenapa Singapura maju? Kenapa Korea Selatan maju, Taiwan maju, Israel maju? Karena ada yang mereka takuti. Taiwan takut sama Cina daratan, Korea Selatan takut sama Korea Utara, Singapura takut karena dia mayoritas orang Tionghoa di tengah lautan Melayu, Israel takut di tengah lautan Arab. Kalau dia tidak hebat, ya, dia dikeremus (dikunyah habis). Indonesia, Tuhan pun tidak ditakuti.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Putu Wijaya adalah penulis dan dramawan.

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus