Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wagiono Sunarto menggeluti seni grafis dan animasi sejak 1975.
Menurut Wagiono, perbedaan zaman menjadi faktor kurang berhasilnya komik wayang masa kini dibanding pasar 1957-1970.
Selain sebagai pekerja profesional, Wagiono adalah akademisi yang menekuni bidang ilmunya dengan sungguh-sungguh.
MAS Gion, begitulah koleganya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyapa Wagiono Sunarto—rektor perguruan tinggi seni itu dari 2009 sampai 2016—yang meninggal pada Kamis malam, 13 Januari lalu, dalam usia 72 tahun. Sering bercanda, humor terakhir Mas Gion yang masih saya ingat di antara rapat-rapat di Sekolah Pascasarjana IKJ adalah tentang rasa pecel: "Rasa pecel sekarang berubah menjadi rasa disinfektan, karena tukang pecel mencuci tangan dengan disinfektan dulu sebelum membuat pecelnya." Secara tradisional pecel memang dibuat dengan tangan telanjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Humor tentu datang bersama bakat membuat kartun, mengikuti kecenderungan kakaknya, Prijanto Sunarto, kartunis terkenal yang telah mendahuluinya pada 2014. Namun Wagiono tentu serius dalam dunia seni grafis dan animasi di Indonesia yang telah digelutinya sejak 1975. Ia antara lain menjadi pendiri sekaligus ketua organisasi Ikatan Perancang Grafis Indonesia (1977), Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (1985), dan Asosiasi Animasi Indonesia (1997). Ini hanya sebagian dari kegiatannya yang luas, selain sebagai pekerja profesional, juga sebagai akademikus yang menekuni bidang ilmunya dengan sungguh-sungguh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lulus sebagai sarjana bidang desain grafis dari Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1975, Wagiono memperdalam pengetahuannya dalam desain komunikasi di Pratt Institute, New York, Amerika Serikat, sampai mendapat gelar master of science pada 1984. Ia kemudian menuntaskan pemahamannya atas kartun melalui bidang ilmu sejarah dan lulus tingkat doktoral dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia pada 2008. Disertasinya, analisis atas kartun-kartun dekade 1959-1967 di Indonesia, yang terbit dalam bentuk buku dengan judul Soekarno dalam Kartun: Mitos dan Kontramitos (2019), kiranya penting sebagai peragaan pendekatan ilmiah atas kartun politik yang sejatinya adalah humor itu.
Dalam ketenangan dan kehalusan tutur sapa, begitu banyak catatan atas kegiatan yang dikerjakan Wagiono, menunjukkan betapa ia tidak menyia-nyiakan masa hidupnya. Namun apakah makna kehidupan manusia hanya ditentukan oleh formalitas curriculum vitae-nya? Dunia luar Wagiono menjadi catatan atas tonggak-tonggak dalam perjalanan hidupnya, tapi siapakah yang akan bisa mengetahui dunia dalam Wagiono—dan bagaimanakah caranya?
Dalam kajiannya atas nasib mitologi pada komik wayang mutakhir (2001-2011), dikutipnya pendapat Marcel Bonneff, yang menyatakan bahwa pemaknaan klasik dalam komik wayang mengalami reduksi. Seperti tertulis dalam jurnal Panggung (2013), ini terjadi karena para penggubahnya berusaha menanggapi situasi pasar—yang sering dikampanyekan sebagai sikap berkesenian positif, di bawah cita-cita pembangkitan ekonomi.
Bersikap adil terhadap kuat dan lemahnya kreativitas para penggubah, perbedaan zaman disebutnya sebagai faktor kurang berhasilnya komik wayang masa kini dibanding pasar 1957-1970, yang membuat penggubah seperti R.A. Kosasih menjadi sangat populer. Posisi Wagiono sebagai aktivis dunia grafis dan animasi komersial membuatnya tahu belaka bagaimana faktor dominasi pasar ini berpotensi melemahkan daya gugah mitologi, seperti Mahabharata atau Ramayana, bersama dengan terpinggirkannya komik-komik wayang mutakhir.
Alih-alih mengurusi pasar, Wagiono menyelamatkan dan menggubah kembali mitologi dengan caranya sendiri, mengambil waktu dan mendayagunakan materi yang secara simbolik seperti bergerilya terhadap kuasa kapitalisme atas segenap struktur kehidupan manusia. Pertama, ia bekerja tanpa alokasi waktu khusus seperti sebuah proyek. Kedua, cukup menggunakan pulpen dan kertas di sekitarnya, alias tanpa anggaran. Ketiga, ini bukan reka-reka artifisial—seperti “menebak selera pasar”—melainkan representasi dunia-dalam Wagiono, yang lebih daripada sekadar kompensasi atas kedangkalan pasar.
Jika dilakukan kategorisasi terhadap gambar-gambar mitos pasca-pasar Wagiono, terbaca pemilahan setidaknya dua kecenderungan, yakni dorongan intelektual dan spiritual. Meskipun begitu, akan lebih meliputi segenap kecenderungan jika gambar-gambar Wagiono dilihat sebagai proses transformasi dari dorongan intelektual menuju dorongan spiritual—tapi keduanya merupakan suatu pendalaman terhadap mitologi, dalam arti revitalisasi ataupun kerangka refleksi.
Salah satu karya Wagiono Sunarto berjudul "Feodalisme Tradisional yang Terkalahkan". Istimewa
Gambar Feodalisme Tradisional yang Terkalahkan, misalnya, memperlihatkan arsitektur limasan, gapura di kejauhan, serta segala busana yang menunjuk pada lokalitas Jawa—tapi siapa pula harimaunya jika bukan metafora untuk penguasa? Begitu perlukah kekuasaan, yang biasa diterima orang Jawa abad ke-17 sampai ke-19 sebagai kodrat, disamarkan sebagai harimau pula? Mungkin sama seperti yang telah dilakukan kepada harimau-harimau dalam rampogan—alih-alih memberontak Belanda, harimau saja dibantai ramai-ramai.
Menari tanpa penutup dada, penari pria bertopeng hewan atau raksasa, feodalisme-tradisional yang menjadi canggih dalam ketidakberdayaan menghadapi orang “biadab”. Toh, berlangsung juga Perang Jawa 1825-1830, dan Pangeran Diponegoro yang mencitrakan diri sebagai muslim tidak mendapat dukungan keraton. Dibangkitkan oleh gambar, tidakkah ini merupakan diskursus intelektual?
"Bukan Perang Hitam-Putih". Istimewa
Kemudian jelas bahwa Wagiono sedang bermain dengan kolonialisme dalam gambar Bukan Perang Hitam-Putih ketika karakter Jawa (blangkon) bisa saja menjadi “Belanda” penuh tanda jasa, sehingga yang disebut perang bukanlah hitam melawan putih, melainkan abu-abu melawan abu-abu. Tapi, dalam pendalaman mitologi, Bharatayudha merupakan perang simbolis manusia melawan dirinya sendiri. Jadi ini bukan fakta sejarah, melainkan mitos-mitos sejarah yang menjadi pergulatan Wagiono.
Dalam gambar yang menyarankan tema Perang Penyucian adalah Ilusi dan Lumbung-lumbung Kematian, dorongan intelektual Wagiono bertransformasi menjadi spiritual, ketika latar bumi berpindah ke latar “dunia sana”, tempat arwah-arwah masih saja melanjutkan peperangan, dengan panji-panji yang masih terus dibelanya setelah mati. Perang penyucian tidak menyucikan apa pun, karena kesucian hanyalah ilusi suatu ideologi. Perang tanpa kesudahan dari dimensi ke dimensi menyisakan lumbung-lumbung kematian, yang tidak menjadi jaminan dari akhir peperangan itu sendiri.
"Lumbung-lumbung Kematian". Istimewa
Akibat seperti itu tidak menjadikannya fatalistik, karena spiritualitas penggubah mengatasinya dengan pelibatan fenomena semesta—artinya suatu kosmologi untuk menempatkan posisi manusia. Pada instansi terakhir, ini juga berarti penggubah mempertimbangkan keberadaan dirinya di ujung waktu—lantas meraga-sukma sebagai piramida konstruksi doa geometrik berketepatan digital, saat setiap ketukan menjadi lingkar-lingkar penanda yang berdenyar tiada habisnya.
Tidaklah bisa diingkari bagaimana mitos pasca-pasar ini melampaui sekadar pasar industri, melepaskan diri dari sekat-sekat pe-massal-an selera duniawi. Dilapangkanlah kiranya jalan Mas Gion!
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo