Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Orde Baru Jilid Dua

Sutradara film dokumenter Tino Saroengallo bertanya melalui karyanya yang terbaru: apa yang terjadi setelah 15 tahun reformasi.

9 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah 15 tahun
Sutradara dan Skenario: Tino Saroengallo
Durasi: 93 menit
Produksi: Jakarta Media Syndication

Layar hitam dan lagu Indonesia Raya.

Lalu kita terlempar sesaat ke masa-masa penuh gairah para mahasiswa yang menduduki gedung DPR pada 19, 20, 21 Mei menuntut turunnya Presiden Soeharto.

Muncul aktor Tora Sudiro sebagai narator yang membawa kita kembali ke tahun 2013 mempertanyakan: sudah sejauh mana reformasi yang kita cita-citakan.

Sutradara dokumenter Tino Saroengallo, yang menghasilkan film Tragedi Jakarta 1998: Student Movement in Indonesia pada 2002, kini membuat sebuah evaluasi kritis. Film berjudul Setelah 15 Tahun itu diputar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu.

Menampilkan berbagai narasumber—wartawan, politikus, pengacara, aktivis, hingga ekonom di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar—Tino dan timnya mencoba mencari tonjokan kritis. Rata-rata narasumber bernada sama. Mereka semua bersepakat bahwa memang ada sedikit perubahan, terutama dalam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Tapi, seperti yang diutarakan ekonom Faisal Basri, pada bagian lain: politik, ekonomi, hukum sebetulnya tak terlalu banyak perubahan. Semua narasumber rata-rata menganggap, dari sisi politik, situasi sama saja dengan masa Orde Baru, jika tak semakin parah. Meski lebih bebas berorganisasi, orang-orang yang bercokol masih sama.

”Dulu masyarakat kalah oleh M16, sekarang oleh 16 M,” kata salah seorang narasumber politikus.

”Yang jatuh hanyalah Soeharto, bukan rezimnya,” ujar Faisal Basri, karena itu ia menamakan situasi masa kini sebagai ”Orde Baru Jilid Dua”.

Para narasumber sengaja tak ditulis nama dan atributnya—kecuali pada credit title akhir film—karena, menurut Tino, ”mereka dianggap mewakili segmen masyarakat masing-masing”.

Sayang sekali, narasumber jadi terasa anonim, dan penonton harus gerabak-gerubuk mencari tahu nama narasumber padahal pendapat mereka rata-rata menarik, diutarakan dengan fasih, dan tidak asal njeplak seperti halnya (sebagian) narasumber di televisi nasional, misalnya.

Kecuali Faisal Basri, yang nama dan wajahnya tak perlu diperkenalkan lagi, narasumber lain jelas orang-orang yang serius dan banyak merasakan denyut sosial dan politik negeri ini. Mungkin akan menarik jika Tino juga menggunakan satu-dua narasumber dari ”pihak sana”, pihak seberang yang dianggap Faisal Basri sebagai bagian dari ”rezim” yang masih menikmati keuntungan kerak Orde Baru.

Tapi narasumber yang paling menarik adalah Rizky Rahmawati Pasaribu, yang ikut demonstrasi pada Mei 1998. Rizky adalah mahasiswi Fakultas Hukum Trisakti yang jatuh terkapar di aspal jalanan depan kampusnya. Mata membelalak dan tubuh kakunya direkam fotografer Julian Sihombing, yang kemudian dimuat di harian Kompas Edisi 13 Mei 1998. Pembaca geger karena mengira ia tewas. ”Tubuh saya mendadak kaku semua saat itu,” demikian Rizky bertutur.

Wawancara para narasumber diselingi dengan berbagai ade­gan dari footage film Tino sebelumnya—yang meraih penghargaan sebagai film pendek terbaik di Festival Film Asia-Pasifik ke-47 di Seoul, Korea Selatan, pada 2002, dan menjadi dokumenter terbaik di Festival Film Indonesia. Potongan adegan aparat yang bersorak-sorai menang setelah menghadapi para ”adik” mahasiswa dalam Tragedi Semanggi kembali mengingatkan gaya militer menghadapi demonstran ketika itu. Sampai sekarang film ini dianggap sebagai salah satu dokumenter penting di Indonesia.

Di antara itu, kita senantiasa diingatkan aktor Tora Sudiro yang melakukan napak tilas mengunjungi Universitas Trisakti dan Atma Jaya, gedung MPR/DPR, Tugu Bundaran Hotel Indonesia, serta Mahkamah Agung. Fokus dokumenter Tino kali ini bukan penyajian fakta seperti film dia sebelumnya, melainkan sebuah ”kilas balik” untuk memperhitungkan sejauh mana Indonesia sudah mencapai ”reformasi”. Karena itu, tuntutan film Tino kali ini adalah sebuah laporan komprehensif. Memang ada rentetan laporan utama dan headline media tentang kasus korupsi hingga pembunuhan yang sewenang-wenang. Tapi 15 tahun dengan persoalan yang begitu bertumpuk: pelaksanaan hukum yang berantakan dan korupsi yang tak berkesudahan, Tino mengakui, sulit diringkus dalam 93 menit.

Tino mendedikasikan film itu untuk korban Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi I.

Dengan lagu Tanah Airku dari Ibu Soed, kita seperti menyaksikan serangkaian ”kegagalan” dan ”pencapaian” negeri ini untuk Moses Gatotkaca, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, korban peristiwa Gejayan, Yogyakarta, pada 8 Mei 1998, dan mahasiswa Yun Hap, korban Tragedi Semanggi pada September 1998.

Evieta Fadjar, LSC

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus